Rabu, 14 Juli 2010

PEMILUKADA-DEMOKRASI

IMPLEMENTASI DEMOKRASI,
PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh. Dr. Muh. Kausar Bailusy, MA
Memahami Pemahaman Sistem Pemilu Kepala Daerah
a. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan bagian demokratisasi yang sedang bergulir di tanah air, sebagai bagian dari gerakan reformasi.
b. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan wujud dari model pengisian pejabat publik oleh masyarakat, sehingga akuntabilitasnya kepada pemilik kedaulatan menjadi konkret
c. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan salah satu upaya membangun sistem pengisian jabatan politik yang demokratis, mulai dari Presiden, kepala daerah (propinsi, kabupaten/kota) sampai kepala desa.
d. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan bagian penting dalam desentralisasi yang mempunyai tujuan, yakni:
• Tujuan politik desentralisasi yaitu membangun infrastruktur dan suprastruktur politik tingkat lokal menjadi demokratis
• Tujuan administrasi dari desentralisasi yaitu menata birokrasi pemilihan lokal.
• Tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Dampak Pilkada Pada Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan
Dampak Positif
Apabila pilkada secara langsung berjalan dengan sukses, maka kehidupan politik yang demokratis di daerah akan dapat dibangun secara bertahap dan bersinambungan. Hal tersebut akan memberi andil besar bagi terbangunnya sistem politik lokal yang demokratis. Oleh karena itu jika sistem demokrasi ini terlindungi dengan baik maka stabilitas perpolitikan lokal menjadi baik.
Kepercayaan masyarakat pada pemerintahan meningkat, karena prinsip kedaulatan di tangan rakyat dan dapat diwujudkan secara faktual. Pemerintahan perlu menjaga kepercayaan rakyat untuk mensukseskan Pilkada, sehingga partisipasi politik masyarakat akan meningkat setiap Pilkada.
Proses mengusung calon, partai politik harus mengikutkan masyarakat pamilih. Sehingga dalam pemilihan umum kepala daerah masyarakat merasa bertanggung jawab untuk memilih calon yang di setujui oleh masyarakat pemilih atau warga negara. Pada sisi lain masyarakat merasa partai politik mengakomudir hak politik rakyat atau kedalautan rakyat. Oleh karena itu partai politik sebagai alat untuk mengembangkan demokrasi akan memperoleh simpati dari rakyat. Dan rakyat akan tetap mendukung partai tersebut dalam hal pemilihan umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh pemilih akan memiliki legitimasi yang kuat, sehingga tidak mudah di goyahkan. Dengan pemerintah yang stabil, tujuan sosial-ekonomi dari desentralisasi yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat akan dapat diwujudkan secara bertahap. Maka otonomi daerah makin lama makin stabil dalam perpolitikan, aturan pun secara spontan ditaati sehingga stabilitas pun semakin hari semakin meningkat.
Akuntabilitas kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik adminiftratif, yuridis, politis dan terutama moral akan disampaikan langsung kepada masyarakat. Dengan cara dorongan yang kuat agar dana-dana publik yang dikelola oleh pemerintah sebagian besar diakolasikan kembali untuk kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi seperti yang selama ini terjadi. Namun hal seperti ini merupakan ide dan pemikiran yang diharapkan. Dana untuk kepentingan publik yang diporsikan oleh setiap kabupaten/kota masih di bawah 10% anggaran belanja daerah. Beruntunglah kondisi ini sangat kurang di fahami oleh pemili atau masyarakat pada tatanan bawah, sehingga stabilitas politik, tindakan semena-mena oleh masyarakat hampir tidak ada.
Proses Pilkada yang demokratis, dibutuhkan pelibatan masyarakat secara intensif. Hal ini sangat dibutuhkan dalam ranah demokratisasi. Karena salah satu unsur good governance yaitu pelibatan masyarakat dan pendanaan pada kepentingan masyarakat.
Pada sisi lain, karena merasa punya andil di dalam menentukan pimpinannya sendiri, daya kritis masyarakat terhadap pemerintah daerah akan semakin meningkat, sehingga makna pemerintah demokratis-yakni dari rakyat-oleh rakyat-dan untuk rakyat betul-betul dapat diwujudkan. Dan rakyat pun berupaya untuk mengamankan pemimpin, mengontrol pemimpin, sehingga pemimpin merasa memiliki pemilih dan pendukung, dan rakyat pun memiliki pemimpin yang demokratis.
Apabila birokrasi pemerintah bersifat netral – dalam arti tidak memihak atau terpaksa harus memihak salah satu kontestan Pilkada – sehingga salah satu prinsip negara demokrasi yakni: “public service neutrality” dapat diwujudkan, maka secara bertahap kita dapat membangun birokrasi yang profesional. Indikasi ke arah itu telah ada, antara lain dengan menempatkan Sekertaris Daerah sebagai pembina PNS di Daerahnya (pasal 122 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2004) ataupun membangun organisasi fungsional bagi Satuan Polisi Pamong Praja (PP Nomor 32 Tahun 2004), menyusun Kamus Kompetensi Organisasi (KKO), Kampus Kompetensi Jabatan (KKJ) serta Kamus Kompetensi Individu (KKI). Namun birokrasi harus netral karena netralitas birokrasi secara moral akan membantu terwujudnya tatanan hukum politik dan keamanan. Netralitas birokrasi ini berlangsung selam jam kerja dalam melayani masyarakat. Setelah selesai jam kerja individu dari birokrasi dapat mendukung salah satu pasangan calon.


Dampak Negatif
Sebagian besar daerah yang telah melaksanakan Pilkada secara langsung telah dilaksanakan oleh KPUD secara tidak benar, tidak jujur dan penuh kecurangan, maka rakyat tidak akan percaya pada sistem yang ada, sehingga akan terbentuk sikap saling curiga, tidak percaya, dan bahkan konflik meluas antar pendukung. Untuk memulihkan kembali kehidupan masyarakat yang hamonis akan memerlukan waktu, tenaga dan biyaya yang cukup besar. Ini merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh semua pihak apabila Pilkada dilaksanakan secara tidak benar.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih adalah pejabat politik kredit, sehingga stabilitas pemerintahan akan mudah terganggu, terutama tuntutan para tim sukses. Tanpa pemerintah yang stabil, tidak akan ada investasi, yang pada gilirannya tidak tercipta lapangan pekerjaan baru. Kesulitan memperoleh lapangan kerja makin sulit. Tim sukses yang calon kepala daerahnya terpilih berupaya untuk mengajukan calonnya yang harus menempati posisi kepala dinas dan usulan ini harus diperhatikan oleh Kepala Daerah terpilih, maka mutasi pun dilakukan segera.
Partai politik era Pilkada berupaya memposisikan partai sebagai penentu setiap calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada tahap ini tokoh pertai politik yang menjadi anggota fraksi di DPRD yang menentukan harga calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pada sisi lain sering terjadi dimana partai politik maupun tokohnya yang bermain tidak jujur dalam Pilkada akan kehilangan dari konstituennya, karena hubungan emosional antara masyarakat dengan calon Kepala Daerah dan Wakilnya sangatlah kuat dibanding dengan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kampanye negatif yang menyerang pribadi akan mengubah kompetensi perebutan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjadi konflik yang terbuka. Tanpa kebesaran jiwa dari semua pihak yang berkepentingan dengan kemajuan daerah, maka Pilkada akan bersifat kontraproduktif terhadap pengembangan demokrasi. Kasus Sulawesi Selatan kampanye setiap pasangan calon, semuanya melanggar keputusan KPUD Propinsi Mo. 22/2007 tentang tata cara kampanye. Diantara pasangan calon mengemukakan kejelekan pasangan calon yang lain. Para calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah masih memiliki etika poltik dan moral poltik yang rendah sehingga visi-misi dan program sangat kurang dikampanyekan pada pemilih.
Pilkada yang telah diterapkan selama berlaku UU No. 32/2004 dan UU No.22/2007 sangat mengganggu stabilitas politik, hukum dan keamanan serta kenyamanan para birokrat. Kondisi ini dapat kita amati salah satu Kabupaten Sulawesi Selatan.
Apabila birokrasi bersifat tidak netral, baik karena kemauan sendiri ataupun karena yang memaksa, maka akan terjadi politisi birokrasi, yang membuat iklim dan budaya organisasi menjadi menjadi tidak sehat karena akan terbentuk kelompok-kelompok yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Pengisian jabatan lebih didasarkan pada pendekatan ideologi politiknya bukan karena kapasitas seseorang. Hal semacam itu akan membawa dampak pada pengguna dana publik yang lebih banyak didasarkan pada perhitungan politik daripada kepentingan publik secara meluas.
Hasil Pilkada akan membawa hawa baru seperti perombakan atau mutasi dikalangan birokrasi. Jika mutasi ini beraturan menghasilkan konflik pada tataran birokrasi secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada masyarakat, antara lain pelayanan menjadi tidak egaliter, masyarakat juga dengan mudah akan tersulut konflik, jangan berharap akan dapat diperoleh kemajuan baik secara ekonomi, politik, sosial budaya. Stabilitas keamanan dan pelayanan hukum pada sisi lain birokrasi tidak aman dalam menunaikan tugas dan kewajiban. Karena birokrasi selalu diganggu oleh tim sukses yang mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah memenangkan Pilkada.

Dampak Sistem Pemilu Kepala Daerah
Pemilu kepala daerah menurut UU No 22 tahun 2007 dilaksanakan oleh KPUD. Proses pencalonan kepala daerah / wakil sebagian rakyat pemilih juga ikut berpartisipasi dan proaktif untuk mengusung calon ke KPUD untuk didaftarkan menjadi calon kepala daerah.Masyarakat pemilih yang turut mengusung calon,kemudian mengampanyekan calon.Pada tatanan ini secara psikologi politik masyarakat pemilih ini merasa memiliki dan memilih calon kepala daerah / wakil kepalah daerah yang dicalonkan.
Karena merasa memilih ikut memilih KDH dan wakil KDH,diperkirakan kesadaran masyarakat untuk mengawasi jalannya proses dan mekanisme pemerintahan daerah akan semakin terbuka dan meluas. Melalu cara ini,akuntanbilitas pemerintahan kepada publik diharapkan akan semakin meningkat,sehingga korupsi dapat dikurangi (Lihat konsep Killgaard tentang korupsi  Corruption= Discrection + Monopoli- Accountability).
Pada pasal 27 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dikemukakan bahwa kepala daerah mempunyai kewajiban menginformasikan laporan penyelenggraan pemerintahan daerah kepada masyarakat,melalui media setempat yang dapat diakses oleh masyarakat.Hubungan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat harus bersifat pro aktif,sehingga kekurangan- kekurangan yang dialami masyarakat cepat terakses dalam agenda pembangunan.Untuk itu perlu pikiran baru kepala daerah terpilih didukung oleh birokrat membangun JARINGAN INFORMASI dengan masyarakat yang merupakan transparansi dalam pemerintah daerah.Sistem pemilu kepala daerah sangat membutuhkan para bidang polotik,pemerintahan dan administrasi untuk membantu menerjemahkan sistem pemilu Kepala Daerah,serta aturan –aturan yang mengatur pelaksana pilkada seperti KPUD yang memiliki sejumlah kewenangan mulai dari penetapan pemilih sampai menetapkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada sisi lain tugas para ilmuan untuk ikut membelajarkan masyarakat sehingga mereka memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara maupun warga daerah,termasuk hak memperoleh informasi mengenai penyelenggaran institusi publik yang dibiayai oleh dana publik.
Peran “social control” dari masyarakat akan dapat berjalan lebih meluas apabila ada keterbukaan dari birokrasi yang selama ini cenderung tertutup dan menutupi kegiatannya,terutama dari segi penggunaan dana publik. APBN maupun APBD adalah anggaran pandapatan dan belanja Negara atau daerah,bukan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah pusat atau pemerintah daerah.Ungkapan bahwa anggaran pemerintah adalah sesuatu yang bersifat rahasia,menunjukan masih dipakainya paradigma lama dalam tubuh birokrasi.Anggaran pemerintah pada prinsipnya bersifat terbuka karena diatur dengan UU atau Perda,serta telah masuk kedalam lembaran Negara atau lembaran daerah. Pada sisi lain masyarakat yang telah mengenal kepala daerah secara dekat,maka artikulasi kepentingan masyarakat sangat mudah diterima oleh kepala daerah.

Sistem Pilkada Dapat Mewujudkan Good governance
Sistem pemilu kepala daerah kemungkinan besar dapat membangun kepemerintahan yang baik. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan.
Partisipasi warga negara dalam Pilkada. Setiap warga negara mempunyai suara sebagai hak politik dan kedaulatan rakyat dalam pembuatan keputusan secara langsung, atau memilih pasangan calon kepala daerah, atau memilih calon anggota legislatif daerah. Partisipasi poltitik seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi, kebebasan berbicara, serta partisipasi masyarakat secara konstruktif.
Sistem Pilkada telah memiliki sejumlah kebijakan negara yakni UU No.22 tahun 2007, beserta sejumlah keputusan KPUD yang mengatur proses pemilu kepala daerah yakni mulai pendaftaran pemilih sampai KPUD menetapkan calon kepala daerah/wakil. Kegiatan proses Pilkada didasarkan pada kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang status sosial warga negara.
KPUD sebagai penyelenggara pemilu Kepala Daerah harus mampu meresponsif kepentingan pemilih. Jika ada pemilih yang belum terdaftar sebagai pemilih tetap maka KPUD berkewajibhan meresponpemilih yang belum terdaftar dan harus didaftar. Oleh karena itu lembaga penyelenggara pemilu kecamatan (PKK), PPS pada tingkat desa/kelurahan, KPPS harus proaktif melayani pemilih secara transparan.
Kapabilitas kepala daerah terpilih yakni gambaran kepribadian diri si pemimpin, baik intelektual maupun moral. Hal ini dapat ditelusuri dari track record pendidikannya, jejak sikap dan perilakunya selama ini. Kepala daerah yang memiliki kapabilitas selalu mengutamakan strategic vision yakni pemimpin yang mempunyai prespektif good governance dan pengembangan kemanusiaan yang luas dan jauh kedepan sesuai visi-misi dan program yang dikampanyekan.
Profesionalisme birokrasi pemerintahan daerah yang dibangun oleh kepala daerah terpilih. Pada sisi lain sangat dibutuhkan dukungan partai politik yang tercermin melalui anggotanya di DPRD. Dukungan anggota partai yang ada di DPRD terhadap kepala daerah terpilih akan membuka peluang kemudahan kepala daerah dalam membangun hubungan otoritas untuk mambahan RANPERDA, atau dukungan anggota DPRD pada Kepala Daerah dalam menentukan kebijakan daerah atau PERDA.

Pasca Pilkada (Perhitungan Suara)
e. Para calon tidak mampu menerima kekalahan
f. KPUD tidak tegas dalam mengambil keputusan menetapkan hasil pemilu.
g. Anggota KPUD tertentu ikut turut bermain dalam perhitungan suara
h. Panwas memiliki kinerja yang sangat rendah sehingga sejumlah masalah yang menyangkut perhitungan suara diabaikan
i. Anggota DPRD juga ikut bermain dalam mendukung calon tertentu
j. DPRD juga mencampuri hasil perhitungan suara dengan cara melakukan sidang paripurna dan membuat keputusan untuk membatalkan hasil Pilkada
k. Sebagian besar KPUD tidak mampu memahami penyelesaian sengketa hasil Pilkada
l. Upaya beberapa kelompok tim sukses calon Bupati/wakil tertentu yang memperoleh suara yang tidak jauh berbeda dengan yang menang, selaku melakukan protes tapi memiliki data yang lemah.
m. Tuntutan untuk memperoleh kesempatan menjadi Bupati/Wakil Bupati oleh calon tertentu dari satu kota kecamatan yang selama ini belum pernah menjadi Bupati
n. Aksi kerusuhan dan penghancuran asset Pemda dan negara oleh mereka yang merasa tidak puas terhadap perhitungan suara
o. Peradilan pemilu yang masih lemah dan tidak memiliki standar yang baku
p. Peradilan tinggi dalam memutuskan sengketa pemilu tidak melakukan penelitian empirik terhadap hal yang disengketakan.

Rekomendasi Untuk Pilkada Yang Akan Datang
q. Perlu penataan kembali UU No. 32 Tahun 2004 pasal-pasal yang menyangkut Pilkada
• Penetapan Pemilu
• Berhak memilih pada suatu daerah
• Proses penetapan bakal calon diperluas
• Kriteria calon yang objektif
• Balon bernuansa nasional dan lokal
r. Rekruitmen anggota KPUD yang bernuansa nasional dan perlu ada ketegasan sanksi bagi anggota KPUD yang berpihak pada balon tertentu dalam melaksanakan fungsi KPUD, (melanggar aturan)
s. Partai politik lokal dan DPR diberi otoritas untuk menjaring balon dari kelompok independen langsung diajukan ke KPUD
t. Para tim sukses, Jurkam, dan pendukung dilarang melakukan protes ke Panwas, KPUD atau lembaga yang berwewenang
u. Setiap calon Bupati berkewajiban memiliki saksi di setiap TPS  calon Bupati yang tidak memiliki saksi di TPS tertentu tidak dibenarkan mengajukan keberatan dalam perhitungan suara di TPS bersangkutan dan dikenakan sanksi pidana 5 tahun penjara.
v. Setiap hasil perhitungan suara di TPS yang telah dicatat oleh para saksi maka catatan itu wajib ditandai oleh ketua TPS atau sekertaris TPS dan stempel.

Penutup
Sistem Pilkada yang ada saat ini secara relatif dianggap meningkatkan implementasi demokrasi stabilitas politik, hukum dan keamanan. Hal tersebut terutama untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Meski demikian masih terdapat beberapa hal yang harus segera dibenahi pada sistem Pilkada agar upaya mewujudkan pilkada yang demokratsi akan dapat terwujud beberapa hal yang dibutuhkan:
1. Kesadaran aktor politik harus semakin baik
2. Perlu menumbuhkan wawasan kebangsaan
3. Tersedianya payung hukum yang jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda
4. Demokrasi terbangun dan berjalan secara normal dan rasional
5. Posisi kepala daerah terpilih legitimate atau lebih kuat
6. Suara rakyat menjadi primadona sehingga kepala daerah terpilih lebih mendengar suara rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar