Minggu, 31 Oktober 2010

MASYARAKAT ADAT AMMATOA DALAM PUSARAN DESENTRALISASI


Oleh: Syahrir Karim
Pengantar
Masyarakat adat telah diakui keberadaannya baik secara nasional yang tertuang dalam UUD 1995 maupun internasional yang tertuang dalam konvensi Internasional tentang Draf deklarasi masyarakat adat (1993) dan konvensi Internasional Labour Organization (ILO) 169 tahun 1998 menyangkut bangsa pri-bumi dan masyarakat adat di Negara merdeka.
Konvensi ILO 169 dan UUD 1945 secara prinsip telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Tapi beberapa tahun terakhir pemerintah tidak konsisten menerapkannya. Hal tersebut ditandai dengan beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Melalui kebijakan yang jauh dari asas keadilan, pemerintah telah mengaburkan hak-asal usul, hak atas wilayah adat, sampai pada peminggiran kebudayaan mereka yang khas. Contoh kongrit dari kebijakan pemerintah tersebut adalah produk Undang-Undang No. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Dalam Undang-Undang ini, praktis wilayah adat dibangun atas dasar kesatuan genelogis, lalu diganti dengan pembentukan desa secara administratif. Akibatnya adalah norma-norma sosial tradisional serta lembaga-lembaga adat secara formal semakin tersisih oleh aturan-aturan hukum dan lembaga pemerintahan yang baru. Meskipun harus diakui juga bahwa baik norma-norma maupun lembaga-lembaga tradisional itu dalam banyak hal sebenarnya masih dibutuhkan, baik dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial maupun dalam upaya menjamin keserasian hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Tulisan ini adalah hasil penelitian yang dilaksanakan di Kab. Bulukumba tepatnya di Desa Tana Towa tempat bermukimnya komunitas adat Ammatoa Kajang. Penelitian ini sebagian besar diambil dari wawancara mendalam dan observasi. Karena itu, data yang penulis kumpulkan sebagian besar bersifat kualitatif. Data (primer) dalam studi ini kebanyakan diambil dari wawancara dengan unsur pemerintah, pemangku adat, masyarakat setempat dan dari kalangan intelektual. Dalam penelitian ini penentuan informan akan ditentukan berdasarkan prinsip representatif. Artinya bahwa semua responden betul-betul dianggap bisa dimintai dan diterima keterangannya. Selanjutnya dalam proses analisa data meliputi menelaah seluruh data yang telah tersedia, mereduksi data, display data, mengkategorisasikan data lalu kemudian menarik kesimpulan
Struktur Kekuasaan Tradisional Desa Tana Towa
Secara tradisional masyarakat desa Tana Towa telah mengenal lembaga sosial desa yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Ammatoa yang dibantu dengan beberapa orang dalam mengurusi pemerintahannya yang disebut dengan Ada’ limayya karaeng tallu. Keberadaan Lembaga adat ini masih ada sampai sekarang dan masih mempunyai kewenangan/kekuasaan untuk menentukan dan memberikan sangsi kepada masyarakatnya.
Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat tersebut tentu punya andil yang besar dalam mengurusi masyarakatnya. Ammatoa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Adat di wilayah kamase-masea dalam menunaikan tugas yang diamanahkan oleh Tau Rie’a A’ra’na dibantu oleh sejumlah perangkat adat terdiri dari ada’ limayya, Karaeng tallua, Lompo Ada’, dan aparat adat lainnya.
Dalam komunitas adat Ammatoa dikenal pula struktur organisasi yang membentuk sistem pembagian fungsi dan tugas dalam urusan pemerintahan adat. Hal ini dikenal dalam pasang;
Amma’ mana’ ada’ : Amma melahirkan ada
Amma mana’ Karaeng : Amma melahirkan pemerintah
Untuk melihat lebih jelas struktur organisasi kekuasaan adat Tana Towa bisa dilihat bagan berikut:
Struktur Organisasi Kekuasaan Adat Desa Tana Towa
ANRONGTA ---Anrongta(Penasehat
KARAENG (Kajang, Tambangang dan Ilau).
GALLARANG (Galla Lombo,Puto,Pantama,Anjuru dan Kajang)
KOMUNITAS ADAT

Keterangan:
= Hubungan Konsultatif
= Hubungan Komando

Dari bagan di atas nampak jelas bahwa Ammatoa merupakan pemimpin adat komunitas adat di Desa Tana Towa. Dan para pembantu-pembantunya disebut dengan Ada’ lima Karaeng Tallu. Ada’ limayya merupakan para pembantu Ammatoa dalam mengurusi masalah adat (ada’ pallabakki cidong). Sedangkan Karaeng tallu merupakan tri tunggal dalam bidang pemerintahan, dan dikenal dengan “tallu karaeng mingka se’reji” yang berarti bahwa kalau salah satu di antara ketiganya tidak hadir dalam suatu upacara adat, maka karaeng tallu dianggap telah hadir.
Dalam masyarakat Ammatoa, meskipun mereka mengenal struktur pemerintahan sekarang ini mulai dari RT, RK, Lingkungan (Dusun), Desa (Kelurahan), Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden sebagai pemimpin formal, namun kedudukan Ammatoa sebagai pemimpin adat di dalam kawasan dalam (ilalang embaya) sangat dihormati. Ammatoa bertindak sebagai pemimpin informal yang juga berfungsi sebagai tokoh masyarakat yang memiliki kharisma yang punya nilai lebih dibanding yang lainnya. Antara pemimpin formal dan informal selama ini masih terjalin dengan baik. Bila ada suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat adat akan diselesaikan pada tingkat pemerintah. Begitupun sebaliknya, bila ada masalah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat pemerintahan Desa/Kelurahan, Lingkungan/Dusun dapat dibawa ke adat untuk mendapatkan penyelesaian. Hal ini bisa dimengerti karena jabatan pemerintahan di tingkat Desa, kampung pada umumnya juga berfungsi sebagai pemangku adat yakni para ‘Puto’. Namun demikian masih ada pemisahan wewenang tugas pemerintahan dan wewenang adat. Dalam penyebutan nama misalnya kepala Desa mendapat panggilan “Puang atau Pa’ “ Galla’ Lombo dan Karaeng labbiriya Kajang untuk Pak Camat.
Hubungan Kekuasaan Pada Tingkat Desa
Terjadinya perubahan mendasar dalam lingkungan politik setelah reformasi, terutama setelah dikeluarkannya paket Undang-Undang No. 22/1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah telah menimbulkan pergeseran kerangka paradigmatik di tingkat Negara dalam melihat desa yang berbasis masyarakat adat. Perubahan fungsi dan peranan turut memberikan pengaruh yang besar terutama dalam proses relasi atau hubungan kekuasaan antara pemerintah desa dan masyarakatnya. Di sinilah terjadi proses relasi kekuasaan antara kedua belah pihak. Dalam proses relasi tersebut-antra pemerintah dan masyarakat lokal terjadi suatu bentuk negosiasi, dialog atau bahkan resistensi yang dilakukan komunitas lokal terhadap pemerintah.
Lokalitas, disadari atau tidak merupakan suatu konstruk sosial yang diproduksi dan direproduksi. Lokalitas adalah arena perebutan ruang, sebuah perdebatan, ruang gerak, dan relasi yang memungkinkan berbagai macam pencaharian posisi-posisi yang baru.
Wacana Lokalitas sebenarnya baru muncul ketika angin reformasi melanda negeri ini. Karena ketika masa Orde Baru, bayang-bayang lokalitas hampir tidak pernah muncul kepermukaan. Sekarang wacana lokalitas sudah menampakkan diri ssebagai ruang gerak baru, ruang negosiasi baru, yang memungkinkan munculnya posisi-posisi baru, termasuk yang terkesan meleset dari kebijakan pusat. Hal ini disebabkan karena lokalitas berusaha mencari suatu identitas atas eksistensinya dan identitas tersebut telah mereka dapatkan pada era reformasi yang terbungkus oleh wacana “Human Right”.
Dengan adanya kebangkitan-kebangkitan tersebut dan ditopang oleh suatu kekuatan identitas, maka komunitas-komunitas mikro mendapatkan beberapa pilihan dalam menjalani suatu proses relasi kuasa, apakah lokalitas dapat berdialog dan menerima tawaran-tawaran penguasa, atau mengambil model take and give dengan jalan negosisasi, atau bahkan melawan penguasa dengan jalan resistensi.
Selain proses di atas, terdapat pula bentu-bentuk negosisasi yang terjadi antara masyarakat adat atas dominasi pemerintah. Salah satu penyebab adanya proses dominasi pemerintah adalah adanya pejabat pemerintah (kepala desa) yang juga menjabat pemangku adat.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang adanya pejabat pemerintah yang sekaligus pemangku adat, adalah merupakan suatu momen pemerintah mendominasi masyarakat lokal, tak terlepas komunitas Adat Ammatoa Kajang. Sehingga program-program yang dilancarkan oleh pemerintah mengalir bagai air pada komunitas Adat Ammatoa Kajang.
Kalau dicermati secara mendalam, pemerintah dalam hal ini telah mempergunakan pemimpin-pemimpin yang diakui dan diterima masyarakat desa dengan memeberikan sentuhan legitimasi dan substansi pada kebijakan dan program-programnya. Oleh Hans Antlov (2003:251) momen seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya patronase negara terhadap elit desa. Patronase inilah yang kemudian memberikan kekuatan ganda terhadap para elit desa; yakni dia sebagai pemegang otoritas lokal sebagai sosok yang dihormati dalam masyarakat tersebut dan dia juga punya yirisdiksi administratif dan politik dari jabatan-jabatan resmi. Berbekal kekuatan ganda tersebut, elit desa secara tidak langsung telah menjadi sosok yang semakin penting di dalam proses pembangunan dan stabilitas di dalam komunitas lokal.
Sikap ambivalen yang dilami oleh masyarakat komunitas Adat Ammatoa Kajang yaitu pada satu sisi program tersebut bertentangan dengan tradisi mereka selama ini, sedangkan pada sisi yang lain tim pelaksana dari program tersebut adalah salah seorang pemangku adat yang otomatis harus dipatuhi dan dilaksanakan karena ia pemangku adat.
Dari pandangan di atas, dapat dilihat suatu proses negosisasi yang terjadi dari komunitas adat dan pemerintah. Namun jika diperhatikan, dominasi pemerintah masih besar. Hal ini disebabkan dengan adanya suatu legitimasi oleh komunitas adat Ammatoa Kajang terhadap jabatan struktural maka hal tersebut merupakan suatu pintu bagi pemerintah untuk mensukseskan program-programnya. Dengan program ini maka pembangunan sarana-sarana dan prasarana pendidikan mulai dibangun. Seperti sekolah dasar yang hanya berjarak lima meter dari pintu gerbang kawasan. Dengan masuknya program tersebut, kewajiban memakai pakaian yang berwarna hitam mulai terkikis, hal ini disebabkan karena diwajibkannya anak-anak sekolah untuk memakai warna putih-merah. Dengan sendirinya kodisi seperti ini telah memberikan fenomena baru dalam kawasan Adat Ammatoa Kajang. Di satu sisi, program ini memberikan mamfaat yang begitu besar, terkhusus generasi-generasi pelanjut dalam komunitas tersebut. Di sisi yang lain, komunitas ini mulai terserabut dari akar tradisinya. Bukti bahwa mereka telah terserabut dari akar tradisinya adalah mengenai kewajiban untuk memakai pakaian berwarna hitam. Dengan adanya program ini, anak-anak yang bermukim di kawasan adat telah mamakai pakaian seragam sekolah yang notabene berbeda dengan norma-norma tradisi yang ada dalam lingkungan adat. Sikap resistensi yang selama ini terbangun dengan kokoh, kini hancur dan masuk pada sikap negosiasi yang pada dasarnya merugikan bagi komunitas Adat setempat.
Program Keluarga Berencana (KB) nasional serta beberapa program pembangunan pemerintah secara merata juga ikut membawa perubahan dalam komunitas setempat. Perubahan yang paling menonjol meisalnya adalah adanya perubahan masyarakat dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Hal ini terlihat jelas karena realitas-realitas modern sudah mulai nampak dalam kawasan adat meskipun masih terlihat sedikit.
Relasi kekuasaan dalam kasus ini berpolakan negosiasi, dengan adanya tawar-menawar dari pihak yang mendominasi (pemerintah) dan pihak yang didominasi (Komunitas adat). Bentuk negosisasi tersebut dapat dilihat dari kriteria pemimpin yang dapat diterima oleh komunitas adat yang kemudian dari proses ini terjadi bentuk-bentuk negosiasi dan resistensi dari masyarakat. Kehadiran resistensi sebagai suatu perlawanan masyarakat lokalitas disebabkan adanya hegemoni dari penguasa terhadap masyarakat minoritas. Hal ini sesuai dengan AAGN Ary Dwipayana (2003:347) yang menegaskan bahwa fenomena resistensi ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap dua kekuatan besar, yang bisa saja dibedakan tetapi kehadirannya sering simultan, yaitu rezim modernitas dan negaraisasi (statization). Rezim modernitas dengan kekuatan mengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar-standar kehidupan modern melalui berbagai macam proyek pendisiplinan yang kemudian membawa kearah taste of culture yang meniadakan keunikan dan perbedaan. Selanjutnya, identitas kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penolakan terhadap penyeragaman oleh modernitas. Reaksi Negara (statization) sama halnya dengan modernisasi, juga melakukan penyeragaman melalui ‘Negaraisasi” yang menyebabkan marjinalisasi desa adat.
Walupun hegemoni menurut Gramsci berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan paksaan yang kasat mata, melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Akan tetapi, disadari atau tidak, dipaksa atau tidak, hal tersebut merupakan suatu dominasi yang berusaha membentuk suatu konstruk yang mempengaruhi komunitas yang didominasi (Baso, 2002:24).
Sejalan sejak Orde Baru berkuasa nampak telah membuat perubahan (dominasi) yang cukup signifikan dalam struktur kekuasaan khususnya peran lembaga adat setempat. Terutama ketika diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Abd. Kahar Muslim, kepala desa Tana Towa menyatakan bahwa ketika orde baru berkuasa (istilah) gallarang (gelaran) yang berlaku dalam sistem pemerintahan tradisional dihapus dan diganti dengan istilah pemerintah. Struktur kekuasaan adat yang dipimpin oleh seorang Ammatoa praktis banyak terkikis akibat penetrasi negara (pemerintah) yang telah banyak mengambil peran dalam sistem sosial masyarakat setempat sejak diberlakukannya UU No. 5/1979 bahkan sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari beberapa keadaan; pertama, kekuasaan Ammatoa dahulu meliputi seluruh tanah Kajang yang hanya terdiri lima desa yang masing-masing desa diperintah oleh para Galla’ (staf) Ammatoa. Sekarang tanah Kajang sudah mengalami pemekaran sekitar dua puluhan desa yang hampir sebagian besar penduduknya sudah keluar dari pengaruh kekuasaan adat dan pemimpinnyapun tidak lagi harus berhubungan dengan Ammatoa terlebih dahulu.
Kedua, dahulu Ammatoa berhak memecat atau memberhentikan seorang Galla’ atau seorang karaeng (baik kepala Desa maupun Camat) karena itu adalah otoritas Ammatoa. Sekarang hal tersebut tidak lagi terjadi, Ammatoa hanya bisa mencabut gelaran (Gallarang) seorang kepala desa atau camat dan tidak punya lagi wewenang untuk memecat atau memberhentikan. Memberhentikan dan mengangkat seorang Camat misalnya merupakan hak penuh pemerintah tanpa campur tangan adat.
Ketiga, pemerintah membagi dua tempat atau kawasan, yakni kawasan adat dalam (ilalang embayya) yang ikut Ammatoa dengan kawasan luar adat (ipantarang embayya) yang tidak lagi patuh dengan adat. Adanya pembatas kawasan adat tersebut merupakan suatu hal yang sangat ganjil kerena hal tersebut sama saja memecah belah masyarakat adat dan mengurangi kekuasaan seorang Ammatoa.
Fenomena lain yang bisa dilihat ketika kekuasaan adat hampir pudar karena pemerintah terkesan banyak mengambil alih urusan dan kekuasaan adat seperti dapat dilihat dari beberapa kondisi yang ada. Pertama, Kedudukan Ammatoa, baik dilihat dari segi fungsi maupun peran telah mengalami pergeseran. Kedudukan Ammatoa hanya sebatas sosok kharismatik yang hanya mengurusi persoalan akhirat. Selain masalah ukhrawi adalah merupakan hak pemerintah yang mengaturnya. Pola kekuasaan seperti ini bisa dikategorikan sebagai kekuasaan yang bersifat monomorphic, yakni hanya berpengaruh dalam satu bidang saja. Kedua, terjadi semacam pendelegasian wewenang dari kekuasaan adat ke pemerintah. Hal ini terbukti ketika jabatan karaeng tallu dinasionalisasikan baik sistem maupun struktur tata kerjanya menjadi jabatan taktis pemerintah. Praktis bahwa wewenang para pemengku adat sudah beralih fungsi karena keberadaannya sudah masuk dalam struktur pemerintahan. Seperti Galla Lombo sudah beralih nama menjadi Kepala Desa dan Karaeng Kajang sudah menjadi jabatan Camat. Simbol-simbol yang melekat dalam jabatan adat telah diganti kedalam istilah pemerintah.
Terjadinya persoalan seperti di atas merupakan akibat dari struktur sosial yang selama ini mengalami pengkotak-kotakan. Struktur sosial yang memisahkan kepemimpinan adat-kepercayaan dari kepemimpinan adat-pemerintahan dan menempatkan kepemimpinan adat-kepercayaan hanya sebagai pengayom dan tidak berfungsi sebagai pemberi legitimasi penuh terhadap kekuasaan yang ada khususnya dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang. Karena seperti diketahui bahwa ciri sistem sosial yang terbangun sejak dahulu adalah telah menempatkan kepemimpinan adat-kepercayaan sebagai pengayom bahkan tampil sebagai pemberi legitimasi kekuasaan. Hal ini bisa dilihat ketika membuka kembali lembaran sejarahnya bahwa kajang pada awalnya hanya terdapat istilah gallarang yang terkenal dengan lima gallarang, yaitu; gallarang pantama, gallarang Kajang, gallarang Puto, gallarang lombo’, dan gallarang Anjuru. Kelima gallarang ini kemudian disebut Ada’ Limayya, dengan Galla’ Pantama sebagai pemegang pucuk pimerintahan yang disebut kala’birang, dan Ammatoa sebagai pengayom atau pelindung.
Terjadinya pergeseran kekuasaan yang ada dalam komunitas tersebut tentu punya efek yang besar, baik terhadap eksistensi adat itu sendiri maupun dalam hal kehidupan keseharian masyarakat setempat.
Kejadian tersebut di atas memberikan suatu catatan tersendiri bahwa pemerintah selama ini tidak melihat bahwa suatu komunitas adat merupakan satu kesatuan utuh yang terhimpun semua simpul kekuatan dan otoritas. Masyarakat adat bukanlah sekedar kesatuan territorial belaka akan tetapi juga kesatuan adat yang eksistensinya berkait erat dengan ekspresi sosio-kultural masyarakat yang terikat dalam sebuah entitas. Ia tak hanya manifestasi dari sekumpulan orang dalam batas-batas administrasi seperti halnya desa.
Pemandangan seperti di atas terus berlangsung bahkan pada era pemberlakuan UU No. 32/2004. Desanisasi ala Orde Baru terlanjur telah menciptakan suatu pergeseran budaya politik solidaristik-partispatif menjadi apatis. Renggangnya ikatan sosial masyarakat menyebabkan sering terjadi konflik antar desa bahkan dengan pemerintah sekalipun yang sulit diselesaikan secara adat. Contoh konflik yang terjadi adalah kasus PT. Lonsum terkait dengan hak tanah yang diklaim oleh masyarakat adat setempat adalah sebagian tanah adat yang di serobot oleh perusahaan tersebut. Konflik tersebut telah memakan korban jiwa dari pihak penduduk setempat akibat ulah aparat keamanan.
Menyikapi berbagai masalah yang menimpa masyarakat adat terkait dengan hubungannya dengan pemerintah maka dibutuhkan sebuah mekanisme control yang bisa menjadi alat penengah antara kepentingan keduanya, salah satunya adalah BPD. Dengan adanya BPD tersebut pada awalnya diharapkan akan meningkatkan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah desa. Apalagi kalau melihat salah satu fungsi BPD adalah ikut melindungi dan melestarikan adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat.
Kasus desa Tana Towa misalnya, Terkait dengan pemerintahan desa sebenarnya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai mekanisme control terhadap pemerintah desa, masih terasa asing bagi mereka. Paktek demokrasi pada tingkat desa dengan adanya BPD tersebut menurut hemat penulis masih belum epektif. Ada beberapa alasan yang mendasari sehingga keberadaan BPD masih belum berjalan secara maksimal di desa Tana Towa; pertama, keberadaan BPD masih terasa asing bagi masyarakat setempat. Sehingga keberadaan BPD hanya dianggap sebagai kebutuhan foramalitas saja demi kelengkapan adminstrasi pemerintahan. Dan akibatnya adalah orang-orang yang duduk dalam BPD tersebut tidak sepenuhnya mewakili semua elemen masyarakat; kedua, melihat fungsi BPD, sebenarnya ada rutinitas masyarakat Tana Towa yang hampir sama dengan fungsi BPD, yakni acara akkttere’. Acara akkattere’ ini bisa dikatakan sebagai suatu kegiatan rembug desa atau forum warga yang dilaksanakan setiap bulannya. Kegiatan ini merupakan rutinitas adat yang menghadirkan seluruh tokoh masyarakat tak terkecuali para pemangku adat. Sehingga ada semacam rasa optimis bagi penulis bahwa seandainya pemerintah mengoptimalkan program akkttere’ tersebut maka akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan BPD.
Pola Interaksi Elit Pemerintah dan Adat
Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, bahwa pada awalnya di Kecamatan Kajang hanya tedapat 5 (lima) desa dan masing-masing dipimpin oleh seseorang yang bernama Galla’. Hal tersebut terjadi karena dalam struktur kekuasaan Adat Kajang Ammatoa hanya mengakui 5 (lima) Galla’ dan 3 (tiga) Karaeng.
Istilah Karaeng dan Gallarang (gelaran) di desa Tana Towa masih ada sampai sekarang. Hanya saja istilah Gallarang dan Kakaraengang secara umum sedikit berbeda penggunaannya dalam masyarakat makassar pada umumnya. Secara umum orang makassar yang mendapat gelar karaeng adalah mereka yang mempunyai garis darah bangsawan yang diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan dalam masyarakat adat Kajang Ammatoa, Karaeng dan Gallarang merupakan jabatan struktural adat yang memperoleh pengakuan langsung dari Ammatoa sebagai pemimpin spiritual tertinggi dalam masyarakat adat. Jadi bukan jabatan turun temurun atau bawaan atas nama garis keturunan. Sehingga keturunan seorang karaeng ataupun Galla’ akan menjadi rakyat biasa tanpa ada gelar yang disandang layaknya seorang keturunan bangsawan. Hal ini juga merupakan sebagian dari makna ajaran pasang.
Struktur kekuasaan dalam desa Tana Towa sendiri semakin kompleks. Desa Tana Towa dengan beberapa pecahannya menjadi satu desa secara otomatis membentuk sistem pemerintahan masing-masing. Sehingga batas-batas geografis wilayah Gallarang dan Kakaraengang sekarang ini sudah nampak kabur, terutama setelah adanya undang-undang tentang pemerintahan desa gaya baru.
Berikut ini struktur pembagian kekuasaan dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang sebelum adanya Undang-Undang No.5/1979 dapat digambarkan sebagai berikut :
AMMATOA ------------------------------------- ANRONGTA

KARAENG

GALLARANG
Keterangan:
----------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan komando

Setelah adanya Undang-Undang No.5/1979 struktur pembagian kekuasaan kembali berubah dengan gambaran sebagai berikut:
KARAENG KAJANG AMMATOA--Anrongta
(Labbiriya (Camat Kajang))
GALLARANG
(Kepala Desa)

Keterangan:
----------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan komando
Struktur pembagian kekuasaan kembali berubah ketika Undang-Undang tentang otonomi daerah diberlakukan melalui Undang-Undang No. 22/1999 (32/2004), perubahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
KARAENG KAJANG
(Labbiriya (Camat Kajang))

GALLARANG ------- BPD
(Kepala Desa)

AMMATOA

Keterangan:
-------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan administratif

Struktur pembagian kekuasaan yang ada di atas telah menggambarkan adanya pergeseran kewenangan serta posisi para pemangku adat. Hal tersebut jelas terlihat ketika adanya jabatan sturktural secara administrative melalui undang-undang tentang pemerintahan desa. Hal ini juga menggambarkan mekanisme pengambilan keputusan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Di sini juga tampak bahwa kekuasaan Ammatoa terus mengalami pergeseran peran dan fungsi dalam struktur kekuasaan di Kajang seiring dengan undang-undang sistem pemerintahan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Beberapa persoalan obyektif kemudian muncul dengan adanya perubahan lingkungan politik pada tingkat desa terutama terjadinya dua bentuk kekuasaan pada tingkat desa, yakni masyarakat adat dengan lembaga adatnya dan pemerintah desa itu sendiri (desa dinas atau desa administratif). Hal ini terlihat ketika keberadaan pemimpin adat Ammatoa semakin tergeser kedudukannya yang berawal dari hubungan komando menjadi hubungan konsultatif saja. Maka praktis struktur kekuasaan adat-pun secara tidak langsung juga ikut bergeser. Akibatnya terjadi pembagian wewenang yakni urusan pemerintah ditangani oleh pemerintah dan urusan adat ditangani oleh adat. Kasus ini bisa dilihat dengan adanya dua bentuk kepemimpinan yang ada pada tingkat desa, karena di satu sisi terdapat kekuatan adat yang telah melandasi kehidupan masyarakat setempat sejak dari nenek moyang mereka, dan di sisi yang lain terdapat kekuasaan pemerintah desa yang dibentuk atas dasar ketentuan dari pemerintah atasan. Mencermati kondisi tersebut di atas, dalam masyarakat Tana Towa sendiri terbangun tiga pemikiran menyangkut eksistensi kedua bentuk kekuasaan tersebut. Pertama, pemikiran yang kurang menerima keberadaan desa dinas karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk ke desa. Maka solusi yang di tawarkan adalah fungsi kedinasan dimasukkan ke dalam desa adat. Pemikiran ini didominasi oleh masyarakat dalam kawasan (ilalang embayya) karena mereka merasa kurang diberikan akses dalam birokrasi pemerintah. Secara umum mereka mengakui dan menerima keberadaan desa dinas sebagai mitra dalam mengatur pemerintahan di desa Tana Towa, akan tetapi harus menghormati struktur kekuasaan asli di desa tersebut. Hal ini diperjelas ketika Ammatoa bersikeras tidak menerima campur tangan pemerintah khusus untuk dalam kawasan (ilalang embayya). Kedua, pemikiran yang tetap ingin mempertahankan pola hubungan seperti sekarang ini. Dengan alasan bahwa sumber daya manusia yang ada pada masyarakat desa Tana Towa masih diragukan dalam hal profesionalime kerja dalam hal ini struktur kekuasaan tradisional setempat. Pemikiran ini di dominasi oleh orang luar kawasan (ipantarang embayya) yang menganggap bahwa sekarang dituntut sebuah birokrasi modern untuk mengatur masyarakat tanpa mengindahkan kekuatan adat sebagai struktur kekuasaan asli desa. Galla Lombo yang sekaligus kepala desa Tana Towa mengatakan bahwa struktur kekuasaan adat harus didukung penuh oleh pemerintah dalam mengurus pemerintahan di desa. Ketiga, adalah pemikiran yang ingin menengahi kedua pemikiran di atas, yakni adanya keinginan mempertegas wilayah kewenangan kawasan adat dan desa dinas. Hal inilah yang kemudian menyebabkan dibangunnya pembatas kawasan adat Ammatoa yang memisahkan dua kelompok masyarakat dalam desa tersebut sehingga dikenallah istilah masyarakat kawasan dalam (ilalang embayya) dan luar kawasan (ipantarang embayya).
Masyarakat yang berada dalam kawasan adat (ilalang embaya) dalam kehidupan sehari-harinya mereka lebih taat terhadap aturan adat di bawah pimpinan seorang Ammatoa dibanding aturan yang berasal dari pemerintah. Mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran pasang dalam kehidupan kesehirian mereka. Dibandingkan dengan masyarakat yang ada diluar kawasan (ipantarang embaya), mereka ini sebagian besar banyak meninggalkan aturan adat atau ajaran pasang seperti yang dititahkan oleh Ammatoa. Seperti diketahui sebelumnya bahwa orang yang berhak tinggal didalam kawasan adalah mereka yang masih mau patuh terhadap aturan adat sedangkan yang mereka yang tidak mau patuh pada aturan adat harus tinggal di luar kawasan adat.
Secara umum, meskipun dalam desa Tana Towa terdapat dua kelompok masyarakat yang terpisah secara teritorial, mereka tetap berada dalam satu ikatan keluaraga yang masih sama-sama mengakui kepemimpinan Ammatoa sebagai pemimpin bagi masyarakat Adat desa Tana Towa khususnya bahkan kepemimpinan Ammatoa ini masih diakui dalam lingkup Kecamatan Kajang pada umumnya. Ammatoa tetap merupakan tokoh kharismatik yang mempunyai fungsi khas sebagai Tu nila’ langngi (suri teladan).
Namun demikian kekuasaan dalam hal ini haruslah bisa ditoleransi secara sosial karena antara pamong desa, dan semua pemimpin desa, lahir dan besar di desa serta merupakan anggota komunitas yang menentukan batas-batas sosial dari moral mereka. Kekuasaan dalam hal ini haruslah dibenarkan secara kultural.
KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan kekuasaan yang terbangun antara pemerintah desa dan masyarakat desa Tana Towa telah membentuk pola kekuasaan yang kurang seimbang. Hal tersebut bisa dilihat di satu sisi kekuasaan adat dengan lembaga adatnya telah mengalami suatu pergeseran kekuasaan atau dengan kata lain porsi kekuasaan mereka dalam masyarakat desa Tana Towa mengalami penurunan padahal mereka membentuk struktur kekuasaan (sistem pemerintahan tradisonal) dalam masyarakat sejak dari dulu jauh sebelum pemerintah desa (dinas) masuk kedesa tersebut dan di sisi yang lain terdapat kekuasaan pemerintah desa yang mendapat porsi kekuasaan lebih besar. Efek ambivalensi kekuasaan tersebut telah mempertajam kondisi konflik antara pemerintah dan komunitas adat, setidaknya indikasi tersebut terlihat ketika dalam komunitas adat Ammatoa Kajang terjadi suatu bentuk pertentangan antara hukum adat dan pengaruh dari luar, baik itu pemerintah maupun lingkungan di sekitar kawsan adat. Kondisi pertentangan yang terjadi dalam komunitas Adat Ammatoa Kajang tersebut paling tidak disebabkan komunitas adat tersebut telah memiliki suatu struktur adat tersendiri dan aturan adat tersendiri dalam mengatur komunitasnya. Akan tetapi, jika diperhadapkan dengan program pemerintah, pemerintah memilki aturan dan kekuasaan yang lebih besar. Akibanya kemudian adalah terjadi yang namanya porses atau bentuk-bentuk dialog antara pihak adat dan pemerintah. Proses dialog tersebut kemudian melahirkan bentuk-bentuk negosiasi dan resistensi. Bagi komunitas adat, siapa saja yang masuk dalam kawasan tersebut haruslah mematuhi aturan-aturan adat siapapun orangnya.
Fenomena kekuasaan pada tingkat desa tampak bahwa dominasi kekuasaan tertentu mengakibatkan telah mengubah struktur kekuasaan khususnya pada tingkat desa. Hal ini terlihat dengan jelas ketika keterlibatan lembaga adat setempat kurang punya akses dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah keberadaan lembaga adat (pemimpin informal) berada pada posisi subordinan. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat ketika terjadinya pergeseran kekuasaan pada tingkat desa. Digalakkannya otonomi desa merupakan harapan untuk menumbuhkan kearifan-kearifan lokal demi terwujudnya demokrasi di tingkat lokal. Tapi ternyata program tersebut masih menyisakan berbagai persoalan pada tingkat desa. Indikasi tersebut terlihat ketika antara pemerintah desa belum mampu merespon aspirasi masyarakatnya. Sehingga aspirasi masyarakat sudah terhenti baru pada tingkat desa. Keadaan tersebut juga akan semakin mempertajam pergeseran kekuasaan antara pemerintah desa dan adat.
Adanya dua bentuk kekuasaan yang ada pada tingkat desa setidaknya telah mengakibatkan dua kondisi yang semakin mempertajam arus konflik. Pertama, terjadinya tarik menarik kekuasaan yang kemudian mengakibatkan salah satu dari pemegang kekuasaan tersebut mangalami kemunduran. Kedua, silih bergantinya peranan pada tingkat desa. Hal ini dianggap wajar karena dalam masyarakat tersebut terdapat dua golongan sosial yang ingin mempertahankan sistem politiknya masing-masing.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 32/2004 masih belum banyak membuat banyak perubahan yang cukup signifikan. Bahkan fenomena pemerintahan di desa Tana Towa masih menempatkan adat sebagai subordinat dari pemerintah desa. Kepala Desa masih banyak mengambil alih kebijakan pada tingkat desa. Keadaan seperti ini sangat kontras dengan sistem kekuasaan desa Tana Towa sebelum Undang-Undang No. 5/1979 yang masih menempatkan pimpinan adat sebagai pengayom dan pemberi legitimasi dalam kehidupan bermasyarakat. Undang-Undang No. 5/1979 maupun UU No. 32/2004 tampak bahwa kedudukan pimpinan adat dijadikan sebagai jalur konsultatif saja dalam sturuktur kekuasaan pada tingkat desa.

DAFTAR PUSTAKA
Antlov, Hans, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Budiman, Arif, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996.
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi, Jakarta: Desantara, 2002.
Fakih, Mansur, (ed.), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Foucault, Michel, Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan, Yogyakarta: Bentang, 2002.
Juliantara, Dadang, Pembaruan Desa; Bertumpu yang Terbawah, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Karim, Abdul Gaffar, (ed.)., Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Katu, Samiang, Pasang ri Kajang: Kajian Tentang Akomodasi Islam Dengan Budaya Lokal di Sulawesi Selatan, PPIM, IAIN Alauddin Makassar, 2000.
Usman, Sunyoto, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Rozaki, Abdur, (ed.), Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press, 2004.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta, LP3ES, 1983.
Santoso, Purwo, (ed.), Pembaharuan Desa secara Partisipatif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.
Nuruddin, Vina Salviana DS., dan Deden Faturrohman, Agama Tradisional; Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKIS, 2003.
Syaukani, HR, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Team Work Lapera, Politik Pemberdayaan: Jalan Menuju Otonomi Desa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.
Wawancara Langsung

FENOMENA PERWAKILAN POLITIK DI INDONESIA


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Negara sangat bertumpu pada institusi perwakilan formal ini. Wakil rakyat dipilih lewat mekanisme pemilu untuk menjadi pejabat politik dan publik yang diberi basis legitimasi untuk bertindak atas nama rakyat dan negara. Mereka dievaluasi setiap periode tertentu lewat mekanisme pemilu. Prosedur-prosedur diciptakan sedemikian rupa agar rakyat dapat mengevaluasi secara baik. Oleh karena itu, maka dalam proses perwakilan ini setiap wakil perlu menentukan posisi yang tepat terhadap terwakil manakala ia terlibat dalam suatu pemecahan masalah. Pentingnya penentuan tersebut justru karena sikap dan pilihannya terhadap alternatif pemecahan atau terhadap prioritas pemecahan masalah pada dasarnya adalah mengatasnamakan opini aspirasi dan kepentingan. Posisi wakil terhadap terwakil tersebut merupakan hakikat dari perwakilan politik itu sendiri.
Persoalan hubungan antara wakil dengan rakyatnya yang diwakili telah menjadi persoalan politik klasik dalam sistem perwakilan politik di Indonesia. Beberapa studi hubungan antara rakyat dan wakil rakyat umumnya menyimpulkan bahwa masyarakat umum tidak mengenal wakilnya yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat. Masyarakat kebanyakan mengenal partainya yang didukung.
Oleh karena itu dalam konteks Indonesia, paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam sistem perwakilan politiknya. Pertama, sejauhmana para wakil itu mampu membangun relasi lebih baik dengan mereka yang diwakili atau rakyat umumnya? Jawabannya, terkait substansi kepartaian/perwakilan. Kedua, sejauhmana para wakil di lembaga perwakilan memiliki tingkat keterwakilan (representativeness)? Jawabannya, tidak akan terlepas dari masalah sistem pemilu (electoral system) dalam hal ini proses politiknya.
Memahami Teori Perwakilan Politik
Sistem perwakilan politik formal di Indonesia bisa dilihat dalam beberapa jenis: (1.) Perwakilan kekuatan politik dalam territori tententu (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota); (2.) Perwakilan Territori (DPD); (3). Eksekutif bagi territori seluruh wilayah nasional (Presiden dan Wapres); dan (4.) Eksekutif bagi territori daerah (Gubernur/Wagub, Walikota/Wawali, dan Bupati/).
Terlihat jelas bahwa perwakilan politik di Indonesia mempunyai klasifikasi tingkatan wilayah tersendiri. Secara teoritis perwakilan pada dasarnya adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara individu-individu, yakni pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili, dimana orang yang mewakili memiliki sederajat kewenangan. Perwakilan merupakan proses hubungan manusia dimana seseorang tidak hadir secara fisik tapi tanggap melakukan sesuatu karena perbuatannya itu dilakukan oleh orang yang mewakilinya (Sanit: 54;1985).
Perwakilan politik adalah individu atau kelompok orang yang dipercayai memiliki kemampuan dan berkewajiban untuk bertindak dan berbicara atas nama satu kelompok orang yang lebih besar. Dengan demikian indikator yang bisa digunakan untuk melihat apakah seorang wakil dinilai representatif oleh orang yang mewakilinya adalah:
a. Memiliki ciri yang sama dengan konstituen (pemilih)
b. Memiliki ekspresi emosi yang sama dengan emosi konstituen
c. Intensitas komunikasi yang tinggi dengan konstituen (Sanit:54;85)
Dalam hal yang sama, Sartori mengemukakan 7 ( tujuh) kondisi yang mengindikasikan telah terwujudnya perwakilan politik dalam mekanisme pemerintahan:
a.Rakyat secara bebas dan periodik memilih wakil rakyat (The people freely and periodecally ellect a body of representative).
b.Pemerintah bertanggungjawab kepada pemilih (The govermors are accountable or responsible to the governed).
c. Rakyat merasa sebagai negaranya (The people feel the same as the state),
d.Rakyat patuh pada kepada keputusan pemerintahnya (The people consent to the decisions of their governors),
e.Pemerintah adalah wakil yang melaksanakan intruksi dari para pemilihnya (The governors are agent or delegates who carry out the instruction received from their electors).
f.Rakyat yang menentukan membuat keputusan-keputusan politik yang relevan (The people there, in some significant way, in the making of relevant political ),
g.Pemerintah adalah contoh wakil dari rakyat (The governors are a representative sample of the governed) (Sartori:68;468).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perwakilan politik dapat didefinisikan sebagai pelimpahan sementara atas kewenangan politik warga negara kepada (sekelompok) orang yang mereka pilih secara bebas, untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan rakyat yang secara jelas dirumuskan.
Sedangkan varian perwakilan menurut Hoogerwerf dalam sudut pandang hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe:
a.Tipe Utusan.
Yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari pihak yang diwakilinya.
b.Tipe Wali.
Yakni wakil memperoleh kuasa penuh dari pihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas dasar pertimbangan sendiri. Dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pihak yang diwakilinya.
c.Tipe Politics.
Yakni kombinasi antara tipe utusan an tipe wali.Tergantung pada situasi, wakil kadang harus berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan.
d.Tipe Kesatuan.
Yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat, tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka.
e.Tipe penggolongan.
Yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebaga wakil dari kelompok teritorial, sosial, dan politik tertentu (Sartori:68;468).
Dari klasifikasi Hoogerwerf ini tampak bahwa para wakil Indonesia berada pada situasi dilematis. Di satu sisi, mereka dapat dimasukkan sebagai tipe kesatuan. Di lembaga perwakilan, para wakil rakyat harus lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tanpa memandang pengelompokan politik yang ada. Pada sisi yang lain, ada ikatan yang sangat erat antara para wakil rakyat dengan organisasi politiknya, bahkan dengan kelompok teritorialnya atau daerahnya.
Wakil yang “benar” dalam sudut pandang cita-cita demokrasi adalah wakil tipe kesatuan (integrated). Alasan yang bisa dikemukakan adalah bahwa mandat representatif dimiliki oleh tipe kesatuan seperti dikemukakan oleh Hoogerwerf. Partai politik dalam hal ini hanyalah alat atau “kendaraan” yang digunakan oleh orang untuk menjadi wakil rakyat. Lembaga Perwakilan (DPR) merupakan arena dimana dia berbuat atas nama dan kepentingan rakyat yang diwakili. Bahkan pada saat dia beraktivitas sebagai wakilnya rakyat, tidak relevan bila dikaitkan dengan alat atau “kendaraan” yang digunakannya selama ini.
Selanjutnya, ada dua teori klasik yang sangat dikenal dalam politik tentang hakikat hubungan antara wakil (legislator) dengan terwakil (rakyat) yakni teori mandat (fungtional Representation) dan teori kebebasan (Political Representation). Pertama, Teori Mandat. Menurut teori mandat ini yang pertama kali diperkenalkan oleh J.J. Russeau, bahwa wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Maka seharusnya wakil selalu memberikan pandangan bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, pandangan wakil secara pribadi tidak diperkenankan dan dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil bagi terwakil. Bila terjadi perbedaan pandangan, sikap dan tindakan antara wakil dengan pihak yang diwakili dapay berakibat turunnya reputasi wakil. Teori ini dianggap lebih menguntungkan karena wakil dapat dikontrol secara setiap saat.
Kedua, Teori Kebebasan (Political Representation). Pendapat ini dikembangkan oleh Abbe Sieyes di Perancis, serta Block Stone di Inggris. Menurut teori ini, wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung instruksi yang diberikan oleh pihak yang diwakilinya. Wakil merupakan orang yang terpercaya, terpilih, serta memiliki kesadaran akan hukum dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Oleh sebab itu mereka dapat melakukan tindakan apa pun atas nama mereka. Dalam hal ini terwakil telah memberikan kepercayaan kepada wakilnya. Karena itu pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan aspek yang terikat kepada masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil.
Substansialisasi Lembaga Demokrasi dan Proses Politik.
Bahwa saat berbicara tentang demokrasi dalam perpolitikan modern mau tidak mau harus berbicara tentang sistem perwakilan. Demikian halnya saat hendak memperbaiki sistem dan kualitas demokrasi di Indonesia, maka tidak akan lepas dari perbincangan tentang sistem perwakilan (politik) yang dimiliki.
Sistem demokrasi modern dalam perkembangannya terlihat jelas bahwa keberadaan lembaga perwakilan politik, dalam hal ini parlemen atau lembaga legislatif, merupakan prasyarat penting dari sebuah negara demokratis. Akan tetapi, ukuran demokrasi -perwakilan- tidak berhenti pada “keberadaan”nya semata, namun sesungguhnya lebih jauh menekankan pada tingkat dan kualitas keterwakilan lembaga perwakilan politik tersebut. Konsep perwakilan politik didasarkan pada konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Kualitas keterwakilan itu akan ditentukkan oleh sejauhmana lembaga perwakilan politik itu menjalankan fungsi-fungsi utamanya sebagai perwakilan politik rakyat (legislatif).
Sistem perwakilan politik itu sendiri tidak akan terlepas dari pada pembahasan mengenai sistem demokrasi, karena perwakilan politik beranjak dari pada perkembangan sistem demokrasi. Bahwa demokrasi dibangun dengan proses yang panjang, awalnya masyarakat mengenal demokrasi dengan mempraktekkan sistem demokrasi langsung dimana setiap individu yang dikategorikan dewasa, berhak ikut serta di dalam parlemen (Haris:2008). Pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang kian hari semakin banyak maka sistem perwakilan demokrasi yang lama (demokrasi langsung), kurang sesuai jika diterapkan pada negara yang jumlah penduduknya banyak. Maka solusinya dengan sistem demokrasi pewakilan dimana sejumlah warga negara yang memiliki berbagai kepentingan yang tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu kemudian memberikan kedaulatan dirinya kepada individu atau partai politik yang ia percayai, melalui pemilihan umum. Sehingga inti dari pada pemikiran sistem demokrasi perwakilan adalah sama dengan sistem demokrasi langsung yakni menyuarakan aspirasi atas kepentingan individu, kelompok dan masyarakat dalam satuan distrik maupun nasional, dengan cara individu/rakyat memberikan kepercayaannya pada seseorang/lebih yang nantinya menjabat posisi posisi pemerintahan maupun duduk di parlemen (legislatif) (Raga Maran:202;2001).
Di Indonesia selama masa reformasi (1998-2009) jelas terlihat bahwa transisi demokrasi berjalan begitu lambat dan terhambat, dan salah satu penyebabnya adalah karena bekerjanya sistem politik-demokrasi di Indonesia selama ini berhenti di tingkat prosedural. Indonesia disibukkan dengan aneka pesta politik-demokrasi, misalnya: menjamurnya pendirian partai politik (1998) dan pemilu dipercepat (1999), amandemen I-IV UUD 1945 (1999-2002), membentuk puluhan komisi kuasi negara (1999-2006), perubahan sistem pemilu DPR-DPRD dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka (2004), Pilpres secara langsung (2009) dan Pilkada langsung (2005-2009). Akan tetapi semua perubahan dan bentuk politik-demokrasi itu hanya berhenti di tingkat prosedural-mekanistik dan lupa dengan isi. Semuanya terjebak dalam pusaran prosedural dengan melupakan substansi dari sistem politik-demokrasi itu sendiri.
Ada dua kategori dasar dalam demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Dalam kategori demokrasi langsung setiap warga negara dapat ikut serta dalam pembuatan keputusan negara, seperti halnya pada peristiwa di Athena kuno dimana mereka dapat menjalankan sistem ini, dengan di hadiri kurang lebih 5000-6000 orang majelis, dalam merumuskan suatu permasalahan diantara mereka. Dalam hal ini demokrasi dengan sistem langsung ini kurang sesuai bila mana diterapkan dalam suatu negara dengan jumlah penduduk yang banyak seperti yang telah dibahas sebelumnya. Sedangkan untuk kategori kedua adalah demokrasi perwakilan yang mengandung pengertian sejumlah warga negara yang memiliki berbagai kepentingan dan tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu kemudian memberikan kedaulatan dirinya kepada individu atau partai politik yang ia percayai, melalui pemilihan umum.
Kedepan, perwakilan politik di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu antara lain, faktor struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”); faktor institusional (pengaturan pemilu); dan behavioral (perilaku politisi dan pemilih). Pada faktor struktural dalam hal ini sistem kepartaian, akan sangat tergantung pada jenis kepartaian yang dilakukan. Jenis sistem kepartaian memiliki pengaruh besar terhadap masa depan keterwakilan politik di Indonesia. Beberapa pakar politik menilai bahwa jumlah partai yang terlalu banyak akan membuat kebijakan publik tidak focus dan terfragmentasi. Perdebatan menjadi teknis dan tidak efektif serta kebijakan public akan habis terkuras untuk kebutuhan jangka pendek. Pada saat yang sama, jumlah yang terlalu sedikit akan menimbulkan dominasi, hegemonisasi, serta berkurangnya kompetisi. Minimnya kompetisi akan memberi peluang munculnya kolusi dan oligarki. Sebagai solusi, bahwa sistem kepartaian ini bisa dimungkinkan dengan berbagai political engineering, antara lain memperketat aturan sistem kepartaian dan membangun korelasi yang kuat antara lain sistem pemilu, partai politik, mekanisme pra-pencalonan dan elemen teknis pemilu lainnya seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara.
Dalam pendefenisian partai politik dapat diartikan sebagai kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik-(biasanya) dengan cara konstitusional-untuk melaksanakan programnya (Miriam:203;2008. Dengan pengertian ini, maka partai politik merupakan satu-satunya media yang cukup urgen di antara kelompok-kelompok, rakyat dan pemerintah dalam suatu tatanan demokrasi. Lewat partai politik, pemimpin mampu mendapatkan dukungan masyarakat dan mendapatkan sumber-sumber kekuatan baru, sedangkan rakyat dapat memusatkan kritikan dan sekaligus harapannya pada organisasi ini.
Selanjutnya, partai politik juga merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern (Amal:xi;1988). Partai politik adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Topik pembicaraan yang paling dekat dengan organisasi partai politik adalah metode seleksi kandidat partai untuk pemilihan pejabat publik (Epstein:205;1975). Partai politik dalam hal ini adalah agen utama dalam proses rekrutmen pemimpin politik. Hal penting dalam mengurai partai politik adalah seleksi calon pemimpin utusan rakyat melalui partai politik. Maka Partai politik dalam hal ini bertindak sebagai instrumen perwakilan dan sarana untuk menjamin pergantian pemerintahan secara teratur dan tanpa pergolakan yang dapat menghancurkan keseluruhan sendi-sendi masyarakat dan negara yang sudah baik.
Pencalonan anggota legislatif oleh partai politik secara umum mencakup tiga tahap penting, yaitu (1) penjaringan calon; (2) penyaringan dan seleksi calon yang telah dijaring; (3) penetapan calon berikut nomor urutnya. Seleksi para calon ini dilakukan dengan dua cara, yaitu : (1) seleksi dilakukan oleh atau bersama dengan suatu tim seleksi yang dibentuk oleh partai politik; atau (2) seleksi dilakukan melalui struktur dan mekanisme partai politik sendiri.
Selanjutnya pada faktor institusional (pengaturan pemilu), Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tercantum bahwa “ Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan dilakukan melalui Sistem Perwakilan. Oleh karena itu, diperlukan majelis, yang merupakan jelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Tatapi, proses penentuan dalam membentuk dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata bersifat formal-legalistik atau yuridis, melainkan merupakan proses politik dimana kepentingan merupakan penentu utama. Bahwa yang harus diingat adalah dalam politik selalu berhubungan dengan kepentingan (interest) (Afan:281;2002).
Kedaulatan rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Kedaulatan rakyat melalui demokrasi dengan perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya adalah melalui mekanisme pemilu. Sistem pemilu merupakan sarana paling awal untuk menentukan sistem perwakilan yang dikehendaki. Oleh karena itu, untuk mendapatkan sistem perwakilan yang dikehendaki akan sangat ditentukan oleh sistem pemilunya.
Dampak substansial terhadap hasil pemilu maupun karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya akan sangat tergantung dari sistem pemilu (Evans:12;1999). Pilihan atas sistem pemilu dapat secara efektif menetapkan siapa yang terpilih dan partai mana yang memperoleh kekuasaan, serta jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu diterjemahkan ke dalam banyaknya kursi di parlemen. Sistem pemilu juga sangat mempengaruhi jenis sistem kepartaian yang berkembang, khususnya jumlah dan ukuran relatif partai politik di parlemen. Sistem pemilu juga dapat mendorong atau menghambat pembentukan aliansi di antara partai-partai, dan bisa juga memberi rangsangan kepada beberapa kelompok agar lebih bersikap akomodatif atau memberi dorongan pada partai-partai untuk menghindari perselisihan berdasarkan ikatan kesukuan atau kekerabatan yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya bahwa sistem pemilu yang berdasarkan hasil kesepakatan publik yang dilakukan transparan dan melibatkan partispasi publik dimungkinkan akan bertahan lama dan berhasil. Rancang bangun suatu sistem pemilu seyogyanya perpihak pada aspek-aspek politik, kultural dan historis. Karena itu dalam merancang sistem pemilu perlu melibatkan pakar politik, antropolog, sosiolog dan juga sejarawan.
Sistem pemilu dirancang untuk mengimplementasikan tiga mandat penting (Reinolds:101;2001). Pertama, menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Kedua, sistem pemilu bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil rakyat yang telah terpilih. Ketiga, sistem pemilu mendorong pihak-pihak yang bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.
Secara teoritis, sistem pemilu dikenal ada tiga kelompok utama, yaitu sistem pluralitas-mayoritas, semi-proporsional, dan perwakilan proporsional. Di Indonesia, perdebatan yang sering muncul terkait dengan sistem pemilu, umumnya didominasi perdebatan apakah Indonesia akan menganut sistem distrik (pluralitas-mayoritas), ataukah akan menganut sistem perwakilan proporsional. Diantara dua sistem tersebut tentu memiliki sejumlah keunggulan dan kelemahan. Sistem pluralitas-mayoritas dinilai memiliki keunggulan karena memiliki kejelasan kepada siapa pemilih nantinya akan meminta pertanggungjawaban atau memberikan hukuman, karena sistem ini pada tiap distrik (daerah perwakilan) hanya akan diwakili oleh wakil tunggal. Tentu sebagai konsekuensi sistem pluralitas-mayoritas adalah tidak semua kelompok masyarakat terwakili, dan ini dinilai sebagai kelemahan sistem ini. Sebaliknya sistem proporsional dinilai unggul karena akan mengakomodasi keberagaman perwakilan secara proporsional dari tiap distrik, termasuk kelompok minoritas dan perempuan. Sistem proporsional dikritik karena tidak jelasnya kepada siapa pertanggungjawaban akan dimintakan, mengingat banyaknya wakil dari tiap distrik.
Dalam konteks Indonesia pengaturan pemilu dipenuhi oleh upaya penegasian (persyaratan ikut pemilu dan sistem pemilihan) menimbulkan implikasi kesulitan menerapkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya konsistensi dan kredibilitas dari kekuatan politik dan calon wakil rakyat. Hal ini diperparah dari lemahnya komunikasi politik dan kapasitas penyelenggara pemilu. Basis legitimasi representasi formal adalah proses politik yang bernama pemilu. Apabila informasi tentang kandidat terbatas dan penyelenggara tidak kredibel, maka pemilu tidak akan mampu menghadirkan representasi formal secara baik (Erawan:2;2008).
Pengaturan sistem pemilu sangat penting dan dapat membawa dampak yang substansial terhadap hasil pemilu maupun karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya (Evans:12;1999). Dalam merancang sistem pemilu setidaknya memiliki 6 misi, yang salah satu di antaranya adalah.keterwakilan (Pipit: 84;2004). Keterwakilan dalam hal ini memiliki 3 arti : (1) keterwakilan bagi seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok minoritas dan kelompok perempuan dalam lembaga perwakilan; (2) keadilan yang berarti bahwa keterwakilan itu merupakan pendekatan cerminan kekuatan kepentingan dan politik masyarakat dalam lembaga perwakilan. Tolok ukur keterwakilan adalah perbandingan perolehan suara dengan kursi yang memadai; (3) seberapa jauh rakyat dapat mempengaruhi proses penentuan calon dan tingkatan jalinan hubungan antara pemilih dengan anggota lembaga perwakilan.
Salah satu pilar demokrasi adalah pemilu, namun hanya mengandalkan pemilu menjadi demokratis lantaran diikuti oleh banyak partai agaknya tidak cukup buat mengembangkan proses demokratisasi (Pipit:125;2003). Sebagai dasar pertimbangan bahwa di negara demokratis, ada syarat lain yang harus dipenuhi, yakni peserta pemilu harus memiliki struktur organisasi yang demokratis pula. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi sistem pemilu Indonesia yang menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, maka sudah menjadi keharusan bagi partai politik melakukan proses seleksi calon secara internal dengan menggunakan mekanisme yang demokratis dan transparan yang berarti bahwa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat .
Pemilu yang adil dan demokratis diharapkan dapat menjadi alat sirkulasi kepemimpinan politik yang elegan sekaligus dapat mengejawantahkan aspirasi dan keterwakilan politik di parlemen (DPR/DPRD) dari semua elemen dalam masyarakat: etnis, agama, kaum perempuan, diffable, kelompok kepentingan dan lain-lain.
Kesimpulan
Memperbincangkan keterwakilan politik adalah bagaimana membangun relasi yang lebih baik antara para wakil dan yang terwakili. Pada masa pemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar trustee, di mana para wakil berjalan sendiri seolah-olah telah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Pascapemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar politico karena para politisi bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, berdasarkan situasi yang berkembang saat itu.
Untuk mendapatkan kualitas, peran dan fungsi perwakilan rakyat seharusnya menjunjung tinggi amanat rakyat, seharusnya para wakil rakyat dapat peka terhadap rakyat yang diwakili, seperti halnya rakyat telah memberikan kepercayan dan hak-hak kebebasannya berpendapatnya. Arti perumpamaan wakil rakyat memiliki makna yang luas, perumpamaannya meliputi keinginan masyarakat yang diwakili yang pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda beda. Untuk itu mereka yang di pilih sebagai wakil rakyat seharusnya menjunjung tinggi etika profisional kerja, sebagai etika moral yang berjuang memenangkan kepentingan-kepentingan politik rakyat itulah yang merupakan harapan dari pada rakyat dalam suatu sistem perwakilan demokrasi modern saat ini.
B. Saran.
Mendiskusikan tentang perwakilan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk terlebih dahulu mendiskusikan tentang urgensi perwakilan politik itu sendiri. Konsep keterwakilan secara politik harus betul-betul mengedapankan substansi daripada hanya memaknainya secara prosedural saja. Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai sebuah perwakilan politik yang berkualitas, yaitu:
1. Bahwa sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten dan pemilih yang dinamis, menyebabkan konsepsi dan praktek representasi politik formal menjadi problematik. Oleh sebab itu, beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk setidaknya mengurangi masalah tersebut adalah faktor struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”); faktor institusional (pengaturan pemilu); dan behavioral (perilaku politisi dan pemilih).
2. Prospek keterwakilan politik dalam hal ini lembaga perwakilan politik akan sangat tergantung pada sejumlah korelasi kuat antara lain sistem pemilu, partai politik, mekanisme pra-pencalonan dan elemen teknis pemilu lainnya seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kajian terhadap semua elemen yang ada sehingga hubungan sistem pemilu berjalan dengan baik.
3. Konsep demokrasi haruslah dimaknai sebagai sebuah proses atau alat untuk menuju masyarakat yang dicita-citatakan, bukan sebagai tujuan akhir.
Pada akhirnya untuk mewujudnya secara maksimal kulaitas keterwakilan politik di parlemen masih memerlukan kerja keras dan berbagai varian strategi yang cerdas, yang tentu saja harus melibatkan masyarakat untuk ikut berperan aktif di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul. (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1988.
Asfar, Muhammad, (ed) et.all. Model-model system Pemilihan di Indonesia. Surabaya: Pusdeham-Partnership for Governance Reform.2002.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Greenstein, Fred I. and Nelson W. Polsby (eds.), 1975, Handbook of Political Science Volume 4: Nongovernmental Politics, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. 1975
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cet. I; Jakarta: Gramedia, 2008.
Kartawidjaja, Pipit R. dan Mulyana W. Kusumah, Kisah Mini Sistem Kepartaian, Jakarta : Seven Strategic Studies-Closs, 2003
Martin Lipset, Seymour. (ed.), The Encyclopedia of Democracy, Volume II, Washington D.C. : Congressional Quarterly Inc..1995.
Nusa Bhakti, Ikrar dan Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, Bandung : Mizan, 2001.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. 1985
Saragih, Bintan R., Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia. Jakarta: Perintis Press. 1985.
Sartori, Giovanni. The Theory of Democracy Revisited, Part One, Chatham, NL, House Publisher, Inc. 1968.
Suryakusuma, Julia I. Almanak Parpol Indonesia Pemilu 1999, Jakarta : Almanak Parpol Indonesia, 1999
Makalah, Artikel/Opini
Haris, Andi. “Di Balik Optimisme Perwakilan Politik”, Fajar, 12 November 2008.
Riewanto, Agus. “Keterwakilan Politik Perempuan di Parlemen Tahun 2009”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ke XXIII di Makassar, 11-12 November 2008.
Putera Irawan, I Ketut. “Masa Depan Perwakilan Politik di Indonesia:Sistem Kepartaian, Pengaturan Pemilu, Perilaku Politisi dan Dinamika Pemilih”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ke XXIII di Makassar, 11-12 November 2008.

Sabtu, 09 Oktober 2010

ETIKA POLITIK


Oleh: Syahrir Karim

Etika politik berupaya membahas prinsip-rinsip moral dasar kenegaraan modern. Bukan etika kelakuan politisi yang dibicarakan. Pandangan-pandangan dasar tentang bagaimana harkat kemanusiaan dan keberadaban kehidupan masy dpt dijamin berhadapan dengan kekuasaan modern.
Sebagai ilmu dan Cabang filsafat Etika politik lahir di Yunani di saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. Melihat keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya masyarakat ditata. Legitimasi kekuasaan raja dlm tatanan hirarkis kosmos tdk lagi diterima begitu sj.Legitimasi2 tradisional kehilangan daya pikaktnya. Legitimasi tatann hokum dan Negara dan hak rajautk memerintah masyarakatnya dipertanyakan.Etika politik pada prinsipnya mengarah pada prinsip-prinsip moral yang harus mendasari penataan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.
- Etika : refleksi kritis dan rasional terhadap moral (filsafat etika).
- Moral: Ajaran, Etika: Ilmu
- Bertujuan utk membahas prinsip” moral dasar ketatanegaraan modern” bukan etika kelakuan para para politisi, melainkan bagimana harkat kemanuasusiaan dan keberadaban kehidupan masy dapat dijamin berhadapan dgn kekuasaan Negara moder. ( masy. Tradisonal, masy feodal, masy/Negara industri dan masy/ Negara pasca industri.
- Munculnya Filsafat dan etika pol (frans magnis) menyangkut baik baik dimensi hokum maupun dimensi kekuasaan Negara.
- Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jd, tdk berdasarkan emosi,prasangka, apriori, melainkan secra rasional, objektif dan argumentative. Fungsinya jg sebagai kritik ideology.
- Adalah salah faham, kalo etika pol langsung mencampuri polpraktis. Tugas etika pol sebagai subsider, yakni membantu agar pembahsan masalah” ideologis dapat dijalankan secara objektif.
- Etika politik menuntut segala klaim atas hak utk menata masy dipertanggung jawabkan pd prinsip2 moral dasar.
- Dgn demikian etika pol berfungsi sbg sarana kritik ideology.
- Etika pol tdk dapat mengkhotbahi para politkus, ttp dapat memberikan Patoka” orientasi dan pegangan” normative bagi mereka yg memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan pol dgn tolok ukur martabat manusia.
- Etika pol bersifat reflektif atau meta real. Etika membahas car abagaimana masalah” kehidupan dapat dihadapi, ttp tdk menawarkan suatu system normative sebagai dasar Negara.
- Etika Pol adalah ilmu yg mempelajari realist, misalnya suatu system moral yg ada, ttp tdk dapat menjadi system moral sendiri. Maka etika pol tdk berada pada tingkat system legitimasi pol tertentu dan tdk dapat menyaingi suatu ideology Negara. Tp etika pol dapat membantu usaha masy untuk mengejawantahkan ideology Negara yg luhur kedalam realitas poly g nyata.
- Etika pol: Filsafat moral ttg dimensi politis manusia.
- Filsafat dibagi dua cabang utama:
1. Filsafat teoritis: Apa yg ada?
2. Filsafat Praktis: Bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yg ada itu. Filsafat etika yang yang langsung mempertanyakan praksis manusia.
Etika Umum: mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi manusia, Sedangkan etika khusus mmebahas prinsip-prinsip itu dlm hubungan dengan kewajiban manusia dlm berbagai lungkup kehidupannya.

sahrirka.com


ETIKA POLITIK
Oleh: DR. Haryatmoko

1. Pengertian
a. Etika
Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia (Suseno, 1987).
Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
b. Nilai
Nilai atau “Value” termasuk kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tyentang nilai-nilai. Istilah ini di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau kebaikan (Goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229).
Dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences Dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yan menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed copacity of any abject to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kwalitas yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri.
c. Politik
Pengertian politik berasal dari kosa kata ‘Politics’ yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara. Yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan daari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau Decisionmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala perioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies. Yang menyangkut pengaturan dan pemabgian atau distributions dari suber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (Power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat Persuasi, dan jika perlu dilakukan pemaksaan (Coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik kegiatan berbagai kelompok termasuk paratai politik, lembaga masyarakat maupu perseorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (allocation). (Budiardjo, 1981: 8,9)
d. Etika Politik
Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia, (Lihat suseno, 1987: 15)
Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :
1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)
2. Kebebasan berfikir dan beragama (Locke)
3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesque)
4. Kedaulatan rakyat (Roesseau)
5. Negara hukum demokratis/repulikan (Kant)
6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
7. Keadilan sosial
2. Prinsip-prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer
a. Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya dan adat.
Mengimplikasikan pengakuan terhadap kebabasan beragama, berfikir, mencari informasi dan toleransi
Memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan kelompok orang
Terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karna keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter klektif bangsa
b. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil dan beradab, karena hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakuakan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia
Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi dan sebaliknya diancam oleh Negara modern
Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, meliankan karena ia manusia, jadi dari tangan pencipta
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras
c. Solidaritas Bangsa
Solidaritasd mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri melaikan juga demi orang lain
Solidaritas dilanggar kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung jawab, sikap obyektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup
d. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tidak ada manusia atau sebuah elit, untuk menentukan dan memaksakan bagaimana orang lain harus atau boleh hidup
Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana tujuan mereka dipimpin
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak rakyat kedalam tindakan politik
Dasar-dasar demokrasi
Kekuasaan dijalankan atas dasar ketaatan terhadap hukum
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM.
e. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat,
Keadilan sosial mencegah dari perpecahan
 Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideolodis, sebagai pelaksana ide-ide, agama-agama tertentu. Keadilan adalah yang terlaksana
 Keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidak adilan dalam masyarakat
3. Dimensi Politik Manusia
a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualismeyang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan da tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan orang lain.
Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.
b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama (lihat Suseno :1987 :21)
4. Nilai-nilai pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara,

PENUTUP
1. Kesimpulan
Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaiatan dengan bidang kehidupan politik, politik juga memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik negara dan menyangkut proses penentuaan tujuan dari sebuah sitem yang diikuti oleh pelaksananya, yang menyangkut kepentingan masyarakat (publikols) dan bukan tujuan pribadi.
Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia menentukan tindakan yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan dengan cara mengambil sikap terhadap alam dan dan masyarakat sekelilingnya untuk penyesuaian diri.
Sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis sehingga segala keputusan kebijaksanaan serta arah dari tujuan harus dapat dikembalikan secara moral tertentu.
2. Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yokyakarta, Paradigma
Thamiend Nico, Tata Negara, Ghalia Indonesia, Yudhistira
Suseno Franz Magnis, Titik Temu Etika Politik, 04 Mei 2008
Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus

ETIKA POLITIK
BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.
Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm