Rabu, 14 Juli 2010

POLITIK LOKAL-IDENTITAS POLITIK

POLITIK LOKAL ; POLITIK IDENTITAS DAN IMPLIKASINYA
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai politik Identitas tidak terlepas kaitannya dengan konsep suku, agama yang bekerja pada tingkat lokal. Akhir-akhir ini sering kita dengar berbagai macam issu yang dilontarkan oleh para elit politik dengan memanfaatkan issu sukuisme, putra daerah, agama, budaya dan sebagainya dijadikan sarana untuk merebut suatu kekuasaan.
Pola-pola seperti ini tentunya sangatlah berlebihan jika masing-masing daerah memahami hakekat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa akibat pergeseran locus politik ke daerah-daerah adalah munculnya kehawatiran akan semakin kuatnya fragmentasi masyarakat politik di daerah berdasarkan kreteria-kreteria lokal. Kekhawatiran ini sangat beralasan ketika hampir semua daerah di Indonesia ditandai dengan struktur masyarakat yang majemuk.
Dalam struktur sosial seperti ini sangat terbuka bagi munculnya sentimen-sentimen komunual dalam kehidupan politik lokal. Melalui makalah ini kami mencoba memberikan suatu gambaran mengenai Dinamika Politik lokal: Politik Identitas dan Implikasinya yang secara khusus menceritakan issu-issu di daerah Kalimantan Tengah, Kepulauan Bangka Belitung dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

A. DINAMIKA POLITI K LOKAL
Kerusuan bernuansa SARA di bebarapa daearh di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun yang terakhir menunjukan dinamika politik lokal semakin memanas. Berbagai issu yang dilontarkan ditengah masyarakat dengan begitu muda menimbulkan gejolak yang cenderung mengarah kepada terjadinya konflik. Ibarat rumput kering yang dengan begitu muda terbakar ketika masyarakat disebarkan issu negatif yang berbau suku, agama dan ras.
Pertikaian pada umumnya bermula dari rasa iri menghadapi rasa kesejangan kolektif antara kaum pendatang dengan penduduk asli. Kesenjangan itu mengakibatkan rasa iri kemudian berkembang menjadi kecemburuan sosial yang melebar menjadi kecemburuan kolektif, seperti terjadi terhadap pendatang dimanapun. Kecemburuan ini menimbulkan sikap curiga yang didasari dendam sehingga soal yang kecil saja mudah memicu tragedi besar.
Issu “putra daerah” sebagai contoh kasus yang sangat mencolok sekali yang terjadi di berbagai daerah saat ini yang seolah-olah telah memberi warna perbedaan antara entnis, suku, agama dan ras, yang pada hakekatnya itu hanyalah cara-cara para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan. Tak heran jika para pemimpin lokal dengan dalih otonomi daerah telah membuat raja-raja kecil di daerahnya sendiri, yang sengaja membuat suatu pola yang berimplikasi negatif terhadap tatanan dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa dalam hal penempatan tataran birokrasi juga issu putra daerah masih sering dijadikan issu untuk menentukan sesorang pada posisi jabatan yang sangat strategis seperti Bupati, Kepala Dinas sampai Camat. Penomena di atas menggambarkan kepada kita bahwa dinamika politik lokal sangatlah dinamis dan apabila diprovokatori oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan politik tertentu sangat berimplikasi kemungkinan terjadinya konflik.
Pada masa-masa yang akan datang kita harus dapat mengatisipasi terhadap kemungkinan akan tumbuhnya dinamika politik lokal yang sangat tinggi. Hal ini sejalan pula dengan berkembangnya proses demokratisasi di semua tingkatan masyarakat, termasuk ditingkat lokal. Pejabat pemerintah tidak lagi merupakan individu yang “untouchable”namun mereka sangat terbuka untuk dijadikan sasaran kritik dari berbagai pihak di daerah. Oleh karena itu kemungkinan peningkatan terhadap akuntabilitas pejabat di daerah akan sangat tinggi, karena akan terjadi proses skrutinasi terhadap pemegang jabatan, baik yang menyangkut perilakunya sehari-hari, ataupun yang berkaitan dengan pemilihan kebijaksanaannya.
Hal itu menjadi kuat lagi sejalan dengan meningkatnya kebebasan, baik kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat. Gejala yang sangat menarik saat ini terjadinya konflik dimana-mana akibat keputusan yang diambil oleh para pejabat lokal dipandang menguntungkan golongan dan etnis tertentu , dilain pihak justru mendiskriminasikan etnis minoritas yang menimbulkan ruang konflik baik antara pemerintah dengan masyarakat atau antara etnis tertentu ketika beririsan denga kondisi masalah ekonomi atau lahan tertentu.

B. POLITIK IDENTITAS

Ketika kita berbicara politik identias, maka yang sangat menonjol yang bisa kita temui adalah adanya pola-pola pengelompokan etnis, agama, budaya tertentu yang dijadikan alat politik. Sebagai contoh bahwa Partai Persatuan Pembangunan identik dengan partai Islam, Partai Damai Sejahtera pun diartikan sebagai partai non Islam, Partai Kebangkitan Bangsa sebagian besar ada di Pulau Jawa, Partai Bulan Bintang karena pemimpinnya orang Belitung maka mayoritas orang Kepulauan Bangka Belitung mendukung Partai Bulan Bintang dan seterusnya.
Dari sisi lain kita jumpai di Jawa misalnya bahwa sosok kharismatik atau sosok kyai menjadil legegitimasi seorang sebagai pemimpin. Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya saat ini Gubernurnya adalah seorang Sultan yang merupakan akibat dari suatu proses hiostoris yang panjang dan proses kolonialisme Belanda. Di Kendari ada seorang Bupati keturunan langsung dari raja-raja terdahulu dan beberapa anggota DPRD juga masih ada kaitannya dengan para elit tradisional.

Penomena di atas menggambarkan kepada kita bahwa dinamika politik lokal sangatlah dinamis dan apabila diprovokatori oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan politik tertentu sangat berimplikasi kemungkinan terjadinya konflik.
Akhir-akhir ini sering kita jumpai beberapa daerah menuntut ingin memisahkan diri dari wilayah induknya bahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membentuk wilayah baru dengan alasan ingin hidup mandiri sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah yang mereka miliki. Gejala kembali ke “etnisitas” yang tampil di politik nasional, menurut Harsono (Kompas, 1 Desember 2000) didasari oleh 3 hal, yaitu pertama, tuntutan pengakuan identitas etnis dalam wujut negera merdeka, seperti Aceh dan lainnya yang juga sekarang terjadi di Papua, kedua keinginan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama antara kelompok seperti Ambon dan Poso, ketiga perjuangan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap eksplorasi sumber daya alam, seperti Riau dan Kalimantan. Kondisi ini memungkinkan menguatnya gejala dis-integrasi atau tuntutan pembentukan daerah otonom baru.
Hal tersebut berkaitan erat dengan pendapat Syaukami,dkk (2002 : xvii), bahwa dalam sejarah pemerintahan, kehendak untuk memisahkan diri dari negeri induknya dengan membentuk sebuah negara baru pada umumnya dikarenakan oleh ketidak puasan dari masyarakat lokal terhadap jalannya pemerintahan nasional mereka. Hal ini menunjukan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari wilayah induknya disebabkan karena sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik atau terpusat.
1. Suku
Pengertian
Berbicara tentang Politik Identitas, berarti membicarakan identitas daerah. Salah satu aspek adalah Suku. Pengertian suku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 6) suku bangsa adalah: Kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa. Sedangkan menurut Vann Baal (1987: 6) pengertian suku yaiitu Satuan sosial terbesar yang sedikit banyak berswa sembada dan berswantara, yang dapat dibedakan karena meimilki bahaasa sendir, adanya suatu kesadaran jelas akan kesetiakawanan dan kekerabatan dari pada anggotanya, yang dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sejenis lainnya, yang kesemuanya selalu agak tidak berarti besarnya.
Sedangkan menurut Kontjaraningrat (1980 : 278 ) Suku Bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat suatu golongan manusia yang terikat oleh suatu kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan” sedangkan kesadaran dan identitas (tetap tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa.

Perkembangan
Suku bangsa tidak berdiri sendiri, tetapi hidup bersama dengan suku bangsa lainnya. Apabila terjadi interaksi di antara suku-suku tersebut, maka tentu akan terjadi adaptasi, dan akan ada nilai-nilai tertentu yang tetatp melekat pada suku yang bersangkutan, karena nilai tersebut telah terbentuk dalam waktu yang sangat lama, sehingga telah mendarah daging dalam setiap individunya.
Dalam beradaptasi dapat terbentuk hubungan yang bersifat simbiosis mutualistis, artinya tetap pada nilai-niali yang menjadi identitas masing-masing, saling ketergantungan, dan saling melengkapi. Dapat pula terjadi akulturasi, yaitu membaurnya nilai-nilai budaya sehingga menghilangkan ciri khusus dari suku bangsa yang ada (Marbun :15)

Pergeseran
Dikota-kota besar yang ditandai dengan kehidupan yang bersifat industrialisasi, biasanya terjadi pertemuan berbagai suku bangsa. Dalam berinteraksi itu akan terjadi berbaurnya nilai-nilai budaya menjadi sangat besar. Apa lagi bila banyak terjadi perkawinan antar suku yang ada, dapat menghilagkan nilai-nilai khas dari suku-suku bangsa yang ada. Yang akan muncul adalah ciri nasionalisme, karena mereka akan kesulitan untuk menyebut dirinya dari suku bangsa tertentu.

Analisis

Hilangnya ciri-ciri khas suku bangsa dapat berdampak positif, tetapi juga dapat negatif, Dengan tidak anya bercirikan suatu suku bangsa tertentu, seseorang akan bersifat menegara, yaitu dia merasa menjadi bagian dari bangsa itu tidak terjebak pada daerah asal tertentu. Dia dapat tinggal dimana saja dinegara itu. Dapat dimanfaatkan profesi dan potensinya di seluruh wilayah negara itu.
Tetapi bila ada keinginan suatu daerah dipimpin oleh putra daerahnya, itupun memiliki arti positif bagi daerah itu. Karena dengan posisi sebagai putra daerah, pasti dia akan merasa malu bila berbuat negatif (biasanya diluar tradisi daera h itu).
Dia kan berupaya secara maksimal untuk memanfaatkan potensi yang ada di daerah itu, karena dia sangat mengetahuinya. Dia akan berusaha akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, karena merasa bahwa masyarakat itu merupakan bagian dari keluarga sendiri. Dia dapat menyesuaikan dengan kondisi daerah itu, dalam arti tidak akan menentang tradisi daerah.
2. AGAMA
Perkembangan
Agama atau kepercayaan merupakan bagian dari manusia yang menyertai setiap orang. Meskipun bukan hal yang inheren muncul dari kebutuhan manusia, sengaja atau tidak keduanya telah ditempelkan pada individu-individu tanpa sang individu itu mampu atau mempunyai kesempatan untuk menghindarinya.
Karena kekuatan agama dalam mengikat individu dalam suatu ikatan kebersamaan sangat kuat, agama menjadi komoditas politik yang kental bagi beberapa kelompok individu. Partai-partai yang mendasarkan asasnya pada agama tertentu dalam suatu negara merupakan bukti bahwa keterlibatan agama cukup kuat.
Perkembangan agama di Indonesia sendiri telah dibuktikan dari peninggalan-peninggalan sejarah pada masa-masa kerajaan yang sudah lahir ratusan tahun yang lalu, seperti Candi Borobudur, Masjid Demak, Masjid Agung di Palembang dan sebagainya.

Pergeseran
Pergeseran agama biasanya ditandai dengan pergeseran peradapan dunia dan kekuasaan Barat dalam kaitan dengan peradapan peradapan lain. Barat adalah satu-satunya peradapan yang memiliki kepentingan substansial diberbagai peradapan atau wilayah-wilayah lain dengan pengaruhnya yang besar baik dalam bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Kekuatan ekonomi dengan cepat bergeser ke Asia Timur . Menurut Samuel P. Huntington dalam (Benturan antar peradapan : 29) dunia Islam tidak lagi menunjukkan sikap yang bersahabat terhadap Barat.

Analisis
Secara positif agama sudah terurai dalam definisi agama di atas yaitu bahwa agama mengajarkan Undang-Undang ketuhanan yang memberi arah pikiran manusia untuk mengatur kehidupan baik hubungannya dengan sesama dan hubungannya dengan Allah serta kehidupan itu tidak kacau, penuh cintah kasih, mentaati perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Secara negatif agama dipahami untuk mencari kekuasaan dan sebagai kekuatan.
c. RAS
Definisi

Kira- kira tahun 40.000 SM, Kalimantan dihuni oleh kelompok manusia Austroloid, salah satu “ RAS” manusia yang mirip dengan orang Papua penduduk asli Pulau Irian dan Aborijin penduduk asli Benua Australia serta Maori penduduk asli Kepulauan Selandia Baru (New Zealand). Pada umumnya mereka sudah pandai mebuat kapak batu, membuat serpih dan bilah halus, memanfaatkan fungsi api, berburu binatang liar serta memakan tumbuh-tumbuhan hutan. Dalam Kamus Ilmiah Populer yang dimaksud dengan “ RAS” adalah kelompok manusia atau hewan yang berasal dari keturunan yang sama dan ciri-ciri fenotife yang berbeda (tersendiri) sekte bangsa
Berdasarkan definisi di atas maka “RAS” dapat di artikan bahwa sekelompok komunitas manusia yang berasal dari keturunan yang sama yang ditandai dengan ciri-ciri khusus seperti warna kulit, bentuk fisik, warna rambut dan lain sebagainya, seperti etnis Tionghoa, Arab, India yang ada di Indonesia.

Perkembangan.
Sejarah peradapan ras-ras di daratan Asia Timur dan dartan Asia Tenggara, khususnya ras Mongoloid dan ras Ausroloid yang ditandai dengan berlangsungnya penyerapan peradapan satu pihak, yaitu ras Mongoloid menyerap ras Austroloid. Ras Mongoloid datang ke daratan Kalimantan kira-kira pada tahun 36.000 SM, setelah ras Austroloid mendiami daratan kalimantan tahun 40.000 SM, suatu jarak yang sangat panjang.
Bersamaan dengan berkembangnya niaga laut, kira-kira pada abad ke-1 M, lahir lah kerajaan-kerajaan kecil. Di Kalimantan pemimpin-pemimpin terkemuka suku-suku setempat menjalankan kecenderungan mengambil alih unsur-unsur dari kebudayaan India untuk mememantapkan kedudukan mereka.Sesudah tahun 500 M, antara perniagaan Kalimantan berkembang pesat, kemudian dengan Cina yang kemudian juga meningkat. Kira-kira sebelum abad ke 12 M, Kalimantan sepenuhnya dibawah kerajaan Sriwijaya bersama daerah-daerah lain seperti seluruh daratan Sumatera, Semenanjung Malaka,Thailand, Sulawesi, Philipina dan sebagian Jepang Selatan.

Pergeseren
Ras secara umum diterima sebagai sebuah sikap atau cara pandang terhadap dunia sosial dan merupakan bagian dari aspek politik massa. Teori-teori ras mengatakan bahwa ras manusia berbeda-beda, mempunyai bakat-bakat sosial dan intelektual yang tidak sama.
Dari sinilah muncul pandangan superioritas dan inferioritas satu ras atas yang lain. Pandangan superioritas merasa mempunyai kemampuan memerintah bagi kepentingan setiap orang dan dengan demikian memajukan peradapan. Ras inferior tidak dapat melaksanakannya, namun tidak akan mengakui kerendahannya. Prolematika lain yang disebabkan oleh ras pada suatu negara adalah munculnya pradigma orang dalam dan orang luar, penduduk asli (pribumi) dan pendatang (non pribumi)
Bentuk penolakan dari terhadap ras adalah gerakan antirasime. Antirasime menolak semua anggapan dan argumen rasis dan memperjuangkan persamaan atau kesetaraan diantara semua ras yang ada.
Sampai saat ini sentimen ras masih sering muncul dan menjadi masalah. Pada masyarakat dan negara-negara yang berpenduduk plural dan membukla diri bagai datang nya orang-orang dari luar (migrasi).
Salah satu contoh Suatu peristiwa lompatan majunya peradapan manusia, khususnya yang terjadi di Kalimantan terjadi di abad ke-15, ditandai dengan tersebarnya Agama Islam ditandai dengan munculnya kerarajaan-kerajaan kecil yang bernafas agama Islam. Seiring dengan masuknya ajaran-ajaran Islam maka mulai terjadi pergeseran nilai-nilai sehingga muncul istilah penduduk pribumi (orang melayu) dan pendatang yang dapat dikelompokan menjadi kelompok Pribumi Asli, Golongan ini adalah golongan suku bangsa yang mendiami daratan Kalimantan pada umumnya mereka terdiri dari penganut agama nenek moyang, dan suku bangsa melayu yang muslim. Kemudian kelompok pendatang pribumi Nusantara, pendatang antar benua, dan etnis Cina.

Analisis
Keberadaan berbagai etnis yang ada di Indonesia sangat memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi di Indonesia, baik itu etnis Tionghoa, Arab, India, maupun etnis lainnya. Ini berarti hadirnya mereka bagi bangsa Indonesia mempunyai dampak yang sangat positif. Dibidang olah raga misalnya banyak sekali etnis Tionghoa yang sudah membawa harum nama bangsa Indonesia di even-even dunia. Ini juga membuktikan kepada kita bahwa mereka berjuang atas nama Bangsa Indonesia bukan atas nama pribadi. Namun disatu sisi sering kita jumpai bahwa ketika mereka menuntut hak sebagai warga negara Indonesia mereka mendapat intimidasi dari berbagai peraturan-peraturan yang memasung mereka untuk dipersulit dengan alasan-alasan klasik.
Seiring dengan perkembangan politik yang terus berkembang maka tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan etnis Tionghoa yang memang sudah menguasai perekonomian di Indonesia menimbulkan sentimen dari penduduk asli (pribumi). Hal itu juga berimplikasi terjadinya konflik. Apa lagi pada zaman orde baru keberadaan etnis Tionghoa justru di beri kemudahan-kemudahan oleh penguasa untuk memonopoli perekonomian di Indonesia.
E . Implikasi Politik Identitas Di Daerah Istimewah Yogararta, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung
1. Daerah Istimewa Yogyakarta
Eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tidak terlepas dari Kesultanan Yogyakarta. Kesuiltanan ini semasa kolonial Belanda diatur dengan kontrak politik. Jadi tidak langsung diatur oleh Kolonial Belanda. Melainkan Kesultanan masih memiliki otonomi. Demikian pula Kadipaten Pakualaman. Pada saat Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, Kesultanan dan Pakualaman berada dibawah pengawasan Jepang. Ini berarti kontrak politik dengan kolonial Belanda berakhir. Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII merasa terpanggil untuk menyatakan bertanggung jawab atas keselamatan rakyat Yogyakarta. Kedua pemimpin tersebut bersedia bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Sultan Hamengku Buono IX maupun Paku Alam VIII diangkat sebagai Ko, yaitu mengepalai kerajaan masing-masing. Sultan dan Paku Alam tidak merupakan Subordinasi darai pemerintahan Jepang. Kedudukan ini berdasarkan isi surat perintah Gunsireikan (pemerintah Jepang), tetapi lebih bebas bila dibanding dengan kontrak politik kolonial Belanda.
Dengan kewenangannya itu Sultan melakukan restruktisasi pemerintahan, agar lebih demokratis, yaitu mengangkat Paniradya (Departemen/Jawatn). Paniradya melaksankan tugas-tugas yang sebelumnya tersentralisasi di tangan Pepatih Dalem. Pepatih Dalem di pensiun, karena usia telah lanjut dan tidak diangkat penggantinya. Maka kepala Departemen/Jawatan yang disebut Paniradya Pati bertanggung jawab langsung kepada Sultan. Untuk menghindari kemungkinan tindakan adu domba oleh Jepang (pengalaman politik adu domba pemerintah kolonial Belanda). Paku Alam VIII berpendapat bahwa sebaiknya antara Kesultananan dan Pakualaman disatukan saja, karena dulu-dulunya juga satu. Sultan Hamengku Buono IX sependapat, maka baik Sultan maupn Paku Alam berkantor di Kantor Kepatihan ( yang sekarang menjadi Kantor Gubernur dan Wakil Gubernur). Ini berarti bahwa sebelum pemerintah Republkik Indonesia lahir, kedua kerajaan ini telah ada dan masing-masing berdaulat. Sesaat setelah mendengar bahwa Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia, maka Sultan Hamengku Buono dan Paku Alam secara sendiri-sendir menyatakan mendukung pemerintahan ini fan menyatakan pula sebagai bagian dari Republik Indonesia, dengan status Daeah Istimewa dan keduanya bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Merespon hal ini Presiden Soekarno mengirim utusan ke Yogyakarta, yaitu Menteri Negara Mr. Sartono dan Mr. Maramis untuk menyerahkan Piagam Kedudukan kepada Sultan Hamengku Buono IX dan Paku Alam VIII, sebagai pemimpin Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta mengacu kepada Undang-undang dari pemerintah pusat yang mengatur pelaksanaan pemerintahan di daerah, yaitu Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah daerah. Khusus untuk Kepala daerah Istimewa diatur pada pasal 18. Kemudian sebagai daerah Istimewa, Pemerintah menetapkan Urusan Rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan selanjutnya pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Perlu diketahui bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak dibatasi oleh ketentuan masa jabatan seperti daerah-daearh lain. Saat ini di Daerah Istimewa Yokyakarta sudah sulit untuk ditemui desa adat yang masih asli. Yogyakarta masih memiliki predikat sebagai daerah pusat pendidikan tertentu. Konsekuensi logisnya Yogyakarta didatangi oleh generasi muda dari propinsi-propinsi seluruh Indonesia untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Tidak kurang dari 100 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta berada di Yogyakarta, dengan demikian Yogyakarta tempat bertemunya masyarakat dari daerah propinsi se-Indonesia, sehingga Yogyakarta terlihat sebagai Indonesia mini. Bertemunya masyarakat dari luar Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini menimbulkan interaksi diantara mereka. Pada awalnya memang terjadi fiksi atau konflik antara suku, tetapi setelah mereka menegenal satu sama lain mereka memahami bahwa Indonesia adalah Negara yang majemuk/plural, baik dari segi agama, adat istiadat, paham dan seterusnya. Sampai saat ini masyarakat di Yogyakarta sudah tidak pernah mengungkit perbedaan yang ada tetapi mereka saling menghormati satu sama lain.
Didalam masyarakat sudah terjadi akulturasi, pimpinan-pimpinan dalam kelompok dalam masyarakat Yogyakarta tidak harus putra daerah. Dalam organisasi partai Golkar Daerah istimewa Yogyakarta ketua bukan orang kelahiran Yogyakarta, 7 wakil ketua, yang kelahiran Yogyakarta 2 orang saja: dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jawa Timur. Ketua DPD Tingkat II ada yang berasal dari Nusa tenggara Barat dan Riau.
Perguruan Tinggi terkemuka dan tertua di Indonesia yang terletak di Yogyakarta dalam menetapkan Rektor tidak pernah mempertimbangkan suku maupun agama. Rektor UGM pernah dijabat oleh Prof. Drs. Koenadi Hadji Sumantri, SH (Sunda), Prof. Dr. Tengku Yakof (Aceh), Prof.Dr. Johanes (NTT/Kristen) demikian juga kepala daerah Kabupaten/Kota Bupati Sleman pernah dijabat oleh Drs. H. Aripin Ilyas (Bangka). Dengan demikian kehidupan dalam masyarakat sudah tidak pernah mempetimbangkan adanya perbedaan agama, adat istiadat, suku dan seterusnya. Hal ini dapat terlihat pada saat hari-hari besar keagamaan.
Pada saat Idul Fitri masyarakat yang beragama non Islam mendatangi masyarakat yang merayakan Idul Fitri untuk mengucapkan selamat. Demikian pada saat perayaan natal, masyarakat non Kristiani, termasuk masyarakat miskin mendatangi masyarakat kristiani untuk menyampaikan ucapan selamat. Bahkan pada saat ada peringatan dan perayaan keagamaan masyarakat di luar agama yang sedang meyelenggarakan peringatan membantu menjaga keamanan/ketertiban di dalam arena peringatan. Dengan demikian dinamika politik lokal di yogyakarta sangat tinggi mengarah kepada Bhineka Tunggal Ika, mereka sadar bahwa berbeda-beda tetapi mereka satu Yogyakarta Indonesia.
2.Suku Di Kalimantan Tengah
Suku di Kalimantan Tengah adalah suku dayak, yang mana suku dayak itu sangat banyak, maka ragam suku dayak diantaranya:
a. Suku dayak Kahayan
b. Suku dayak Kapuas
c. Suku dayak Manyaan
d. Suku dayak Katingan
e. Suku dayak Bakumpai
dan masih banyak suku dayak yang lainnya dengan bahasa, budaya agama yang berlainan juga ditambah suku-suku pendatang seperti Jawa, Sunda, Batak, Bali dan lain-lain yang menambah banyaknya suku di Kalimantan Tengah.
Dalam pelaksanaan suku-suku tersebut kegiatannya telah dilaksanakan dengan baik dan saling menghargai cara budayanya, hanya satu suku pendatang yang kurang disenangi oleh suku dayak yaitu suku Madura, karena suku tersebut pernah terjadi konflik dengan suku dayak dan sampai sekarang masih ada yang mengungsi dan pindah dari Kalimantan Tengah. Adapun permasalahan konflik tersebut masih belum diketahui secara pasti akar penyebabnya hingga terjadi konflik.
Contoh saling menghargainya suku , budaya di Kalimantan Tengah:
Suku dayak melaksankan pesta Tiwah maka banyak yang menghadiri diantaranya suku- suku yang yang non dayak walaupun suku non dayak itu tidak mengerti bahasanya. Suku Jawa mengadakan atau menlaksanakan pesta/budaya wayang kulit, reok dengan gamelang jawa dan ada juga wayang kulit dipadukan dengan musik karungut yang ada pada suku dayak.
Ada juga anggota masyarakat yang tidak tahu dan suku apa mereka itu karena banyaknya persilangan perkawinan antara suku-suku yang ada di Kalimantan Tengah, jadi mereka sering mengatakan suku Indonesia, dan sulit mengatakan suku A atau suku B karena dari nenek moyang terjadi perkawinan yang berlainan suku.
Mereka yang tidak tahu dari suku apa tersebut di atas menggambarkan mereka tidak senang dengan adanya sukuisme atau etnisisme bahkan mereka lebih senang dikatakan orang Indonesia dan bahkan menghendaki rasa nasionalisme karena mereka takut apabila terjadi konplik antar suku maka mereka menjadi bingung pada pihak mana dalam menentukan suku yang ada padanya.
Dari uraian tersebut maka terlihat bahwa konflik dapat terjadi hanya dikarenakan suku jadi pada jaman penjajahan Belanda dulu memakai politik adu domba antar suku, maka dari itu , suku harus diperhatikan dan jangan sampai dijadikan politik adu domba yang dapat memecah belah persatuan bangsa dan konflik tidak akan membawa kehidupan aman dan tentram tetapi membawa kehidupan yang penuh penderitaan bahkan akan menghilangkan harta benda dan nyawa serta akan membawa kehancuran bangsa dan akan sulit untuk mengembalikan atau membangkitkan kembali suatu negara yang aman, adil dan makmur serta sejahtera.
2.Agama Di Kalimantan Tengah
Agama di Kalimantan Tengah ada 6 (enam) yang diakui yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghowcu serta satu kepercayaan orang dayak yaitu Kaharingan.
Dalam pelaksanaan dan keberadaan agama di Kalimantan Tengah sungguh-sunggguh diakui oleh para pemeluk agama serta benar-benar melaksanakan ibadahnya sesuai agama masing-masing, masyarakat di Kalimanatan Tengah dan masyarakat pemeluk agama satu dengan agama yang lainnya saling menghargai serta saling bertoleransi yang sangat tinggi.
Kalimantan Tengah terdapat banyaknya gereja Kristen Protestan, Katedral dan Gereja Katholik, Masjid dan Musholah, Pura agama Hindu, Klenteng agama Konghowcu.
Toleransi agama satu dengan yang lainnya terlihat sebagai berikut:
Umat Islam dalam merayakan hari raya Idul Fitri maka bagi yang non muslim berkunjung kerumah-rumah orang yang merayakan Idul Fitri dan mengucapkan selamat dan saling bersalaman begitu sebaliknya apabila hari raya Natal maka yang tidak merayakan berkunjung kerumah –rumah umat Kristiani untuk saling bersalaman dan mengucapkan selamat hari raya natal, dan untuk hari raya Nyepi juga para umat non Hindu mengunjungi umat Hindu yang merayakan Nyepi.
Di Kalimantan Tengah selain agama-agama besar tersebut juga ada kepercayaan orang dayak yaitu Kaharingan yang oleh Departemen agama dimasukkan di bawah Bimas Agama Hindu dan di angggap sebagai agama Hindu Kaharingan. Akan tetapi akhir-akhir ini Ketua Musyawarah Besar agama Kaharingan menolak dalam wadah Hindu Kaharingan dan ingin diakui oleh negara menjadi agama Kaharingan dan Ketua Umum Majelis Agama Kaharingan meminta agar Departemen Agama membuat Institusi Bimas Kaharingan di Departemen Agama dan bukan satu wadah Bimas Hindu. Menurut penulis kaharingan cukup dalam satu wadah Bimas Hindu karena umatnya memang hanya di Kalimantan Tengah dan tidak merupakan mayoritas di daerah, tetapi apabila memungkinkan pada Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kantor Departemen Agama Kota /Kabupaten yang berada di Kalimantan Tengah cukup diberi satu job yaitu Kepala seksi Kaharingan.
3.Suku Dan Agama Di Kepulauan Bangka Belitung
Saat kita berkunjung ke daerah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, begitu muda kita temui berbagai kampung Cina dan bangunan Klenteng yang tersebar di seluruh wilayah Bangka Belitung. Bahkan dalam interaksi keseharian, penggunaan bahasa Tionghoa masih sering kita jumpai. Perkampungan Cina mulai berdiri sejak abad ke-18. Ketika pengeboran Timah dilakukan banyak pedagang Asia termasuk Cina berdatangan. Pada saat itu Bangka masih berada di bawah Kesultanan Palembang. Kedatangan orang-orang Cina di Bangka bertujuan untuk memanfaatkan kesempatan dalam perekonomian tambang timah. Belanda ikut serta dalam kesempatan tersebut karena secara administratif tanah tersebut milik mereka. Saat itu masih terjadi saling tarik menarik kekuasaan antara Belanda dan Inggris (1812-1816) (Heidnues 1992:10)
Buruh tambang Cina itu dikenal dengan istilah “Cina Parit”. Selain dari Propinsi kepulauan bangka Belitung merupakan salah satu yang dihuni oleh beragam etnis antara lain etnis Melayu, Bugis, Tionghoa, Batak dan Madura. Sebagian besar mereka merupakan masyarakat pendatang. Etnis Melayu dan Tionghoa merupakan etnis yang dominan.
Maka tidak bisa dipungkiri bila masyarakat daerah kepulauan Bangka Belitung merupakan masyarakat yang sangat hetrogen. Hal tersebut tercermin dalam semboyan kehidupan sehari-hari masyarakat yang dikenal dengan istilah “serumpun sebalai”. Semboyan tersebut dimaksudkan untuk mencoba mebangun semangat kegotong royongan, persaudaraan, dan keterbukaan serta persatuan dan kesatuan dari masyarakat yang heterogen tersebut karena mereka berasal satu “asal” dan menempati satu “tempat”.
Disamping itu banyak orang Cina melakukan perkawinan antar etnis, yakni dengan orang kampung yang berprofesi sebagai pedagang, nelayan atau petani. Kaum peranakan yang lahir dari perkawinan antar etnis ini kemudian bertumbuh kembang, mereka menggunakan bahasa “Hakka yang kuat dipengaruhi oleh bahasa melayu (Hednueis 1992 :145)
Secara kultural propinsi kepulauan Bangka Belitung dihadapkan dengan masalah pergulatan dan pengukuhan identitas kultural di tengah heterogenitas etnis sebagai bagian upaya penciptaan identitas sosial bersama. Propinsi yang sebagian daerahnya terdiri dari sederetan dua pulau besar dan pulau-pulau kecil sebenarnya pada bayang-bayang potensi konflik dan fragmentasi sosial berbasis etnis. Hal yang sangat mencolok sekali adalah pemukiman yang ada seringkali terpola dan terkumpul berdasarkan etnis, misalnya etnis Tionghoa berada di wilayah tertentu yang penduduknya mengelompok orang Tionghoa, begitupun sebaliknya suku-suku lain terpola secara kelompok dengan dominan etnis masing-masing.
Seiring dengan pembentukan daerah propinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai propinsi baru,jumlah pendatang semakin bertambah. Hal itu terlihat dari semakin maraknya transaksi sektor informal di Bangka Belitung:pedagang sayur dari Palembang, pedagang bakso dari Jawa, rumah makan dari Padang, tukang sate dari Madura ini semakin banyaknya suku lain yang juga mewarnai kehidupan keseharian di propinsi kepulauan Bangka belitung.
F. Kesamaan Dan Perbedaan
Kalau dilihat dari dinamika politik lokal yang terjadi saat ini maka kasus-kasus yang dicontohkan dari tiga daerah ini pada dasarnya banyak kesamaan-kesamaan, khususnya dalam kebebasan menjalankan agama seuai dengan keyakinan masing-masing, toleransi masih sangat tinggi dan bahkan perkawinan campuran antara suku yang satu dengan yang lain, antara pribumi dengan non pribumi masih belum menunjukan identitas kedaerahan yang sangat dominan.
Perbedaan yang sangat mencolok bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta diberikan keistimewaan di bidang pemerintahan dan lainnya sebagaimana yang telah diceritakan di atas.
G. Penutup
Tentu saja kehawatiran akan kemungkinan terjadinya” konflik” akibat dari permainan elit politik yang mempermainkan “identias “sebagai issu untuk mempertahankan kekuasaan akan membawa dis-intgrasi bagi bangsa Indonesia. Kekhawatiran itu tidak begitu beralasan kalau semua penyelenggara pemerintahan di daerah maupun di pusat memiliki dan menumbuhkan sikap bahwa kepentingan umum, kepentingan rakyat, serta kepentingan bangsa dan negara jauh lebih utama ketimbang kepentingan sempit, semisal pribadi, golongan, ataupun partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar