Jumat, 09 Maret 2012

PILGUB DAN ORIENTASI POLITIK ISLAMISME


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Menjelang pilgub 2013, dua calon gubernur yang marak diperbincangkan; SYL (Syahrul Yasin Limpo ) dan IAS (Ilham Arief Sirajuddin). Mereka adalah elit partai yang punya suara besar pada pemilu lalu, Golkar dan Demokrat. Syahrul Yasin Limpo sendiri adalah Ketua DPD Partai Golkar Sulsel. Meski beberapa nama calon kuat yang akan mendampingi sudah muncul kepermukaan termasuk sinyal kuat dari elit DPP Golkar akan kembali paket sayang jilid II. Sementara Kandidat kuat lainnya dari Partai Demokrat yaitu H Ilham Arief Sirajuddin sudah lebih awal mendeklarasikan pasangannnya. Ilham Arief Sirajuddin sendiri maju pada Pilgub Sulsel periode 2013-2018 telah resmi berpasangan dengan Ustadz Aziz Kaharmuzakar.
Fenomena Islamisme
Islamisme merupakan fenomena gerakan Islam kontemporer yang memandang Islam sebagai ideologi politik, termasuk yang membawa kecenderungan neo-fundamentalisme yang sangat peduli pada syariat Islam. Islamisme sendiri bisa dilihat dalam dua bentuk varian perjuangan politik; Pertama, Islamisme yang berada pada wilayah intra-parlementer dengan perjuangan struktural untuk mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) bisa dikategorikan di dalamnya. Fenomena pembentukan Peraturan daerah (perda) berbasis Syari’ah yang didukung partai Islam dibeberapa daerah adalah contoh bagaimana partai-partai ini beroperasi di level daerah. Kedua, Islamisme pada wilayah ekstra-parlementer dengan perjuangan melalui aktivitas sosial budaya di luar wilayah politik formal. Organisasi Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Wahdah Islamiyah dan sejenisnya bisa masuk dalam kategori ini. Dua manifestasi Islamisme yang disebutkan di atas sama-sama berjuang untuk menciptakan masyarakat berbasis hukum.
Di luar perbedaan dalam artikulasi, dua manifestasi Islamisme di atas mempunyai sifat dan karakteristik yang secara umum sama. Di lain pihak, mereka sepakat tentang ide Islamisasi negara dan masyarakat, tetapi pada level praktis, mereka berbeda tentang metode bagaimana proses Islamisasi dilaksanakan. Kehadiran gerakan Islam yang mengusung ideologi, yang mempertautkan Islam secara langsung atau integral dengan institusi negara atau politik, dalam wacana kontemporer dikenal dengan Islamisme (Islamiyah). Gerakan ini (Islamisme) memandang bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari dan memiliki hubungan integral dengan politik negara, kerana Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Kelompok Islamis inilah yang memiliki kecenderungan sebagai muslim yang termotivasi secara ideologis dan representasi dari “gerakan Islam” (al-harakah al-Islamiyyah).
Pilgub dan Orientasi politik Islamisme
Dua kontestan calon gubernur yang berasal dari dua partai besar, yakni Syahrul Yasin Limpo dan Ilham Arif Sirajuddin adalah kader dua partai pemenang terbesar pertama dan kedua yang notabene adalah representasi partai nasionalis-sekuler. Yang menarik adalah ketika tokoh KPPSI Ustadz Azis Kahar Muzakkar sebagai representasi dari kelompok Islamis telah resmi bersanding dari tokoh yang berasal dari partai yang tidak ber”simbol”kan Islam. Fenomena ini semakin memberikan kejelasan bahwa di Indonesia orientasi politik gerakan-gerakan ideologis semakin dinamis dan berusaha berbaur dengan politik akomodasi negara. Belum lagi ketika beberapa partai-partai Islam saat ini masih hati-hati dalam mengusung siapa jagoan mereka nanti. Bahkan kesan perpecahan dan polemik internal di kalangan partai-partai Islam seperti PAN dan PPP terkait dukungan kepada cagub tertentu telah terjadi. Pertanyaannya adalah apakah aktivisme politik Islam sudah mengalami pergeseran?
Oleh beberapan pemerhati politik Islam, bahwa aktivitas politik Islam khususnya di Indonesia telah disifatkan moderat bahkan liberal adalah suatu yang tidak bisa lagi disangkal. Hal inilah yang dianggap telah terjadi pergeseran aktivisme gerakan politik Islam dari Islamisme ke post-Islamisme. Fenomena ketika tidak ada lagi jurang pemisah antara partai-partai yang ber”simbolkan”kan Islam dengan partai tidak ber”simbol”kan Islam atau partai ideologis dan non-ideologis, telah menjadi bukti. Wacana Post-Islamisme ini mengiringi tesis “kegagalan Islam politik” yang dibawa oleh Olivier Roy, pemerhati Islam politik dari Perancis dalam bukunya, The Failure of Political Islam. Beberapa partai yang dilihat mencapai kesuksesan dalam sistem politik demokrasi seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia disifatkan sebagai partai pasca-Islamis karena dianggap telah masuk dalam struktur politik formal dan politik akomodasi negara. Dianggap “moderat” karena telah bisa bekerjasama dalam struktur demokrasi formal/prosedural.
Ekspresi politik dan ideologi politik Islam dalam berbagai variannya seperti yang telah dijelaskan di atas akan mempengaruhi cara-cara yang digunakan oleh para aktivis politik Islam termasuk di Sulawesi Selatan. Islamisme, baik yang bergerak pada wilayah intra-parlementer seperti partai-partai Islam (PKS, PPP, PBB) dan Islamisme yang bergerak pada wilayah ekstra-parlementer seperti Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Komite Penegakan dan Penerapan Syaria Islam (KPPSI), Front Pembela Islam (FPI), Wahdah Islamiyah dan lain-lain, akan semakin ikut terpengaruh dan memainkan peranan penting dalam pilgub nanti. Termasuk isu formalisasi syari’ah sebagai perjuangan politik bagi kedua arus utama kelompok-kelompok Islamis tersebut.
Pendekatan yang lebih “moderat” oleh kelompok post-Islamisme yang lebih akomodatif dalam wilayah politik formal barangkali bisa dipertimbangkan oleh gerakan-gerakan kelopok Islamis lainnya. Dalam hal ini, yang paling menonjol adalah apakah cita-cita politik Islam seperti itu harus diupayakan melalui instrumen-instrumen politik formal dengan menggunakan partai-partai politik, parlemen atau birokrasi sebagai ajang permainan politik. Sebaliknya, apakah tidak ada cara-cara lain juga boleh ditempuh, misalnya dengan melibatkan berbagai lembaga swadaya Masyarakat, atau organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga memungkinkan proses diversifikasi makna politik terjadi. Kalaupun harus menggunakan partai politik sebagai instrumen untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan Islam, apakah harus dibatasi pada partai-partai politik yang secara formal mempunyai asal-usul sosial dan “teologis” Islam, atau sebaliknya tetap menggunakan partai-partai yang secara formal “tidak bercirikan” Islam. Ketika misalnya SYL akan bersanding dengan perwakilan dari kelompok atau partai Islamis ataupun tidak bersimbolkan Islam, tentu bukanlah sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Karena sekali lagi bahwa yang penting adalah proses diversifikasi makna politik terjadi karena Islam tidaklah tunggal dan tidak berasal dari golongan tertentu.
Untuk kasus Sulawesi Selatan, pengertian gerakan Islam perlu penjelasan lebih lanjut khususnya gerakan-gerakan yang berada pada wilayah ekstra-parlementer, karena umumnya Islamisme tetap dipahami secara sepihak, yakni ideologi kekerasan yang dipegang dan diimplementasikan individu-individu dan kelompok Muslim dalam upaya mencapai agenda-agenda mereka, seperti pembentukan negara Islam dan penegakan syari'ah. Padahal, masih ada kelompok-kelompok Islam di luar sana yang juga memiliki komitmen pada ideologi Islamisme yang berusaha mencapai agenda Islam dengan cara-cara damai melalui proses-proses politik demokratis konstitusional. Adalah sebuah keniscayaan bahwa gelombang demokrasi dunia tidak bisa dibendung, demokrasi adalah sunnatullah yang selalu menghampiri dan “memaksa” kita untuk ikut andil di dalamnya demi tujuan kemaslahatan ummat.
Oleh karena itu, kalau kita bersepakat bahwa Islamisme adalah bagian dari proses demokrasi, maka Islamisme harus menjadi kekuatan baru dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Adalah kewajiban bersama baik kelompok Islamis di wilayah intra-parlementer maupun di ekstra-parlementer untuk menghindari politik kekerasan dan tidak memanfaatkan umat demi kepentingan kelompok tertentu dalam pesta demokrasi 2013 nanti.

Kamis, 08 Maret 2012

MEDIA MASSA DI TENGAH SOROTAN PUBLIK


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Akhir-akhir ini, perdebatan tentang peran media massa menjadi ramai diperbincangkan. Berawal ketika pada 23 Februari lalu, Wakil Sekretaris Komisi Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Ferry Juliantoro ke Komisi Penyiaran Indonesia terkait pemberitaan dua stasiun televisi, Metro TV dan TVOne, yang dinilai menjelek-jelekkan partai tersebut. Oleh pelapor, media (MetroTV dan TV One) telah dianggapnya tidak obyektif lagi dalam memberikan berita. Semua pemberitaan media, khsusnya kedua stasiun TV ini telah nyata-nyata memberikan berita yang menyudutkan partai demokrat. Kasus wisma atlet yang menyeret beberapa elit partai tersebut telah disengaja dibesar-besarkan oleh media, dan lagi-lagi hal ini dianggap sarat kepentingan-kepentingan politik tertentu yang bisa berpengaruh pada pencitraan partai apalagi menjelang pilpres 2014 mendatang.
Belum lagi berakhir polemik antara elit demokrat dengan media, justru muncul lagi sorotan baru. Kali ini dari PSSI, yang menyoroti TV One dan ANTV. Oleh PSSI, kedua stasiun televisi tersebut telah memberikan berita-berita yang cenderung merugikan pihak PSSI. Kekesalan mereka terlihat ketika pihak PSSI tidak menghadiri undangan oleh TV One dalam acara jakarta Lowyers Club dengan tema “Mau Dibawa Kemana PSSI”. Beberapa informasi menyebutkan bahwa PSSI tidak hadir ketika itu merupakan bentuk ketidakpercayaan kepada kedua stasiun televisi tersebut. Yang oleh mereka, pemberitaan-pemberitaan kedua tersebut dianggap tidak berimbang lagi bahkan terkesan telah menyudutkan PSSI terkhusus di era kepengurusan Djohar Arifin. Oleh petinggi PSSI bahkan mengatakan..’ ketika Nirwan Bakrie menjadi pengurus PSSI nyaris tidak ada salahnya PSSI, padahal pasti jaman itu ada salahnya, apalagi masyarakat tidak suka dengan Nurdin Halid. Tapi, ketika Nirwan tidak ada di PSSI, kami selalu salah.’
Media dan Opini Publik
Untuk saat ini, media bisa kita lihat dalam bentuk, koran, televisi, radio, majalah dan media-media informasi lainnya. Beberapa fungsi media adalah melaporkan fakta dan memberikan informasi, mendidik publik, memberi komentar, dan menyampaikan dan membentuk opini publik. Bahkan media di era reformasi ini dapat dengan leluasa mengkritik, mengatur dan “mengontrol” pemerintah dan mengawasi pelaku politik, kader partai dan lain-lainya.
Kenapa media selalu punya daya tarik begitu besar khususnya oleh pemegang kekuasaan, karena media dianggap ampuh mempengaruhi opini publik dan menggiring persepsi masyarakat untuk tujuan dan kepentingannya. Bahkan media juga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkonstruk citra bahkan menjatuhkan lawan politik. Peran yang lain juga bisa kita lihat dalam bentuk pengalihan isu terutama dari isu-isu sensitif yang menyangkut kebijakan pemerintah, seperti kenaikan BBM atau TDL, maka bisa saja media mempropaganda masyarakat dengan isu lain seperti aksi-aksi premanisme sperti kasus John Kei, kekalahan timnas misalnya atau isu-isu lain yang bisa membawa publik terbawa arus dan melupakan isu lain yang sebenarnya justru membutuhkan perhatian besar. Maka sangat pantas kalau ada adagium yang mengatakan “ siapa yang mau mengusai dunia maka kuasailah media”.
Media dan Pembangunan Demokrasi
Ada satu hal yang barangkali yang penting untuk disimak bahwa media-massa sering disebut sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Media massa sering dianggap sebagai sumber kekuasaan yang bisa menjadi pengimbang dari kekuasaan-kekuasaan lain. Namun juga harus diingat bahwa, kekuasaan- jenis apapun-cenderung disalahgunakan (''Power tend to be corrupted'').
Pada negara berkembang, kajian mengenai media ada kecenderungan dan penekanan terhadap dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa, dalam hal ini adalah hegemoni. Kecenderungan ini terlihat ketika adanya kesan oleh pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuan dan kepentingannya. Kesan seperti ini bisa dilihat ketika pemimpin politik banyak berkomunikasi dengan publik melalui media. Pejabat atau politisi berbicara melalui media, lalu kemudian media menyampaikannya ke publik. Proses interaksi atau hubungan timbalbalik ini akan terus ada dan bahkan tidak akan pernah terpisahkan. Media misalnya selalu menjadi incaran para pihak yang berkepentingan untuk bisa memanfaatkan dan meraup keuntungan. Meskipun hal ini juga bisa menjadi bahan jualan pihak media massa. Oleh karena itu, media dapat dipahami sebagai sebuah titik pertemuan dari banyak kekuatan yang berkonflik dalam masyarakat modern, khususnya antara pemerintah, masyarakat pers dan masyarakat politik.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa media dan demokrasi merupakan hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Media tanpa adanya demokrasi juga tidak lengkap, karena media dapat bersuara ketika difasilitasi oleh sistem demokrasi. Sebaliknya, demokrasi akan berjalan maksimal ketika difasilitasi oleh media massa. Hubungan ini bisa dianggap sebagai hubungan yang saling meguntungkan. Artinya, sama-sama butuh dan sama-sama menguntungkan.
Namun manakala media massa dikuasai oleh pihak dan kelompok tertentu sehingga berpihak dan tidak lagi bisa objektif, memberikan berita kepada masyarakat yang cenderung mengarahkan pada tujuan tertentu, berita pesanan misalnya, baik untuk kepentingan politik dan lainnya, maka situasi ini bisa dikatakan sinyal akan keruntuhan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, fungsi kontrol terhadap kekuasaan seperti pemerintah, para pemilik modal, dan lain-lain yang berpotensi mempengaruhi opini publik adalah tanggung jawab media juga. Logikanya, bahwa berhasil-tidaknya demokrasi juga adalah bagian dari tanggung jawab media.
Ketika banyak orang mengatakan bahwa tidak akan pernah ada negara yang dapat mengaplikasikan demokrasi secara utuh, karena demokrasi sendiri bukan semata-mata lahir dari gerakan masyarakat melainkan juga didorong oleh elit-elit politik yang ada dibelakangnya. Maka logikanya, demokrasi juga tidak akan pernah berjalan sempurna, pasti akan selalu ada intervensi kelompok-kelompok tertentu yang mempengaruhinya. Akan tetapi, apakah logika itu bisa kita pakai dalam melihat eksistensi media dalam dinamika demokrasi khususnya di Indonesia? Kalau ya, berarti dapat dikatakan bahwa media juga pasti akan selalu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, bahkan kepentingan politik sekalipun
Mudahan beberapa laporan dari publik, seperti halnya sorotan yang dilakukan oleh elit partai Demokrat dan petinggi PSSI tidak demikian adanya. Muda-mudahan kebebasan pers yang ada di negeri kita ini terus konsisten berjalan di koridornya demi tegaknya demokrasi di negeri yang kita cintai ini. Amin

Rabu, 04 Januari 2012

ISLAMISME DI SULAWESI SELATAN


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Dalam ekspresi pemeluknya, Islam sering tampil tidak hanya sebagai ajaran tetapi juga ideologi. Hal ini berangkat dari sebuah pandangan politik-keagamaan yang merujuk pada proposisi: inna al-Islam ad-din wa ad-dawlah, bahwa Islam itu agama dan negara. Meskipun dalam perkembangannya, pernyataan bahwa Islam sebagai sebuah ideologi masih menuai kontroversi, namun dalam kenyataannya di sebahagian lingkungan Muslim masih terdapat gerakan atau pemikiran yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Kontroversi tersebut dapat dipahami mengingat konsep ideologi itu sendiri sepanjang sejarahnya selalu menjadi wacana kontroversi baik sebagai kerangka pemikiran maupun gerakan.
Hampir semua gerakan Islam di dunia muslim telah menempatkan ideologi dalam posisi dan fungsi yang sangat penting. Gerakan-gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’at Islam di Pakistan, dan gerakan-gerakan Islam di Indonesia seperti Syarikat Islam dan Masyumi, lahir dan tidak lepas dari ideologi.
Pandangan yang mempertautkan Islam sebagai ideologi, dalam makna Islam sebagai agama yang menyeluruh menyangkut segenap aspek kehidupan termasuk politik dan memproyeksikan Islam itu secara langsung atau integral dengan kegihidupan politik atau negara, di kalangan pergerakan Islam seperti pandangan Hasan Al-Banna disebut dengan “Islamiyyah” (Islamiyah), sedangkan dalam wacana kontemporer dikenal dengan “Islamism” (Islamisme). Para Islamiyah disebut “Islamiyyun”, sedangkan pengikut Islamisme disebut “Islamis”. Islamiyah dalam makna mutakhir (kontemporer) sebagaimana diperkenalkan para sarjana Barat yang mempelajari Islam dan fenomena gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, sepadan dengan istilah atau konsep “Islamisme” (Islamism). Islamisme merupakan fenomena gerakan Islam kontemporer yang memandang Islam sebagai ideologi politik, termasuk yang membawa kecenderungan neo-fundamentalisme yang sangat peduli pada syariat Islam.
Eksistensi gerakan ini sebenarnya sejalan dengan gerakan revivalisme Islam yang dipertautkan dengan gerakan kebangkitan Islam yang dipelopori oleh Ibn Taimiyyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abd. Al-Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, dan Rasyid Ridha di dunia Islam, yang kemudian masuk dan berkembang di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Dalam perkembangan kontemporer pasca revolusi Iran tahun 1979, gerakan kebangkitan Islam dalam corak revivalisme, yang mempertautkan Islam dengan kehidupan politik atau negara, menurut Esposito merupakan suatu proses “ideologisasi Islam”, yakni ketika “Islam ditafsirkan sebagai ideologi total yang menjadi asas kerangka makna dan sebahagian tujuan kehidupan politik, sosial, dan kultural”. Kehadiran gerakan Islam yang mengusung ideologi, yang mempertautkan Islam secara langsung atau integral dengan institusi negara atau politik, dalam wacana kontemporer dikenal dengan Islamisme (Islamiyah). Gerakan ini (Islamisme) memandang bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari dan memiliki hubungan integral dengan politik negara, karena Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Kelompok Islamis inilah yang memiliki kecenderungan sebagai muslim yang termotivasi secara ideologis dan representasi dari “gerakan Islam” (al-harakah al-Islamiyyah).
Gejala ideologisasi Islam tersebut bahkan belakangan sering dilekatkan dengan “Islamisme” (Islamiyyah), yang dalam wacana Islam kontemporer mulai banyak digunakan sebagai pilihan lebih tepat daripada konsep fundamentalisme Islam yang memang banyak dikritik karena mengandung banyak kelemahan atau ambiguitas. Dalam era kebangkitan Islam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ideologisasi Islam tampaknya satu napas dengan gerakan Pan-Islam (Pan-Islamisme) sebagimana dikomandangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian menggema ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia.
Kebangkitan Islamisme di Indonesia
Gerakan Pan-Islam dengan model kepemimpinan khalifah di dunia Islam memang semakin menjadi isu besar, terutama pada awal abad-20 bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran nasional untuk merdeka di hampir seluruh negeri muslim terjajah. Gerakan tersebut terus meluas setelah pemerintah Turki Usmani di bawah Sultan Salim I pada tahun 1917 merebut Mesir dan menghembuskan isu kekhalifahan Islam sedunia dan mengangkat diri sebagai pelindung Makkah dan Madinah. Setelah kemenangan Sultan Salim itulah Pan-Islam tumbuh menjadi isu dan gerakan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Kendati terdapat pula ironi bahwa di Turki sendiri gerakan itu kandas setelah gerakan nasionalis-sekular yang dikenal dengan julukan kaum Turki Muda di bawah Mustafa Kemal berkuasa dan kemudian menghapuskan jabatan khalifah pada tahun 1924.
Di Indonesia, agama Islam mulai dari awal kedatangannya sampai sekarang penuh dengan dinamika dan punya warna tersendiri dalam kehidupan di negara ini. Dinamika tersebut dapat dilihat ketika Islam berhubungan dengan politik atau kekuasaan negara, terutama pada era moden setelah bersentuhan dengan struktur negara-bangsa (nation-state) sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 yang mengantarkannya pada pergulatan ideologis yang penuh problematik. Inilah sebuah fase baru setelah Islamisasi kultural yang berlangsung lama sejak masa awal kedatangan Islam ke Nusantara dan proses persentuhan politik pra-moden dalam dinamika kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam sejak abad ke-13. Dalam konteks demikian maka kehadiran Islam dalam kenyataan hidup pemeluknya dan dunia pada umumnya menjadi suatu fakta historis dan sosiologis yang selalu bersifat kompleks dan penuh warna. Lebih-lebih bagi sebuah gerakan keagamaan yang tidak memisahkan urusan agama dan politik maka Islamisasi itu selalu memunculkan proses pertemuan dan dialog antara tuntutan-tuntutan yang bersifat doktrin dengan kenyataan lingkungan sosial yang dihadapi.
Pergulatan ideologis yang sarat problematik di tubuh umat Islam selain menggambarkan keragaman corak pengalaman Islam dalam kehidupan politik secara umum mahupun dalam menghadapi struktur baharu negara-bangsa secara khusus, pada saat yang sama menunjukkan masih belum terpecahkannya masalah hubunga Islam (din) dan negara (daulah) di era moden secara tuntas, yang melahirkan hubungan-hubungan yang canggung di antara keduanya. Namun apapun ragam corak eksperimen Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, maka proses dialektika itu tampaknya terus berlangsung tanpa kenal berhenti. Bagi kaum muslim ini merupakan suatu keniscayaan sebagai bagian dari dinamika Islamisasi yang tidak pernah akan selesai.
Di Indonesia, seiring dengan berkembangnya kehidupan perpolitikan nasional ketika memasuki era reformasi, jalur-jalur demokrasi dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut berpartipasi dalam berbagai proses politik secara sukarela. Era reformasi juga memasuki babakan baru dengan mendatangkan liberalisasi politik.
Situasi ini telah memungkinkan lahirnya parti-parti politik dalam jumlah yang sangat banyak. Islam juga mengambil bagian yang besar dalam era demokratisasi tersebut. Buktinya, bahwa di antara organisasi-organisasi politik yang muncul itu adalah parti-parti yang mempunyai social origin Islam. Parti politik pun mulai “kembali menemukan momentum” dirinya untuk memikat masyarakat. Simbol-simbol agama mulai kembali menjadi “komoditas” yang dianggap mampu meningkatkan perolehan suara. Sebagai kelanjutan dari asal-usul sosial demikian itu, ada parti yang menegaskan diri sebagai parti Islam. Ini terutama tampak dalam simbol dan asas parti. Ada pula yang merasa tidak perlu menyatakan diri sebagai parti Islam. Meskipun begitu, publik tetap menganggapnya sebagai parti Islam. Hal ini sesuai dengan realitas yang ada, bahwa secara jelas pendukung parti-parti itu, baik yang menyatakan secara resmi parti Islam atau tidak, adalah komunitas Islam.
Hanya dalam waktu beberapa bulan setelah reformasi dimulai, Indonesia mempunyai lebih dari 170 parti. Parti-parti yang menggunakan label agama sudah berada di atas angka 50-an, termasuk parti-parti Islam. Meskipun demikian, melalui proses verifikasi, hanya 48 parti yang dinilai layak mengikuti pemilu.
Dalam konteks Islam, perkembangan ini telah melahirkan penilaian tersendiri yakni pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Pandangan ini dianggap boleh saja, karena satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak, kenyataan ini akan mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apapun, lebih-lebih parti politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, bahwa massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan. Meskipun dalam wilayah tertentu, artikulasi (pemikiran politik Islam) masih tetap didominasi oleh kemahuan ideologis untuk melegitimasi rezim-rezim masyarakat Islam dewasa ini.
Pada sisi yang lain, bahwa di era baru itu bukan hanya lahir parti-parti politik yang mengusung politik aliran baik dari kalangan Islam maupun golongan masyarakat lainnya, tetapi juga organisasi-organisasi atau gerakan-gerakan keagamaan yang membawa misi dan simbol-simbol keagamaan termasuk di kalangan umat Islam. Di antara gejala baru yang menonjol dan menimbulkan kontroversi ialah gerakan Islam yang mengusung kembali piagam Jakarta dan penerapan syariat Islam yang sering disebut berhaluan radikal atau fundamentalis seperti Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Komite Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan lain-lain di luar parti politik Islam yang mengusung isu yang sama kendati tidak sekuat gerakan-gerakan Islam berhaluan militan itu. Gerakan-gerakan Islam yang mengusung perjuangan menegakkan syari’at Islam dalam struktur negara itu kendati gagal dalam memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 pada momentum Sidang MPR tahun 2000, namun tidak mengenal menyerah dalam melakukan usaha-usaha penerapan syariat Islam di berbagai daerah di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya, lebih-lebih setelah Aceh berhasil memperoleh status otonomi khusus dengan menerapkan syari’at Islam tahun 2001.
Kelompok Islam yang membangkitkan kembali parti politik Islam berlabel formal Islam, termasuk mengusung isu Piagam Jakarta dan penerapan syari’at Islam, tergolong Islam ideologis atau dalam istilah yang belakangan populer disebut Islamisme. Dikatakan Islam ideologis karena watak dan orientasi keagamannya berbasis pada pandangan Islam sebagai ideologi, yang mempertautkan secara langsung hubungan Islam dengan negara atau politik serta memperjuangkan cita-cita politik Islam. Bagi kaum Islamis (pengikut Islamisme) atau yang paham Islam ideologis bahwa Islamisasi harus dilakukan melalui keterlibatan langsung dalam kegiatan sosial dan politik. Bahwa keterlibatan dalam politik berpijak pada Islam sebagai sistem pemikiran yang umum dan menyeluruh (Islam is a global and synthesizyng system of thought). Masyarakat Islam dalam berbagai landasan dan struktur kehidupannya haruslah Islami.
Dalam konteks Islamisme, kehadiran parti-parti politik dan organisasi Islam bercorak Islamis atau ideologis di era reformasi tersebut telah secara terbuka menyuarakan dan mengusung kembali perjuangan menegakkan syari’at Islam melalui isu momentum amandemen UUD 1945 seperti disuarakan oleh PPP, PBB, dan PK (PKS) maupun oleh FPI, MMI, dan Hizbu Tahrir melalui perjuangan politik parlemen mahupun di luar parlemen . Bagi mereka, keyakinan akan otentitas dan kesempurnaan ajaran Islam dengan tetap mengacu kepada pengalaman sejarah generasi Islam awal. Generasi ini merupakan basis ideologis pandangan kalangan yang kukuh mempertahankan dan memperjuangkan syariah Islam sebagai penawar atas soalan sosial-politik masyarakat. Barat dinilai gagal mensejahterakan tatanan sosial-politik penduduk dunia. Pada akhirnya kaum Islamis selalu mengatakan bahwa “syariah Islam adalah solusi” atas berbagai masalah sosial-politik dunia selama ini. Dalam masyarakat baru sekalipun yang hidup disekitar lingkungan Islam akan menyukai pengetahuan Islam karena Islam akan tetap memberikan jalan keluar.
Di lingkungan umat Islam, selain parti-parti politik berasas formal Islam sebagaimana disebutkan, lahir pula gerakan-gerakan Islam yang mengusung cita-cita ideologi Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang kedua-duanya mengusung perjuangan menegakkan syariat Islam dan kekhalifahan Islam. Sedangkan Gerakan-gerakan Islam lainnya seperti Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) di Sulawesi Selatan dan kelompok-kelompok Islam setempat mengusung formalisasi syari’at Islam dalam institusi pemerintahan seperti berkembang di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya, selain di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang secara resmi sejak diberlakukannya Otonomi Khusus tahun 2003 telah menjadi daerah yang menerapkan syari’at Islam secara formal. Gerakan-gerakan Islam ini, baik yang bergerak langsung di lapangan politik menjadi parti politik maupun menjadi gerakan-gerakan Islam yang bercorak dakwah dan ideologis, memiliki nasab ideologis yang relatif sama dan bahkan hingga batas tertentu mempunyai pertautan elite dan pahamnya dengan gerakan-gerakan Islam yang mengusung ide negara Islam atau Islam sebagai dasar negara di masa silam. Kecenderungan Islam yang berorientasi pada politik inilah yang mewarnai kebangkitan kembali Islamisme maupun Islam politik di era baru yang membuka keran keterbukaan luar biasa itu.
Gerakan Islam Ideologis (Islamisme) sebenarnya juga tidak lepas dari situasi politik yang berkembang di Indonesia. Bahwa iklim keterbukaan pada era reformasi memberikan peluang bagi umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk memperjuangkan aspirasinya. Dalam wilayah parti politik, gerakan Islam (Islamism) tampaknya terkait dengan pengaruh yang kuat oleh masyarakat setempat dengan alam ideologi-politik sebagaimana pengaruh parti-parti politik Islam di masa lampau sebagaimana tergambar dalam Pemilihan umum sejak 1955 hingga pada masa Orde Baru dan Era reformasi. Pada pemilihan umum 1955, parti-parti berbasis Islam mendominasi dan menjadi kekuatan yang relatif besar di wilayah ini iaitu Majelis Syuro Muslimin(Masyumi) (39,73%) sekaligus sebagai pemenang pertama, disusul oleh Nahdatul Ulama (17,24%) dan parti Syarikat Islam Indonesia atau PSII 12,28%). Meskipun pemilu-pemilu selanjutnya suara gabungan Parti Islam tidak pernah lebih baik dari perolehan dalam Pemilihan umum 1955 tersebut. Pemilihan umum terakhir tahun 2009 menunjukkan bahwa parti-parti yang berbasis Islam tidak sebanding dengan rasio pemilih umat Islam. Di antara penyebab terjadinya penurunan tersebut berdasar dari beberapa survei yang menunjukkan bahwa massa pendukung parti-parti politik yang berbasis Islam yang menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, terbukti lebih banyak memberikan suaranya kepada parti-parti yang tidak berbasis Islam. Hal ini dapat dilihat hasil Pemilihan umum Umum 2009 DPR RI. P. Demokrat 148, P. Golkar 107, PDIP 94, PKS 57, PAN 46, PPP 37, PKB 28, P. Gerindra 26, P. Hanura 17 kursi.Terdiri dari 29 parti yang tidak lolos PT, karena itu tidak memperoleh kursi di DPR pusat. Sumber: KPU. Terdiri dari 29 parti yang tidak lolos PT, karena itu tidak memperoleh kursi di DPR pusat. Sumber: KPU.
Dari data yang ada di atas, terlihat jelas bahwa distribusi perolehan suara di dalam pemilu pada dasarnya lebih terkonsentrasi pada sejumlah parti dan tidak kepada semua parti termasuk di dalamnya adalah parti-parti Islam, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB. Meskipun secara alamiah hanya parti-parti tertentu saja yang memperoleh dukungan yang nyata dari para pemilih, tetapi yang menjadi sorotan adalah parti-parti yang berbasis dukungan massa riil (real) Islam justru kalah dengan jumlah suara yang signifikan oleh parti-parti yang bukan parti Islam. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar apakah massa pemilih Islam sudah mengalami pergeseran perilaku dalam memilih, atau perilaku politik Islam secara umum sudah mengalami polarisasi tertentu. Bahwa yang jelas fenomena seperti ini adalah persoalan serius yang harus ditemukan jawabannya.
Wajah Islamisme di Sulawesi Selatan
Pemandangan yang sama juga terjadi pada Pemilihan umum di Sulawesi Selatan pada era reformasi. Data menunjukkan bahwa Pemilihan umum 2004 pemilih umat Islam memperlihatkan orientasi yang meningkat untuk memilih calon-calon legislatif yang dicalonkan parti Islam atau parti yang berbasis Islam. Pemilihan umum tahun 1999 parti-parti Islam mampu mandapat kursi 14 anggota DPR Propinsi dari 65 kursi yang tersedia. Sedangkan Pemilihan umum tahun 2004 parti Islam atau parti yang berbasis Islam memperoleh kursi yang meningkat 25 kursi dari 75 kursi yang disediakan atau 30% kursi yang diperoleh.
Pemilu 2009 juga tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar mendapat suara 925.842 suara, Demokrat: 578.470, PKS: 328.537, PAN: 293.782, Hanura: 172.929, PPP: 151.624, PDIP: 119.745, dengan tingkat pelibatan pemilih hanya 70%. Dari 5.633.977 daftar pemilih tetap (DPT), hanya 3.685.400 yang memilih. Berarti yang tidak memilih sekitar 1.948.577. (Sumber: KPU Sulawesi Selatan).
Namun jumlah kursi yang diperoleh jika dibandingkan dengan pemilih umat Islam masih belum berimbang. Kalau dilihat dari sudut keterwakilan pilitik maka dari ke 75 kursi anggota DPRD ini harus direbut oleh parti-parti Islam atau parti yang berbasis Islam sebanyak 70-72 kursi.
Data ini menunjukkan bahwa umat Islam di Sulawesi Selatan memiliki minat yang sangat kecil untuk memilih parti politik Islam. Pada sisi yang lain secara metodologi politik parti Islam sangat kurang berpengaruh terhadap pemilih umat Islam yang mayoritas di Sulawesi Selatan. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa umat Islam Sulawesi Selatan dalam menyampaikan aspirasi politik tidak harus melalui parti politik Islam atau parti yang berbasis Islam.
Dengan posisi politik yang demikian maka ikhtiar memperjuangkan penegakan syariat Islam di Sulawesi Selatan mengalami kendala secara politik baik untuk legislasi di tingkat propinsi maupun untuk meraih otonomi khusus bagi penerapan syariat Islam karena mayoritas kekuatan politik berada di tangan parti politik yang tidak setuju dengan Piagam jakarta dan perlembagaan syariat Islam yakni Golkar dan kekuatan politk lainnya yang sepaham. Di kalangan parti-parti berbasis Islam pun seperti PKB dan PAN tidak memperoleh dukungan yang signifikan, sedangkan PKS juga tidak jelas, sehingga praktis hanya PPP dan PBB yang mendukung gerakan penerapan syariat Islam di bumi sulawesi Selatan, itupun dengan perjuangan politik yang tidak gigih.
Dalam konteks Sulawesi Selatan, pola Islamisme secara garis besar terdapat setidaknya (untuk sementara) tiga pola yakni, pertama, pola para Datuk yang sukses mengislamkan raja-raja di Sulawesi Selatan; kedua, pola kedua yakni pola Kahar Muzakkar yang melakukan pemberontakan/perlawanan kepada pemerintah yang bertujuan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII); ketiga, pola Komite Penersiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang sebahagian dapat dipandang sukses dengan menggunakan pendekatan stuktural politik. Di dalam pola itu, ada varian-varian Islamisme yang tidak tunggal, Islamisme berwajah sangat jamak yang tentu memerlukan kajian yang serius untuk menunjukkan varian-varian itu, varian itu boleh dilihat dari aktivisme Wahdah Islamiyah, Hidayatullah, Parti Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kemudian halaqah-halaqah kecil yang eksis di Sulawesi Selatan seperti Salafy, Jama'ah Tabligh dan lain-lain. Selain itu, boleh dilihat dalam pendekatan struktural dengan melihat kebijakan politik pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten terkait cita-cita ideologi-politik Islam yang mengusung formalisasi syari’at Islam dalam institusi pemerintahan di Sulawesi Selatan.
Pola pertama adalah ketika awal penyebaran Islam pertama yang datang ke Luwu dibawa oleh tiga pendakwah dari Minangkabau yang berlayar dari Johor iaitu Sulaiman (Khatib Sulaiman Dato’ Patimang), Abdul Makmur (Abdul Makmur Khatib Tunggal Dato’ ri Bandang), dan Chatib Bungsu (Khatib Bungsu Dato’ri Tiro). Islam masuk ke Luwu melalui dialog yang panjang antara ketiga pendakwah itu dengan penguasa Luwu iaitu Datuk La Patiware (memerintah pada tahun 1585-1610), yang akhirnya memeluk Islam pada 15 Ramadhan 1013 Hijriayah atau 5 Februari 1603, dua tahun sebelum Islam masuk ke Gowa. Selanjutnya atas saran Datuk Patiware ketiga penyebar Islam itu pergi ke Gowa dan Bulukumba, yang akhirnya dapat menyebarkan Islam secara lebih leluasa di dua daerah itu. Sejak raja Gowa memeluk agama Islam dan Islam menjadi bagian penting dalam pemerintahan kerajaan, maka sejak itulah Islam meluas dan menjadi agama mayoritas dalam kehidupan masyarakat Sulawesi selatan. Hingga saat ini pun masyarakat Sulawesi Selatan sering diidentikkan dengan Islam, bahkan jika aceh dikenal dengan serambi Mekkah, maka orang orang Sulawesi Selatan mengidentikkan daerahnya sebagai Serambi Madinah.
Kehadiran Islam di Sulawesi Selatan merupakan titik sejarah baru yang mengubah tatanan masyarakat terutama dalam kehidupan politik kerajaan dan sistem religi. Dalam kehidupan politik Islam telah menjadi fenomena baru sebagai agama kerajaan terutama di Gowa yang berarti masuk dalam struktur kekuasaan. Pada akhirnya kemudian mengalami proses politik dengan adanya penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain di wilayah kepulauan Sulawesi Selatan. Secara politis, dakwah selanjutnya sudah berada dalam tangan penguasa (raja).
Selanjutnya adalah gerakan yang dipelopori oleh Kahar Muzakkar. Tokoh ini adalah dianggap sebagai orang yang “berjihad” memberlakukan kembali syariat Islam sebagai wujud penolakan atas pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta dan terhadap pengaruh komunis di sulawesi Selatan pada awal tahun 1951-an yang terkenal dengan gerakan Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII).
Selanjutnya adalah perjuangan atau gerakan penegakan syariat Islam KPPSI. Bagi KPPSI, bahwa demi tegaknya syariat Islam secara formal harus melalui dakwah politik dan politik dakwah diiringi tarbiah dan jihad secara konstitusional, demokratis dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk mewujudkan legitimasi (secara formal) institusionalisasi Islam dalam bentuk undang-undang Otonomi Khusus Pemberlakuan Syariat Islam di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai rumah politik, sedang para cendekiawan, pakar, tokoh umat dan pemimpin lembaga-lembaga Islam mengisi rumah politik tersebut dengan aturan-aturan, manhaj, hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehinga perjuangan itu berjalan secara simultan dan bersinergi.
Kehadiran gerakan Islam di Sulawesi Selatan secara sosiologis hadir dalam konteks dan manifestasi yang kompleks, baik yang melekat dalam dinamika internal umat Islam, maupun dalam struktur kehidupan masyarakat Indonesia secara eksternal. Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang bersifat sosiologis yang memberikan dorongan sekaligus menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan Islam yang cenderung melakukan Islamisasi yang formalistik dalam negara dengan karakternya yang legal-formal, doktriner, dan militan. Kehadiran gerakan-gerakan Islam ideologis seperti yang diperlihatkan oleh HTI, MMI, KPPSI, dan kelompok-kelompok penegak formalisasi syariat Islam di Sulawesi Selatan tentu memunculkan tanda tanya kepada publik terkait yang mendasari kemunculan dasar gerakan mereka. Lebih jauh lagi, bahwa keberadaan Islamisme di Sulawesi Selatan secara khusus sangat terkait dengan keberadaan eksistensi dua organisasi besar Islam iaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) yang selama ini membanggakan diri sebagai arus utama Islam moderat di Indonesia dinilai sudah mengalami kebuntuan inovasi dan kreativitas dalam menyikapi perkembangan yang ada. Gagasan Islam dan Keindonesiaan yang menjadi platform keduanya seakan kehilangan daya tawarnya ketika adanya kecenderungan mengeksploitasi organisasi mereka untuk tunggangan politik. Sebaliknya, fenomena yang disebut gerakan Islamisme menyeruak saat masyarakat mengalami disorientasi. Islamisme seakan menjadi wahana baru di balik kebuntuan Muhammadiyah dan NU dalam menyuarakan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam bingkai keindonesiaan.
Ekspresi politik dan ideologi politik Islam dalam berbagai variannya seperti yang telah dijelaskan di atas akan mempengaruhi cara-cara yang digunakan oleh para aktivis politik Islam termasuk di Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, yang paling menonjol adalah apakah cita-cita politik Islam seperti itu harus diupayakan melalui instrumen-instrumen politik formal dengan menggunakan parti-parti politik, parlemen atau birokrasi sebagai ajang permainan politik. Sebaliknya, apakah tidak ada cara-cara lain juga boleh ditempuh, misalnya dengan melibatkan berbagai lembaga swadaya Masyarakat, atau organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga memungkinkan proses diversifikasi makna politik terjadi. Kalaupun harus menggunakan parti politik sebagai instrumen untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan Islam, apakah harus dibatasi pada parti-parti politik yang secara formal mempunyai asal-usul sosial dan “teologis” Islam, atau sebaliknya tetap menggunakan parti-parti yang secara formal “tidak bercirikan” Islam.
Setidaknya bahwa Islamisme di Sulawesi Selatan dengan pola pergerakannya cenderung kepada Post-islamisme, yakni sebuah gerakan yang lebih moderen. Artinya bahwa kebnayakan gerakan-gerakan yang ada cenderung lebih akomodatif dengan pemerintah. Kecuali barangkali Hizbu Tahrir yang agak lebih konsisten dengan dasar dan visi politik mereka dibandingkan dengan gerakan-gerakan ideologis lainnya di Sulawesi Selatan.
Kecenderungan pergeseran wajah dari Islamisme ke post-Islamisme ini kurang lebih dipengaruhi oleh tiga sumber pengaruh dan tantangan utama, yakni Pengaruh Sistem politik yang ada di Indonesia, munculnya kaum sekuler kritis dan geo-politik.
Pengkajian lebih mendalam terakait gerakan-gerakan Islamisme khsusnya gerakan-gerakan ideologi-politik perlu ditingkatkan. Di Indonesia, dengan terjadinya perubahan paradigma dalam sistem politik yakni dari orde baru ke reformasi, tentu akan sangat membuka ruang pelibatan politik masyarakat. Setidaknya, bahwa penkajian yang mendalam terkait Islamisme ini akan berusaha untuk menemukan pola hubungan yang sistematis antara Sistem politik dan politik Islam khususnya di Sulawesi Selatan, baik dari segi sejarah, gerakan dan perilaku politiknya. Sehingga hasilnya minimal dapat memberikan jalan keluar atas kesulitan selama ini untuk membangun sintesis yang memumngkinkan antara Islam dan negara agar tetap berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Anhar Gonggong, 2004, AbdulQahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, Ombak. Yogyakarta.
Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modenisme, hingga Post-Modenisme, Jakarta: Paramadina.
Bernhard Platzdasch, 2009, Islamism in Indonesia; Politics in the Emerging Democracy, Singapore.
Bahtiar Effendi, 2000. Repolitisasi Islam; Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Mizan, Bandung.
Haedar Nashir, 2007, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, RMBOOKS, Jakarta.
John Calvert, 2008, Islamism: A Documentary and Reference Guide, Green Wood Press, India.
Khalifa Abdul Hakim, 1993, Islamic Ideology, Institute Of Islamic Culture, Lahore.
John L.Esposito, 1990, Islam dan Politik, Terjemahan, Bulan Bintang, Jakarta.
Masdar Hilmy , 2010, Islamism and Democracy in Indonesia; Piety and Pragmatism, Singapore.
Peter R. Demant, 2006, Islam vs Islamism: The Dilemma of The Muslim World, London.
Sartori, Giovanni. 1976 “ Parties and Party Systems; A Framework For Analysis” Cambridge University Press, New York.
Saiful Mujani, 2007. Muslim Demokrat; Islam Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta.
Taufik Abdullah (1987), Islam dan Masyarakat: pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987, h. 91.
Burhan Ghalioun, 2010, Islamology Comes to the Aid of Islamism, Diogenes, 257: 120 2011-06-04
William I. Robinson, 2010, Globalization and Social Movements: Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement. Contemporary Sociology: A Journal of Reviews 2010 39: 187
Peter Baehr, 2011, Marxism and Islamism: Intellectual conformity in Aron's time and our own, 11: 173 Journal of Classical Sociology,

Makalah/Penyelidikan:
Kausar Bailusi, Umat Islam dan Perpolitikan di Sulawesi Selatan (Makalah Seminar Nasional, 2008).
Ishak Rahman, Integritas Politik di Sulawesi Selatan, (Makalah hasil penelitian yang disampaikan pada seminar penelitian pada tanggal 29 Juli 2010 di Pusat Penelitian UNHAS Makassar).

Selasa, 03 Januari 2012

PARTAI ISLAM DAN PERILAKU PEMILIH DI SULAWESI SELATAN


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Di Indonesia, seiring dengan berkembangnya kehidupan perpolitikan nasional ketika memasuki era reformasi, jalur-jalur demokrasi dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut berpartipasi dalam berbagai proses politik secara sukarela. Era reformasi juga memasuki babakan baru dengan mendatangkan liberalisasi politik.
Situasi ini telah memungkinkan lahirnya partai-partai politik dalam jumlah yang sangat banyak. Di antara organisasi-organisasi politik yang muncul itu adalah partai-partai yang mempunyai social origin Islam. Partai politik pun mulai “kembali menemukan momentum” dirinya untuk memikat masyarakat. Simbol-simbol agama mulai kembali menjadi “komoditas” yang dianggap mampu meningkatkan perolehan suara. Sebagai kelanjutan dari asal-usul sosial demikian itu, ada partai yang menegaskan diri sebagai partai Islam. Ini terutama tampak dalam simbol dan azas partai. Ada pula yang merasa tidak perlu menyatakan diri sebagai partai Islam. Meskipun begitu, publik tetap menganggapnya sebagai partai Islam. Hal ini sesuai dengan realitas yang ada, bahwa secara mencolok pendukung partai-partai itu, baik yang menyatakan secara resmi partai Islam atau tidak, adalah komunitas Islam.
Hanya dalam waktu beberapa bulan setelah reformasi dimulai, Indonesia mempunyai lebih dari 170 partai. Partai-partai yang menggunakan label agama sudah berada di atas angka 50-an, termasuk partai-partai Islam. Meskipun demikian, melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu.
Dalam konteks Islam, perkembangan ini telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Pandangan ini dianggap sah-sah saja, karena satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak, kenyataan ini akan mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apapun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, bahwa massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.
Realitas di atas seakan mempertegas bahwa fenomena agama selalu mengiringi perjalanan sejarah perpolitikan di Indonesia. Berawal dari tanggal 22 Juni 1945 ketika Panitia Sembilan berhasil merumuskan rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar yang memuat tentang Pancasila. Rancangan ini kemudian diberi nama oleh Mr. Moehammad Yamin sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Selain itu, dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat alinea yang berbunyi “ Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan dorongkan oleh keinginan luhur, supaya bekehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya “. Kalimat ini merupakan ungkapan hati nurani bangsa Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut Declaration of Indonesian Independence.
Dua contoh di atas semakin menegaskan bahwa perpolitikan di Indonesia selalu dilingkupi oleh nuansa-nuansa agama. Artinya ada semangat religius yang terbina dalam kerangka untuk mengakomodir dan mengapresiasi bagi agama-agama lainnya terutama yang sudah ada sejak Indonesia masih era kerajaan.
Partai Islam dan Pemilih Islam
Secara historis, fenomena agama dalam kehidupan politik muncul ketika akan digelar Pemilu 1955. Saat itu bermunculan partai-partai yang berlabel agama seperti Partai Masyumi, Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Katolik. Padahal waktu Pemilu pertama pasca kemerdekaan itu dilaksanakan maka partai-partai non agama-lah yang memenangkan 61 persen suara di lembaga perwakilan, Islam menguasai 30 persen dan yang berorientasi Kristen 0,29 persen. Artinya meskipun mayoritas Bangsa Indonesia adalah Islam, tetapi tidak serta merta partai Islam memperoleh suara yang signifikan.
Berdasarkan historis singkat di atas, semakin menunjukkan bahwa agama dan pemeluknya telah memainkan peran penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Bahkan tidak jarang agama mempunyai posisi tawar yang cukup “menggiurkan” bagi oknum yang mengambil keuntungan.
Pada Pemilu Pertama tahun 1955 suara Partai Islam yang diwakili Partai Masyumi dan Partai NU masing-masing memperoleh 57 dan 45 kursi dari jumlah total kursi 257 di Parlemen atau masing-masing memperoleh 20,9 % dan 18,4 % dari seluruh total suara. Dan pada pemilu-pemilu selanjutnya suara gabungan Partai Islam tidak pernah lebih baik dari perolehan dalam Pemilu 1955 tersebut.
Beberapa survei lain juga menunjukkan bahwa massa pendukung partai-partai politik yang berbasis Islam yang menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, terbukti lebih banyak memberikan suaranya kepada partai-partai yang tidak berbasis Islam. Hasil survei pada pemilu 2004-2009 mencatat bahwa partai-partai yang berbasis Islam tidak sebanding dengan rasio pemilih umat Islam. Hal ini bisa dilihat hasil pemilihan umum 2009 DPR RI. P. Demokrat 148, P. Golkar 107, PDIP 94, PKS 57, PAN 46, PPP 37, PKB 28, P. Gerindra 26, P. Hanura 17 kursi.Terdiri dari 29 partai yang tidak lolos PT, karena itu tidak memperoleh kursi di DPR pusat. Sumber: KPU.
Dari data yang ada di atas, terlihat bahwa pemilu 2009 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai nasional dan enam partai lokal. Hasilnya, seperti yang terlihat dari data di atas, hanya sembilan partai yang memperoleh suara lumayan. Dari sembilan partai ini, tujuh di antaranya adalah partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Hanya dua partai baru yang masuk di dalamnya, yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Sebagian besar partai-partai (baru) lainnya, tidak memperoleh suara yang berarti. Dengan kata lain, distribusi perolehan suara di dalam pemilu pada dasarnya lebih terkonsentrasi pada sejumlah partai dan tidak kepada semua partai termasuk di dalamnya adalah partai-partai Islam, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB. Meskipun secara alamiah hanya partai-partai tertentu saja yang memperoleh dukungan riil dari para pemilih, tetap yang menjadi sorotan adalah partai-partai yang berbasis dukungan massa riil Islam justru kalah dengan jumlah suara yang signifikan oleh partai-partai yang notabene bukan partai Islam. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar apakah massa pemilih Islam sudah mengalami pergeseran perilaku dalam memilih, atau perilaku politik Islam secara umum sudah mengalami polarisasi tertentu yang tidak terlalu mengedepankan fanatisme keagamaan mereka atau bahkan umat Islam sebagian besar tidak ikut terlibat atau berpartisipasi dalam politik dengan alasa-alasan tertentu. Bahwa yang jelas fenomena seperti ini adalah persoalan serius yang harus ditemukan jawabannya.
Pada sisi yang lain, Lembaga Survei Indonesia (LSI) ketika merilis Moslem Youth Survey antara tanggal 18-26 November 2010, yang mensurvey tingkat ketertarikan umat Islam dalam politik (Interested in Politics) dengan sampel 1496 responden di 33 Propinsi dengan sistem multistage random sampling dengan hasil sebagai berikut: Highly Interested : 5,5 %. Interested : 23,1 %. Litle Interested: 41,4%. Not All Interested : 28,9 %. (Margin of error around: +/-2.6% at 95%).
Hasil survey di atas semakin mempertegas bahwa tingkat partisipasi politik umat Islam selama ini kurang begitu bagus. Hal ini merupakan persoalan tersendiri di kalangan internal umat Islam terkait perilaku politik mereka. Lebih lanjut, LSI juga melakukan survei tentang Pemilih Mengambang dan Prospek Perubahan Kekuatan partai Politik, hasilnya adalah bahwa hubungan antara pemilih dengan partai sangat lemah. Setelah 12 tahun mengalami pemilihan umum, pemilih semakin merasa jauh dengan partai. Akibatnya tingkat partisipasi dalam tiga Pemilu sebelumnya menurun tajam (sekitar 20%), dan perubahan pilihan dalam tiap pemilihan umum semakin besar. Kalaupun warga memilih sekarang, pilihan mereka mengambang, dan mudah berubah kembali, seperti dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Pemilih yang loyal sangat kecil (20%). (Survey dilakukan antara tanggal 15-25 Mei 2011).
Persoalannya sekarang adalah, apakah pergeseran perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik Indonesia ke depan? Apakah dengan rendahnya minat dan partisipasi politik merupakan preseden buruk dalam proses demokratisasi di Indonesia? Lalu bagaimana dengan umat Islam sebagai penduduk mayoritas menanggapi fenomena politik seperti ini? Tentu hal ini harus dijawab khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Tak terkecuali masyarakat di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang ikut bertanggung jawab dalam perkembangan kehidupan politik (demokratisasi) negara ini ke depan.
Umat Islam dan Pergeseran Perilaku Pemilih di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, para penganut agama Islam dapat dikatakan mayoritas dan sentra pendidikan Islam dan pengkaderan umat Islam. Oleh karena itu, setiap warga Sulawesi Selatan merantau pasti diindentikkan sebagai orang yang beragama Islam. Sebutan istilah sulawesi Selatan atau Bugis-Makassar pasti diasosiasikan dengan Islam.
Tatanan kehidupan berpemerintahan umat Islam dinilai sangat respek untuk menduduki jabatan pemerintahan di Sulawesi Selatan. Terbukti bahwa hampir semua jabatn-jabatan strategis (jabatan politik) di daerah mulai bupati, walikota atau Gubernur didominasi oleh orang Islam. Oleh karena itu, kalau berbicara perpolitikan umat Islam di Sulawesi Selatan frekuensinya sangat tinggi. Bahkan dinamika politik lokal di Sulawesi Selatan sering menjadi sorotan media nasional.
Namun ada sisi lain yang tidak bisa diabaikan terkait konstalasi politik lokal di Sulawesi Selatan. Perpolitikan umat Islam biasanya bertabrakan dengan perpolitikan antar etnis sampai pada koalisi antar etnis. Umat Islam sendiri terpecah dalam etnis dan lebih menguat pada tatanan perpolitikan etnis dari pada perpolitikan umat Islam.
Sepintas akan terlihat bahwa koalisi etnis Bosowa (Bone, Soppeng, Wajo) dan Masarrengpulu, secara politik pasti berhadapan dengan umat Islam lain yang berasal dari etnis Bugis lain dan etnis makassar serta etnis lainnya di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu kebutuhan menjaga sinergitas Islam maka umat Islam harus mampu memahami politik secara benar.
Menurut sejarah kerajaan-kerajaan di sulawesi selatan, bahwa para raja-raja atau bangsawan cenderung berfikir demokratis. Perilaku politik masayarakat sangat tergantung oleh orientasi politik tuannya/rajanya/pimpinannya. Fenomena seperti inilah yang kemudian perilaku politik masyarakat khususnya umat Islam sulit diprediksi. Kalau sudah terjadi hubungan sinergitas atau hubungan patron-clien seperti ini , maka sebagian besar penggarap (umat islam) sangat sulit memilih partai khususnya partai-partai Islam karena sebagian besar pemilih umat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap orang lain atau lingkungannya. Buktinya, bahwa pada zaman orde baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sangat sulit menang di Sulawesi Selatan.
Kasus Pemilu di Sulawesi Selatan pada era reformasi, menurut Undang-Undang Pemilu no.3 tahun 1999 pasal 5 ayat 2 sub c, daerah tingkat 1 yang jumlah penduduknya 5.000.000 -7.000.000 . jiwa mendapat 65 kursi. 65 kursi ini diperebutkan oleh 48 partai politik peserta pemilu. Hasil pemilu memperlihatkan sebanyak 11 partai politik yang memperoleh kursi. jumlah kursi tahun 1999 sebagai berikut: Golkar 48 kursi, PPP 6 kursi, PDIP 5, PAN 3, PKB 1, PBB 1, PDKB 1, PSII 1, PK 1, PP1.
Data ini menunjukkan bahwa umat Islam di Sulawesi Selatan memiliki minat yang sangat kecil untuk memilih partai politik Islam. Pada sisi yang lain secara metodologi politik partai Islam sangat kurang berpengaruh terhadap pemilih umat Islam yang mayoritas di Sulawesi Selatan. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa umat Islam sulawesi Selatan dalam menyampaikan aspirasi politik tidak harus melalui partai politik Islam atau partai yang berbasis Islam. Kondisi ini masih tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu tahun 2004 dan 2009.
Pemilu tahun 2004 sudah terjadi perubahan objek yang dipilih oleh pemilih. Kalau pemilih tahun 1999 memilih tanda gambar partai, pemilih tahun 2004 langsung memilih gambar orangnya atau calon dari partai dan pemilih juga bisa memilih tanda gambar apabila pemilih tidak mengenal dan mengetahui nama orang yang dicalonkan oleh salah satu partai yang ikut pemilu. Hasil Pemilu anggota legislatif pemilu tahun 2004 bisa dilihat sebagai berikut: Golkar 32, PDK 8, PAN 8, PPP 7, PKS 8, PDIP 6, Demokrat 1, P. Merdeka 1, PDS 1, PBR 1, PBB 1.
Data di atas menunjukkan bahwa pemilu 2004 pemilih umat Islam memperlihatkan orientasi yang meningkat untuk memilih calon-calon legislatif yang dicalonkan partai Islam atau partai yang berbasis Islam. Pemilu tahun 1999 partai-partai Islam mampu mandapat kursi 14 anggota DPR Propinsi dari 65 kursi yang tersedia. Sedangkan pemilu tahun 2004 partai Islam atau partai yang berbasis islam memperoleh kursi yang meningkat 25 kursi dari 75 kursi yang disediakan atau 30% kursi yang diperoleh.
Pemilu 2009 juga tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar mendapat suara 925.842 suara, Demokrat: 578.470, PKS: 328.537, PAN: 293.782, Hanura: 172.929, PPP: 151.624, PDIP: 119.745, dengan tingkat partisipasi pemilih hanya 70%. Dari 5.633.977 daftar pemilih tetap (DPT), hanya 3.685.400 yang memilih. Berarti yang tidak memilih sekitar 1.948.577. (Sumber: KPU Sulawesi Selatan).
Namun jumlah kursi yang diperoleh jika dibandingkan dengan pemilih umat Islam masih belum berimbang. Kalau dilihat dari sudut keterwakilan pilitik maka dari ke 75 kursi anggota DPRD ini harus direbut oleh partai-partai Islam atau partai yang berbasis Islam sebanyak 70-72 kursi.
Dalam kasus perilaku pemilih di Sulawesi Selatan dalam sebuah penelitian, mendapat sebuah fakta bahwa ada hubungan antara sistem pemilihan, budaya politik dengan sikap pemilih. Sistem pemilihan dapat diartikan sebagai seperangkat regulasi formal yang menata bagaimana seluruh aspek dalam proses pemilihan itu barlangsung, sementara budaya politik dapat diartikan sebagai parangkat nilai yang tumbuh dan berkembang di antara institusi-institusi politik. Hubungan timbal balik antara kedua aspek ini seharusnya menjadi faktor determinan dalam membentuk sikap politik pemilih, dimana pilihan politik didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional. Menurut John Stuart Mill bahwa hanya pemilih yang rasional yang bisa menjamin demokrasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi bisa menyeleksi pemimpin yang paling bijaksana, paling jujur, dan paling tercerahkan di antara warga negaranya sendiri.
Fenomena yang lain juga terlihat bahwa kondisi Umat Islam di Sulawesi Selatan berada dalam beragam etnis. Umat Islam berada dalam sebuah polarisasi politik yang dibentuk oleh perbedaan ras, suku, dan lingkungannya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi budaya politik mereka. Dari data yang telah dijelaskan di atas, konstalasi politik lokal di sulawesi selatan sangat jelas bahwa ada pergeseran/perubahan perilaku pemilih dari setiap pemilihan umum dilakukan. Pergeseran atau perubahan perilaku tersebut tidak hanya pada pilihan politik saja, akan tetapi sikap dan reaksi politik mereka. Perilaku politik umat Islam terlihat bukan hanya dipengaruhi oleh faktor religiuitas (keagamaan) akan tetapi ada faktor-faktor lain yang membuat mereka berbeda dalam sikap politik mereka. Perilaku pemilih yang senantiasa berubah, baik pada tingkat legislatif maupun pada tingkat eksekutif. Terkadang konsisten dan tidak konsisten dalam menentukan pilihannya atau bahkan disertai dengan sikap memilih (berpartisipasi) atau tidak memilih (tidak berpartisipasi). Kenapa misalnya daerah yang lain dengan penduduk mayoritas Islam seperti halnya disulawesi Selatan tidak mempunyai kesamaan perilaku politik.

Senin, 02 Januari 2012

ISLAM DAN POLITIK DI MALAYSIA


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Kedudukan Islam dalam Negara
Islam telah membawa perubahan agama-sosio-budaya dan politik ke dalam dunia Melayu. Sebenarnya, peranan dan pengaruh Islam dalam kehidupan Melayu telah dibatasi oleh beberapa pengaruh sejarah, politik, kebudayaan. Tanah Melayu sebelum kedatangan penjajah Eropa, bukanlah negara yang tidak berperadaban. Islam telah begitu jauh sebelum penjajah-penjajah Eropa datang pada awal kurun ke-16. Menurut fakta sejarah, pada awal abad yang ke-15, pengaruh agama Islam mulai menular kesemenanjung Tanah Melayu melalui kedatangan pedagang-pedagang Islam dari India dan Arab.
Sebelum kemerdekaan, pihak yang terlibat dalam merintis sebuah negara adalah Inggris, raja-raja. Sejak kemerdekaan yang berawal sejak bulan Agustus 1955, diantara Setiausaha Negara Inggris, raja-raja dan menteri-menteri Perikatan yang baru (dalam pilihan raya pertama tahun 1955, tiga komponenpartai politik yakni UMNO, MCA dan MIC memenangi 51 daripada 52 buah kursi) telah bersetuju melantik lima orang suruhanjaya untuk menggubal draf perlembagaan Persekutuan Tanah Melayu. Semasa penggumbalan draf perlembagaan tersebut, pihak Suruhanjaya telah mengambil kira persoalan sama ada perlu dimasukkan peruntukan di dalam Perlembagaansupaya menjadikan agama Islam sebagai agama resmi negara.
Bersandarkan alasan inilah pada tahun 1956, sewaktu komisi Perlembagaan Reid mendesain Perlembagaan Persekutuan Malaya, terdapat persetujuan secara kolektif Partai Perikatan untuk mnetelitkan klausa dalam perlembagaan yang berbunyi: ”...the religion of Malaysia shall be Islam”. Meskipun dalam memo United Malays National Organisation (UMNO) tidak menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, ia menekankan supaya Islam dijadikan agama bagi persekutuan Malaysia, di samping memberi kebebasan beragama kepada penganut-penganut agama lain. Juga terdapat persetujuan bahwa perlembagaan tidakmengganggu atau menjejaskan hak sipil golongan warga non-muslim. PAS dan UMNO diketahui mempunyai pemahaman dan ideologi dan pendekatan tersendiri kearah memperjuangkan serta memperjuangkan syiar Islam di Malaysia sejak sekian lama. Perjuangan menegakkan sebuah negara Islam
Politik Islam: antara UMNO-PAS
Persaingan antara organisasi-organisasi dan Partai-partai politik Melayu-Muslim khususnya UMNO-PAS, memperlihatkan bahwa kedua partai politik Melayu-Muslim ini yang sangat dominan dan memperlihatkan liku-liku peranan dan implikasi yang begitu signifikan, agresif dan dinamik dalam usaha-usaha menegakkan serta memperteguh Islam di Malaysia selama ini. Sebenarnya Partai Islam Se-Malaysia (PAS) dilahirkan oleh ahli-ahli UMNO sendiri. Pada mulanya PAS dikenali sebagai Persatuan Ulama Se-Malaya yang wujud dalam UMNO. Oleh karena persatuan ini berpendapat bahwa cita-cita Islam tidak bisa dicapai di dalam UMNO, maka muncul keinginan untuk membentuk satu partai Islam untuk menyatukan golongan yang cinta akan Islam yang selanjutnya diajak keluar dari partai itu dan menubuhkan PAS.
UMNO sebagai nasionalis dan partai politik terbesar yang mewakili orang-orang Melayu, mendeklarasikan secara positif untuk mempertahankan posisi ini. Ia meyakini bahwa Islam tidak seharusnya menjadi satu faktor dalam politik. Berdasarkan kedudukan masyarakat malaysia yang berbilang-bangsa dan berbilang-agama, UMNO berpendapat bahwa kepercayaan keagamaan satu golongan tidak seharusnya dikenakan ke atas golongan lain, Justru ini, agama dan politik seharusnya dipisahkan. Kelompok-kelompok lain, khususnya, PAS, menggambarkan secara mental suatu tesis diantara Islam dan politik. PAS, sebagai contohnya, menuntut perwujudan sebuah negara berasaskan syariah. Berdasarkan perlembagaan UMNO dan PAS, kedua-duanya mempunyai dasar dan cita-cita politik yang berbeda. Dalam rangka perlembagaan Persekutuan Tanah Melayu, UMNO telah meletakkan ciri-ciri kemelayuan, terutamanya dalam soal-soal hak istimewa orang melayu. UMNO memperjuangkan kepentingan Melayu sepenuhnya. Meskipun demikian, UMNO mendapat kepercayaan dan kerjasama PARTAIPARTAI daripada kaum lain yang yakin dengan perjuangan UMNO dalam politik, pentadbiran dan ekonomi yang memberi kelebihan kepada UMNO dalam membentuk kerajaan. Namun penubuhan UMNO dengan ciri-ciri kemelayuan yang tulen berasaskan nasionalisme, sedikit demi sedikit, mengambil nilai-nilai Islam sebagai simbol kekuatan perpaduan atau imej orang-orang melayu. Melayu itu sinonim dengan Islam, dan ini berarti bahwa kekuatan melayu dalam UMNO adalah kekuatan Islam. Namun UMNO tetap tidak lari dari pada landasan perjuangannya yang berteraskan identiti nasionalisme. Perjuangan PAS pula jauh berbeda dengan perjuangan UMNO. PAS menegaskan bahwa ia adalah satu-satunya partai politik yang berjuang menegakkan negara Islam di negara ini. Hal ini sejalan dengan perlembagaan PAS bahwa Islam adalah dasar perjuangan partai itu, dan AlQur’an dan Hadis adalah hukum tertinggi. Menanggapi hal ini, beberapa pengamat mengatakan bahwa negara yang mengamalkan sistem demokrasi, perwujudan partai-partai yang bersaing antara satu dengan yang lainnyadalam rangka mencari pengaruh adalah suatu fenomena yang biasa terjadi. UMNO dan PAS berusaha mendapatkan kuasa politik dan mereka tidak terlepas dari kenyataan bahwa setiap tindakan mereka adalah semata-mata untuk kepentingan PARTAI sendiri supaya terus berkuasa dan memerintah Malaysia.
Hakekat Islam sebagai satu ‘pengerah utama’ dan landasan perjuangan orang melayu, menyebabkan PAS dan UMNO bersengketa terus-menerus. Terdapat jurang yang sangat dalam diantara pegangan Islam yang dpertahankan oleh PAS dan konsep Islam yang diperjuangkan oleh UMNO. PAS dan UMNO mempunyai pendekatan dan penekanan tersendiri untuk merealisasikan cita-cita Islam. Perbedaan ideologi atau dasar perjuangan terhadap Islam sering menimbilkan beberapa konflik yang kadangkala merugikan umat Islam berbangsa Melayu. Oleh beberapa pengamat mengatakan, bahwa keadaan seperti ini (konflik UMNO-PAS) akan memberi kesempatan kepada bangsa lain mempengaruhi strategi politik bangsa Melayu. Sebagai contoh bagaimana ketika tokoh Democratic Action Party (DAP), Karpal Singh sendiri begitu berani mencabar PAS agar tidak sekali-kali coba menggantikan perlembagaan Negara sekarang dengan perlembagaan Islam.
Pemerhati politik menyifatkan PAS mempunyai entiti politik yang berlegar di sekitar isu-isu keagamaan yang bersifat tulen. Imej partai ini adalah bermatlamat untuk menegakkan negara Islam dengan mengambil kira kepentingan orang-orang bukan Islam. Dalam konteks perjuangan PAS dewasa ini, ternyata ia belum mampu meyakinkan keseluruhan masyarakat melayu dan lebih-lebih lagi masyarakat bukan Islam tentang dasar yang hendak di bawa oleh partai itu dalam pentadbiran negara. Pengaruhnya hanya bertumpu di sekitar minoriti masyarakat malaysia. Persaingan UMNO-PAS dinilai oleh beberapa kalangan di Malaysia terkesan hanya mempermalukan bangsa sendiri. Perbedaan matlamat/dasar tidak sepatutnya memecah belah kesatuan bangsa melayu. Dalam suasan politik di Malaysia, apa yang dikhawatirkan ialah ketewasan dan kekecundangan Melayu-Muslim di tanah airnya sendiri. Kelangsungan Melayu-Muslim semakin tercabar karena bilangan pribumi semakin mengecil di negara ibundanya sendiri.
Islam dan Nasionalisme
Tentang pilhan nasionalisme (UMNO) ini, kerihatianannya yang utama adalah melindungi dan mengekalkan kepentingan-kepentingan Melayu dalam kemajemukan Malaysia vis-a-vis komuniti-komuniti etnik lain. (Huusein Mttalib, Islam and etnhnicity in Malay Politic). Menurut Edward Mortimer, dalam dunia Islam, nasionalisme bermula di tanah-tanah ottoman. Setelah dipengaruhi oleh institusi-institusi dan nilai-nilai barat pada akhir kurun ke-19 dan awal kurun ke-20, sesetengah intelektual muslim seperti Mustafa Kemal di Mesir, Namik Kemal dari Turki dan Abul-Kalam Azad dari India mendakwa bahwa suatu sintesis antara nasionalisme dan Islam adalah mungkin dan ianya adalah penyelesaian kepada maslah-masalah dunia muslim. Nasionalis-nasionalis menggemari identiti dualisme yakni identiti Islamik dan Geografi (politik dalam sesetengah kes), bagi masyarakat-masyarakat muslim. Emmanuel Sivan dalam Radical Islam, Medieval Theology, and Muslim politics, pula berpendapat bahwa kontradiksi antara nasionalisme dan Islam telah dikaburi sewaktu perjuangan anti-kolonial, memandangkan mereka mempunyai musuh yang sama. Kedua-dua nasionalisme-sekular dan ummah Islam telah memainkan peranan yang signifikan ke arah memformulasikan ikatan dan halangan terhadap kolonialisme Eropah di negara-negara Muslim. Nagavi dalam Islam and Nationalism, pula mengetengahkan bahwa sebagai akibat daripada kolonialisme Barat dalam dunia Muslim, dan struktur antarabangsa pada waktu itu, orang-orang muslim menyokong nasionalisme. Massa muslim mempercayai nasionalisme adalah sama dengan ummah isme, sebagai suatu ekspresi mengenai penentangan kuat terhadap tyranny sosial dan politik, ataupun terhadap pengaruh kolonial Barat dan sebagai instrumen bagi melenyapkan penindasan kerajaan-kerajaan terhadap rakyat.
Ada kekhawatiran tersendiri bagi di Malaysia terkait adanya tiga etnis besar (Melayu, Cina dan India) khususnya orang Melayu akan masa depan identitas ke-Melayu-annya. Orang Melayu sebagai komunitas asli khawatir akan terpinggirkan oleh ke tiga etnis besar ini. Orang Melayu yang identik dengan Islam ini seakan tidak berdaya dengan semakin besarnya peran dan pengaruh kedua etnis di luar mereka. Etnis cina yang menguasai sektor ekonomi dan perdagangan serta etnis India yang dominan pada sebagai pekerja-pekerja kasar terlihat semakin agresif memebangun pengaruhnya. Bahkan bukan hanya pada sektor tersebut, kedua etnis ini bahkan sudah membangun partai sendiri yang menunjukkan eksistensi identitas etnis mereka. Yang jelas ini menjadi bahan renungan bagi orang Melayu akan masa depan identitas mereka di negerinya sendiri.

MEMAHAMI FENOMENA POLITIK ISLAM DI INDONESIA


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Dalam sejarah Indonesia, perbincangan tentang hubungan antara Islam dan politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru setelah Indonesia merdeka. Puncaknya ketika dikeluarnya piagam Jakarta dan perdebatan tersebut begitu terbuka ketika rapat BPUPKI. Meskipun pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuknya yang formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia yang dianggap terbaik dan cocok dalam konteks Negara kesatuan republik Indonesia.
Masalah yang kemudian selalu hangat dibicarakan menyangkut umat beragama di Indonesia yakni hubungan timbal balik antara agama dan Pancasila. Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi sistem politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila. Pengamalan pancasila sebagai ideologi Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan kewajiban konstitusional. Namun, dalam konteks ini, Pancasila harus pula dipandang sebagai bagian ajaran luhur semua agama, karena memang Pancasila itu sendiri telah mengandung nilai-nilai agama.
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, setidaknya dikenal dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an. Pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah berubah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.
Untuk memuaskan kepentingan pihak muslim, konstitusi yang berlandaskan pancasila menyediakan pembentukan kementerian urusan agama. Kementerian ini dibentuk untuk melindungi kebebasan beragama dan untuk menjaga keserasian hubungan antara komunitas agama yang berbeda namun tujuan yang utama adalah menangani urusan agama muslim, seperti urusan perkawinan dan perceraian urusan wakaf, kemesjidan dan urusan haji.Gagasan pembentukan departemen agama adalah untuk memberikan jaminan kelembagaan, terutama bagi umat Islam di Indonesia, bahwa Negara akan sunguh-sungguh memperhatikan masalah-masalah agama.
Memahami Makna Politik (Islam): Antara Formalisasi dan Substansi
Politik hadir karena adanya ketidaksepakatan dari masyarakat. Ketidaksepahaman tersebut sangat terkait dengan keinginan hidup masyarakat. Beberapa ketidaksepahaman diantara masyarakat terkait dengan Siapa yang harus mendapatkan apa?, bagaimana membagi kekuasaan dan sumberdaya lain ?, apakah masyarakat dapat didasarkan pada konflik atau kooperasi? dan lain sebagainya. Masyarakat akhirnya seringkali tidak saling bersepakat dalam banyak hal. Oleh karena itu perlu untuk ditata berbagai ketidaksepakatan tersebut agar tata kehidupan masyarakat terus dapat berlangsung.
Dalam upaya memahami berbagai dinamika masyarakat tersebut, maka lahirlah pengkajian atau ilmu pengetahuan yang berupaya untuk mempelajari, mengamati serta mencari jawaban atas fenomena-fenomena masyarakat tersebut yang kemudian disebut dengan ilmu politik.
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Secara umum juga dapat dikatakan bahwa politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.
Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari pada sekedar sebuah agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil”. Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “peradaban yang menyeluruh”. Bahkan ada pula yang mempercayainya sebagai suatu “agama dan Negara”. Apa yang ada dibalik rumusan-rumusan itu , pada dasarnya adalah pandangan umum bahwa Islam itu lebih dari sekedar sistem ritus dan atau ideologi . Lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya, Islam memberikan panduan (etis) bagi setiap aspek kehidupan.
Secara substansial politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Negara ataupun masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang berdasarkan kepada keyakinan bersama mengenai ke-Tuhanan. Bahwa dalam Islam juga tidak ada pemisahan antara spiritual dengan yang duniawi, keduanya menyatu dalam bingkai doktrinal Islam, ia menyatu karena pemahaman atas doktrin yang integratif. Dalam konteks seperti itu, wacana menjadi sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Diskursuslah yang menjadi dasarnya mempengaruhi dan membentuk pandangan orang tentang politik dan atau ideology Islam.
Secara global, Ilmu Politik Islam dapat dipahami sebagaimana Ilmu Politik pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah landasan ide yang mendasari definisi tersebut. Politik Islam tentu saja mendasarkan penggalian ide-ide politiknya bersumber pada Alquran dan As-sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wahyu Tuhan dalam Politik Islam mendapatkan posisi urgen.
Beberapa hal yang perlu dipahami bersama bahwa sampai saat ini ada tiga pendapat yang berkembang dalam lingkungan kaum muslim tentang politik. Pertama, aliran yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan serba lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Alquran tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan. Ketiga, pendapat yang mengambil jalan tengah bahwa dalam Alquran tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Mengamati berbagai persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang politik Islam, dan jika mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis, dan rasional akan menunjukkan Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan, porsi politik dalam ajaran Islam meskipun sangat kecil tapi pemaknaan dalam tataran praktis sangat besar. Seperti berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang, nilai-nilai kemanusiaan dan lain-lain.
Dalam Alquran juga tidak mengatur secara khusus terkait urusan politik, tetapi lebih kearah yang sifatnya substansi yakni isu-isu penegakan keadilan, kebajikan, kemiskinan, pendidikan, dan lain-lain. Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditetapkan.
Rasulullah sendiri belum pernah menentukan sistem politik dan kekuasaan tertentu melalui sunah dan kebijaksanaannya. Tetapi beliau hanya memberikan contoh yang baik sebagai pemimpin disaat pemerintahan madinah. Hal ini yang semestinya harus kita sadari bersama agar politik tidak menjadi “panglima” gerakan Islam yang mempunyai keterkaitan dengan sebuah institusi yang bernama kekuasaan. Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun sebuah bangsa, bukan mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, persoalan formalisasi ideologi Islam dalam kehidupan bernegara tidak menjadi kebutuhan utama dalam bernegara. Bagi Nurcholish Madjid, yang terpenting bagi umat Islam adalah bahwa keharusan untuk lebih terbuka (open minded), yakni kesediaan untuk menerima pikiran-pikiran, tanpa mempedulikan dari mana sumbernya, asal hal tersebut berbicara tentang kebenaran.
Justru penampilan nonformal agama dalam kehidupan bernegara harus terwujud tanpa formalisasi dirinya. Dengan demikian, agama Islam menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara. Inti pandangan seperti itu terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan daripada membuat dirinya menjadi wahana bagi formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara.
Perdebatan diatas terjadi pada wilayah isu dan simbol. Kalangan Islam politik meyakini bahwa harus diwujudkan secara simbolik dalam politik, sedangkan kalangan Islam substantif menentang kehadiran partai Islam dan simbolisasi syari’at oleh Negara. Kalangan Islam substantif atau liberal (kebanyakan kalangan muda yang bergabung dalam JIL) menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syariat akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit. Sebaliknya, kalangan yang memperjuangkan syariat (formalisasi/simbolisasi) berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apapun. Oleh kalangan ini, mereka yang menghendaki pemisahan tersebut termasuk sekuler.
Merujuk uraian di atas, diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk membangun pandangan yang bersahabat antara Islam dan kehidupan politik. Ini menunjukkan bahwa dalam memandang sesuatu persoalan, Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, bukan politis. Kalau saja dimengerti dengan baik, hal itu akan menjadi jelas mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur atau dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih mengutamakan kitab suci tersebut, daripada masalah bentuk negara.
Jika hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentu salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antar sesama umat, khususnya umat Islam, dapat dihindari. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal itulah yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.
Di Indonesia, umat Islam telah bekerja untuk membangun Negara yang dapat menegakkan keadilan dan menjamin hak-hak setiap individu dalam kehidupan sosial, politik dan negara. Ajaran agama, terutama Islam, menentang keras praktik bernegara yang sewenang-wenang, praktik yang menyimpang, dan perilaku aktor negara yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial bangsa. Oleh karena itu, gerakan politik Islam akan lebih baik jika beroerientasi kepada persoalan-persoalan yang lebih spesifik tentang bagaimana memfungsikan nilai-nilai Islam untuk mengatasi persoalan keumatan yang kongkret, seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan social. Artinya bahwa saat sekarang ini politik islam haruslah mengedepankan pendekatan “kontekstual” ketimbang menerapkan pendekatan “tekstual”. Jangan lagi ada partai yang memperjuangkan Negara agama. Akan tetapi yang dikedepankan adalah agama difungsikan sebagai sumber inspirasi dan aspirasi. Hal ini kemudian penting didiskusikan karena merujuk pada tipologi yang sering digunakan banyak pengamat dalam melihat perbedaan pandangan tentang pro-kontra kaitan formal Islam dengan negara, karena sebetulnya akar persoalannya bukan sekedar terletak dalam konteks logika bernegara, tetapi juga pada bagaimana perspektif yang dibangun umat Islam dalam memandang agamanya.
Partai Islam Sebagai Indikator Politik Islam di Indonesia
Dengan semangat reformasi dan euforia politik telah memunculkan partai-partai baru. Partai pun muncul dengan berbagai atribut ideologinya. Ada yang terang-terangan menyatakan diri sebagai partai politik Islam - dengan Islam sebagai azas maupun hanya mengambil lambang-lambang Islam sebagai pengikat di antara mereka - atau yang tegas-tegas menyatakan diri bukan parpol Islam walupun para aktivisnya dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam.
Ada beberapa factor yang menyebabkan bangkitnya kembali partai-partai Islam. Pertama, faktor teologis yang melahirkan doktrin bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik. Dengan demikian, mendirikan partai politik marupakan bagian dari perintah agama. Kedua, faktor sosiologis di mana mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. Dengan demikian, berdirinya partai politik Islam merupakan bagian dari saluran dan aspirasi umat Islam. Ketiga, faktor historis di mana dalam sejarah perjuangan pergerakan, partai politik Islam telah memberikan andil yang sangat besar dan selalu ada (omnipresent) dalam setiap perjuangan bangsa. Keempat, faktor reformasi yang melahirkan kebebasan dan demokratisasi di mana setiap golongan dan aliran diberi kesempatan untuk mendirikan partai politik.
Dalam perjalanan sejarah politik Indonesia, partai-partai Islam mengalami pasang surut. Diantaranya dapat dilihat pada masa orde lama, dimana sukarno menghilangkan keberadaan masyumi dalam peta politik Indonesia. Demikian pula pada masa orde baru, dimana orde baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian pada tahun 1973. Restrukturisasi ini memaksa setiap partai untuk berfusi menjadi satu, baik itu partai Islam maupun partai nasionalis. Sehingga, setelah peraturan itu partai-partai di Indonesia termasuk partai Islam harus beasaskan Pancasila, maka mulai saat itu tidak ada lagi partai Islam yang resmi membawakan suara Islam. Aspirasi umat Islam sekarang berada dalam berbagai kelompok politik dan sosial. Sebelumnya partai Islam sering dianggap mawakili umat Islam sehingga aspirasi umat sering diidentikan dengan aspirasi partai tersebut, meskipun sebenarnya tidak demikian, karena hanya sebagian orang Islam yang masuk partai yang berasaskan Islam tersebut.
Pasca orde baru berkuasa, banyak partai- partai Islam mulai bermunculan. Fenomena munculnya partai Islam ini mengandung spekulasi. Ada yang melihat sebagai “masuknya kembali Islam dalam dunia politik.” Ada pula yang secara serta merta menyuarakan alarmism. OlivIer Roy menyebut hal ini sebagai “imajinasi politik” (dalam pengertian cakrawala pemikiran) komunitas agama, akan ketidakterpisahan antara wilayah agama, hukum, ekonomi dan politik. Hal ini sebagai imbas dari adanya persepsi tentang “ketidaksesuaian” antara agama dan demokrasi.
Yang jelas maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberikan lebel (re) politisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol Islam dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Sudah sewajarnya kemunculan partai Islam itu dianggap sebagai repolitisasi Islam, karena sudah 32 tahun partai Islam mengalami kekangan orde baru, kembalinya kekuatan politik Islam ini mewaranai percaturan politik Indonesia pasca orde baru dan prospek politik Islam kembali.
Pada sisi yang lain, partai politik mempunyai peranan terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indikator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia. Meskipun demikian, kalau menilik indicator-indikator yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan symbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang demikian itu, di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk “mempolitikkan” bagian-bagian yang menjadi dasar ideologi partai-partai tersebut.
Dengan Kemunculan kembali partai Islam dapat dijadikan sebagai indikator munculnya kembalinya politik Islam. Romantika politik Islam pada majelis konstituante di masa lalu mengingatkan kembali para aktivis politik Islam untuk mengangkat isu Islam politik. Sekarang, pertarungan tidak hanya pada tatanan konsititusi, tetapi sudah masuk pada tatanan ideologi partai-partai Islam. Walaupun Pancasila tetap menjadi landasan negara, bukan berarti partai juga berasaskan Pancasila tapi berasaskan Islam.
Kemudian yang menjadi pertanyaan pada konteks sekarang adalah benarkah partai-partai Islam itu dapat menampung aspirasi umat Islam dan apakah aspirasi umat itu identik dengan aspirasi partai.
Jika pada masa lalu partai Islam dianggap sebagai aspirasi umat Islam, karena para pemimpin dan aktivis politik Islam awal bergantung pada dua ciri utama. Pertama, politik non integratif atau partisan, dimana politik partisipan berkaitan secara langsung dengan pengelompokan politik Islam sebagai kekuatan politik seperti partai yang dimonopoli oleh partai-partai Islam. Kedua, parlemen sebagai lapangan bermain dan arena perjuangan. Para kelompok Islam mencanangkan tujuan-tujuan sosial politisnya yang pada hakikatnya bercorakan non integratif atau partisan. Diantaranya adalah penegasan Islam sebagai ideologi Negara dan mendesak dilegalisasikanya piagam Jakarta.
Sedangkan Islam pada masa orde baru lebih bersifat cultural dari pada politis. Pada kenyataanya Islam di Indonesia tetap ada watak politisnya. Format atau rumusan Islam politik tersebut mencakup. Pertama, landasan teologis dan filosofis Islam politik. Kedua, tujuan-tujuan politik Islam. Ketiga, pendekatan politik Islam yang sedang berubah dari politik formalitas-legalisme kepada subtansialisme, atau dari politik eksklusivisme kepada inklusivisme.
Perubahan pola politik Islam dari politik formalitas kepada politik subtansialisme tersebut berimplikasi pada perkembangan politik Islam pada masa berikutnya. Sehingga politik subtansialisme mulai mengakar dalam kultur politik Indonesia, walaupun bermunculan partai Islam yang memperjuangkan politik formalitas. Tatap saja perjuangan Islam sebagai ideologi Negara akan semakin sulit terealisasi. Karena ideologi Pancasila yang bersifat sekuler sudah mengakar dalam sistem politik di Indonesia.
Pada konteks sekarang sangat sulit mengatakan bahwa partai Islam itu sebagai wadah aspirasi umat Islam, karena partai Islam sudah terfragmentasi. Kecendurungan sekarang lebih kepada kepentingan individu dari para politisi Islam, bukan kepentingan umat. Sehingga dapat dikatakan pola gerakan partai Islam bergerak kearah pragmatis.
Para tokoh politik (tak terkecuali politikus Islam), sama-sama berusaha menggunakan lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan memperoleh kekuasaan, kadang kala dengan cara sinis tetapi pada umumnya melalui proses rasional. Ketika seseorang mulai menyadari bahwa mereka merupakan anggota dari kelompok-kelompok politik yang diwarnai identitas keagamaan, maka individu itu akan beranggapan bahwa kepentingan-kepentingan pribadi mereka berkaitan erat dengan kesejahteraan (umat) beragama mereka. Kondisi seperti itulah yang terjadi pada elite-elite politik Islam pada masa sekarang di Indonesia.
Keberadaan partai-partai politik pun akhirnya menimbulkan dilemma baru bagi kaum muslimin. Di satu sisi keberadaannya dianggap sebagai suatu representasi umat Islam tetapi di sisi lain bisa memecah belah umat Islam. Bahkan, sebagaimana dingkapkan Kuntowijoyo, ada enam alasan bagi kaum muslimin agar tidak mendirikan parpol, salah satunya adalah karena dengan adanya parpol akan membuat disintegrasi umat, karena masing-masing partai akan menonjolkan perbedaan (ciri khas) daripada persamaan. Oleh karena itu, tentunya diperlukan kewaspadaan dan kontrol akan kejujuran parpol-parpol dalam memperjuangkan kemaslahatan umat.
Melihat argument di atas, maka hal penting yang harus dilakukan umat Islam adalah menentukan terlebih dahulu esensi parpol Islam yang sebenarnya. Parpol Islam bukanlah partai dengan sekumpulan orang-orang Islam, tetapi lebih dari itu ia merupakan manifestasi kewajiban syariat Islam, hendak menegakkan kalimat Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa esensi dari partai politik Islam adalah sekumpulan kaum muslimin yang bersatu dalam sebuah jamaah yang khusus dan memiliki ikatan yang sama, yaitu akidah Islamiyah dan ikatan tsaqafah Islamiyah dengan tugas utama mengajak manusia kepada Islam dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dan terakhir yang terpenting adalah bahwa umat harus disadarkan kembali pemahaman politiknya sehingga menjadi muslim yang sadar dalam melakukan pilihan-pilihannya. Umat Islam sebagai pemilih terbesar di Indonesia harus selalu merenungi dan menyadari firman Allah Ta’ala: “Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra:17:36).
Hal ini penting untuk diketahui, karena saat ini yang dibutuhkan oleh umat adalah kesadaran politik (al wa’yu siyasy) yang benar sehingga tidak mudah terpesona, tertipu, dan terjebak oleh sebuah partai tanpa mengetahui esensi, visi dan misi serta program kerja partai itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam aktivitas politik Islam di Indonesia banyak orang partai politik yang hanya mengejar kedudukan dan imbalan materi kekuasaan. Mereka ini digolongkan sebagai hubbul jah (Ar. Hub al-jah), atau (mereka yang) bernafsu mengejar status. Bagi para hubbul jah, kemajuan pribadi lebih diutamakan dari pada cita-cita keagamaan dan kepentingan masyarakat. Obsesi untuk meraih jabatan yang lebih tinggi telah merasuki para anggota parpol.
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia
Islam adalah agama monoteistik yang disebarkan oleh nabi Muhammad SAW, Alquran dan Sunah merupakan sumber atau pedoman bagi umat untuk melakukan hubungan-hubungan sosial dan politik. Sehingga, umat Islam (juga non Islam) pada umumnya mempercayai watak holistik Islam sebagai instrument ilahiah untuk memahami dunia. Islam seringkali dipandang lebih dari sekedar agama, untuk itu pandangan tersebut menyatakan bahwa Islam tidak mengakui tembok pemisah antara yang spiritual dan yang temporal, melainkan mengatur semua aspek kehidupan. Bagi Hassan Hanafi, bahwa term “Islam” yang umum harus dimaknai sebagai “sebuah agama tertentu’. Menurutnya, term ini sebaiknya diganti dengan term ‘pembebasan” (taharrur) sebagaimana disimbolkan dalam syahadat. Menurutnya lagi, ‘Islam’ berarti pembebasan kesadaran manusia dari kekuatan-kekuatan tiran. ‘Islam’ memang juga bermakna “penyerahan”, tetapi makna tersebut telah dimanipulasi oleh kaum elit menjadi “penyerahan” kepada penguasa sebagai implementasi dari penyerahan kepada Tuhan. Karena itu, Hanafi lebih menekankan pada makna lain dari kata “Islam”, yakni “protes, oposisi, dan revolusi”.
Sedangkan negara memiliki kekuatan untuk memaksa dan negara merupakan entitas yang otonom seperti lembaga-lembaga dan institusi. Bagi Thomas Hobbes, negara berhak melakukan kekuasaan secara absolut kepada rakyat karena negara pada dasarnya sudah ada kontrak dengan masyarakatnya ketika diberikan kewenangan untuk berkauasa oleh rakyat. Kekuasaan itu harus mutlak bagi penguasa. Bisa dikatakan bahwa negara adalah sesuatu yang jauh, bahkan asing, kumpulan manusia paling jauh yang dapat dengan mudah berubah menjadi hubungan permusuhan. Maksudnya negara dapat menggunakan kekuatan memaksa untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu, dan tidak tertutup kemungkinan Negara dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi.
Permasalahan sekarang ialah bagaimana kita bisa memberikan titik temu hubungan yang sesuai antara Islam dan Negara di Indonesia.
Pertama memang diakui bahwa jauh sebelum negara ini terbentuk dan merdeka, Islam sudah hadir sebagai faktor yang sangat dominan dalam kehidupan politik, dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Islam. Jadi, jauh sebelum Indonesia ada, sudah ada kekuatan Islam dalam bentuk kerajaan dan kesultanan yang sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara dalam beberapa hal, misalnya masalah perkawinan, warisan dan sebagainya.
Tetapi setelah kemerdekaan, terutama pada masa-masa pembentukan dasar-dasar Negara, Islam malah bukan menjadi faktor dominan dalam politik. Buktinya Piagam Jakarta yang merupakan solusi politik Islam mengalami kekalahan dari kaum nasionalis yang mengusung Pancasila. Sehingga pada akhirnya perjuangan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia tidak terealisasi.
Periode berikutnya, upaya untuk menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus berlanjut, walaupun dalam intensitas yang sedang. Disisi lain kedigdayaan Pancasila sebagai ideologi Negara terus berlanjut, dan kadang kadang Pancasila ditafsirkan sebagai “Negara Islam” karena mengandung sila KeTuhanan yang Maha Esa. Pada kenyatanya tidak demikian, karena Pancasila lebih cendrung bersifat sekuler (sekuler abu-abu). Karena Pancasila tidak memaksakan ajaran tertentu atau pemahaman tertentu tentang syariah atau sistem agama lain. Maka Pancasila layak disebut sekuler
Pada dasarnya Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Karena, tingkah laku politik seseorang dipengaruhi oleh agama. Tetapi Islam bisa dipisahkan dalam arti negara harus besikap netral terhadap agama. Dimana negara tidak memusuhi atau mendukung suatu agama tertentu. Konsep seperti itulah yang seharusnya diterapkan di Indonesia, jika memang Indonesia memilih pilihan sekuler.
Proses penciptaan suatu sistem politik Islam yang baik akan berkorelasi dengan sikap amanah para pemimpin. Dalam nomokrasi Islam, kekuasaan adalah amanah, karena ia amanah, ia menjadi kewajiban untuk ditunaikan oleh mereka yang mendapat amanah, mereka harus menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, dalam nomokrasi Islam tidak dibenarkan penyalahgunaan kekuasaan. Apabila prinsip-prinsip nomokrasi Islam dapat direalisasikan oleh para penguasa dan mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat, maka usaha untuk menciptakan suatu tata politik yang Islami akan dapat dilakukan. Menurut Azhari kekuasaan berkaitan erat dengan keadilan, maka implementasi kekuasaan negara adalah suatu perintah Allah. Apabila kekuasaan itu dihubungkan dengan keadilan, maka dalam nomokrasi Islam implementasi kekuasaan Negara melalui suatu pemerintahan yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa.
Indonesia adalah bangsa yang plural, beragam etnis, budaya dan agama. Suasana ini mirip dengan masyarakat plural Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Sila keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Berdasarkan inilah maka kedaulatan rakyat diatur secara demokratis, dalam mekanisme permusyawaratan dan perwakilan. Maka dengan demikian bahwa kedaulatan rakyat bukanlah kedaulatan secara mutlak, bebas dan kebablasan, melainkan kedaulatan yang terkendali berdasarkan falsafah hidup bangsa, dan bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan universal, menurut agama, adat dan tradisi bangsa ini. Hal ini yang harus dicermati oleh segenap masyarakat Indonesia.
Kalau dicermati lebih mendalam makna sila keempat tersebut diatas, akan sangat terasa nilai syariah di dalamnya, yaitu musyawarah yang dicontohkan oleh Nabi dan sahabatnya. Kini musyawarah justru terlaksana di negeri Pancasila ini dengan sistem yang khas Indonesia. Kedaulatan Tuhan yang diajarkan oleh semua agama, tidaklah diingkari, justru terlaksana dengan baik melalui musyawarah (demokrasi) itu. Khususnya, demokrasi ala Indonesia tidaklah menempatkan manusia di atas segalanya, tetapi pada posisi keharusan mematuhi nilai (hikmat) kebijaksanaan yang terambil dari budaya bangsa yang religius.
Kalau diperhatikan lebih jauh terkait mekanisme demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung yang dipraktikkan di berbagai negara modern dewasa ini, termasuk di Indonesia, dapat dianalogikan dengan tradisi baiat di kalangan masyarakat luas setiap terpilihnya Khalifah di zaman permulaan Islam. Terpilihnya Abu Bakar ra menjadi Khalifah pertama pasca Rasulullah dan berlanjut pada setiap pengangkatan Khalifah selanjutnya merupakan tradisi awal dari mekanisme baiat ini. Pemaknaan baiat sebagai pengakuan orang banyak atas kepemimpinan seseorang menjadi landasan legitimasi bagi seorang Khalifah, sama halnya dengan tradisi demokrasi modern yang mana rakyat secara langsung memberi legitimasi seorang pemimpin dengan mekanisme pemilihan langsung.
Kalau dikaji lebih mendalam sebenarnya baiat itu jelas-jelas merupakan kontrak sosial politik yang terjadi atas kehendak masyarakat, tapi siatem ini (baiat) sudah dianggap bernilai syariah sebagai salah satu landasan politik. Hal ini bisa dibandingkan dengan pandangan penganjur demokrasi moderen yang menyerukan perlunya demokrasi dengan slogan: vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sepintas kedua istilah ini memang berbeda, tetapi sama-sama mengandung makna bahwa demokrasi (musyawarah) adalah penerapan hikmat kedaulatan dan kebijakan universal Tuhan, untuk kemaslahatan masyarakat manusia di muka bumi. Ini juga yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes sebagai commonwealt atau civitas. Lebih lanjut, Hobbes mengatakan bahwa untuk memilih penguasa cukup dengan cara suara terbanyak, tidak perlu harus dengan suara bulat. Artinya bahwa demokrasi yang mengusung kedaulatan dengan suara terbanyak sebenarnya tidak masalah sepanjang demi kemaslahatan orang banyak.
Adalah sesuatu yang keliru ketika Demokrasi yang diartikan sebagai kedaulatan rakyat diperhadapkan dengan kedaulatan Tuhan, sebab rakyat atau manusia ini ciptaan Tuhan juga. Seyogyanya, kedaulatan manusia harus ditempatkan pada sebuah pemaknaan bahwa hak kedaulatan ini merupakan anugerah Tuhan kepada manusia yang harus dijaga sebagai amanah. Karena ini adalah anugrah Tuhan, maka olehnya itu Tuhan memberikan kepada manusia hidayah, kecerdasan akal dan segala potensi untuk dimanfaatkan sebaikmungkin. Oleh karena itu, pemaknaan tentang kedudukan manusia sebagai Khalifah Tuhan, dapat diartikan sebagai kedaulatan Tuhan yang terlaksana dan membumi yang selanjutnya diselenggarakan dalam bentuk kedaulatan manusia yang menyejarah dan membudaya pada ruang dan waktu dalam sebuah negara.
Kesimpulan
Pemikiran politik Islam pada dasarnya terpenjara pada tiga mazhab besar. Hampir-hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari bayang-bayang pemikiran bahwa Pertama, Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan. Kedua, Islam dan politik itu bisa dipisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik.
Di kalangan pemikir Islam ada tiga pandangan tentang hubungan agama dan Negara dalam dunia Islam, yaitu integrated, simbiotik, dan sekularistik. Ketiga pandangan tersebut mewarnai pula pandangan umat Islam Indonesia tentang hubungan agama dan Negara. Di Indonesia, secara garis besar, yang kemudian menjadi benturan adalah pandangan integrated dan sekularistik. Sedangkan pandangan yang simbiotik, kemudian lebih dekat ke pandangan sekularistik dengan menggunakan pendekatan Islam kultural.
Bahwa sekularisasi politik, pemisahan antara wilayah agama dan wilayah politik, atau pemisahan antara agama dan Negara, yang menjadi bagian esensial dari demokrasi modern, bukan merupakan karakteristik masyarakat muslim. Karena itu, Islam tidak mendukung sekularisasi politik dan demokrasi. Meski demikian, bahwa cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik.

DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi kemaslahatan Umat dalam rambu-Rambu Syariah, Kencana, Jakarta, 2000.
Abd. Muin Salim, “Fifq Siyasah; Konsespsi kekuasaan Politik dalam Islam, RajaGrafindo, Jakarta, 2002.
Andrew Heywood, Key Concepts in Politics, Palgrave Foundations, New York, 2002.
Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, PT Gramedia, Jakarta, 2002.
Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Yayasan Padi dan Kapas, 1991.
Bahtiar Effendy, Re-Politisasi Islam; Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Mizan, Bandung, 2000.
Budiarjo, Mirriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1991.
David Marsh dan Gerry Stoker, “ Theory and Methods in Political Science” (1995).
Eggi Sudjana, Islam Fungsional, RadjaGrafindo, Jakarta, 2008.
Fidaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan pengaruhnya terhadap Dunia ke-3, Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1963, LKiS, Yogyakarta, 1998.
Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan & Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta, 2004.
Lili Romli, Islam Yes-Partai Islam Yes; Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Muh. Tahir Azhari, Negara Hukum; Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara, Gaya Media Pratama Jakarta 2005
Nanang Tahqiq (ed.), Politik Islam, Kencana, Jakarta, 2004
Inul Kecana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan. PT. Refika Aditama. Bandung, 2007.
Hamka Haq, Islam Rahmah untuk Bangsa, RMBOOKS, Jakarta, 2009
Ramlan Surbakti (2010), Memahami Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta.
Sukron Kamil, Islam & Demokrasi; Telaah konseptual & Historis, Media Pratama, Jakarta, 2002.
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Yusuf Al-Qardhawi, Pedoman Bernegara dalam perspektif Islam, Peustaka al-kautsar, Jakarta, 1999