MASA DEPAN PERWAKILAN POLITIK FORMAL
DI INDONESIA:
Sistem Kepartaian, Pengaturan Pemilu, Perilaku Politisi
dan Dinamika Pemilih
Oleh:
I Ketut Putra Erawan, Ph.D
Pengelola Program Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia
November 2004
A. Pengantar
Melihat berbagai hasil riset, survey, dan opini umum tentang perwakilan politik formal, maka masa depan lembaga ini diprediksi suram. Lembaga ini dianggap tidak melaksanakan tugas, penuh intrik dan konflik, tidak responsif, dan tidak relevan bagi konstituen, negara, dan rakyat. Lembaga ini dianggap menggunakan banyak sumber politik ekonomi negara, dan membuat politik menjadi mahal. Ia menjadi sumber persoalan dan bukan solusi.
Ini menjadi ironis mengingat sistem demokrasi yang kita anut adalah demokrasi representatif. Tumpuan hidup bernegara diletakkan pada institusi perwakilan formal ini. Para wakil rakyat dipilih lewat mekanisme pemilu untuk menjadi pejabat politik dan publik yang diberi basis legitimasi untuk bertindak atas nama rakyat dan negara. Lihat pemikiran Pitkin, Locke, dll. Mereka dievaluasi setiap periode tertentu lewat mekanisme pemilu. Prosedur-prosedur diciptakan agar rakyat dapat mengevaluasi secara baik.
Ketika perwakilan politik formal ini tidak mampu membawakan aspirasi dan kepentingan publik, maka persoalan menjadi serius. Bukan demokrasi yang sedang dikembangkan, tetapi rejim lain. Mungkin oligarkhi, kalau sekelompok kecil elit yang beruntung dari proses berpolitik. Mungkin rent-seeking, kalau jabatan politik dan negara dipakai untuk menguntungkan kelompok. Mungkin patrimonialisme, kalau keluarga penguasa saja yang menikmati hasil kebijakan publik.
Sistem perwakilan politik formal di Indonesia, secara logika mencakup beberapa jenis: (1.) Perwakilan kekuatan politik dalam territori tententu (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota); (2.) Perwakilan Territori (DPD); (3). Eksekutif bagi territori seluruh wilayah nasional (Presiden dan Wapres); dan (4.) Eksekutif bagi territori daerah (Gubernur/Wagub, Walikota/Wawali, dan Bupati/)
Ada yang melaksanakan secara konvensional. Ada yang berani melakukan inovasi. Sbg contoh: Demokrasi Langsung dari Bali; Inovasi Governance di beberapa daerah; Bargaining dengan pusat.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah masa depan perwakilan politik formal di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan diberikan setelah mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi masa depan perwakilan politik tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sistem kepartaian di Indonesia, pengaturan pemilu, dan pilkada, tingkah laku politisi, dan dinamika pemilih.
B. Sistem Kepartaian di Indonesia: Multi Partai tidak sederhana
Jenis sistem kepartaian memiliki pengaruh terhadap masa depan keterwakilan politik di Indonesia. Bagi pakar politik seperti Sartori, jumlah partai yang terlalu banyak akan membuat kebijakan publik tidak fokus dan terfragmentasi. Perdebatan menjadi teknis dan tidak reflektif. Kebijakan publik akan habis terkuras untuk kebutuhan jangka pendek. Pada saat yang sama, jumlah yang terlalu sedikit akan menimbulkan dominasi, hegemonisasi, serta berkurangnya kompetisi. Minimnya kompetisi akan memberi peluang munculnya kolusi dan oligarki.
Dalam kaca mata teoretik maka munculnya moderate pluralism merupakan harapan. Logikanya adalah ini akan memungkinkan munculnya sistem presidentialisme yang efektif. Sistem kepartaian ini bisa dimungkinkan dengan berbagai political engineering:
1. Entry Costs yang Rendah
Oleh karena, partai politik adalah institusi publik yang memiliki tugas sangat penting, wewenang besar, dan tanggung jawab tinggi maka persyaratan yang melekat tidak mudah. Diantara berbagai persyaratan yang dilekatkan dalam UU Partai Politik 2008, maka salah satu entry costs yang tinggi adalah persyaratan untuk memiliki prosentase jumlah kantor cabang riil di seluruh Indonesia pada waktu tertentu. Tampaknya persyaratan ini tidak dapat mengurangi jumlah partai yang ada.
Proses verifikasi yang sangat “toleran” menyebabkan banyak partai mampu menembus entry cosy yang rendah ini. Beberapa partai yang disinyalir tidak kompetenpun ikut lolos verifikasi peserta pemilu. Implikasinya adalah legitimasi dan otoritas lembaga perwakilan formal ini menjadi melemah.
Tabel 1. Sistem Kepartaian dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Sistem Multipartai tidak sederhana Entry costs rendah Problema Representasi Formal
(Legitimasi rendah)
Organizing costs rendah Problema Representasi Formal
(Otoritas lemah)
2. Organizing Costs yang rendah
Organizing costs yang dilekatkan tidaklah terlalu tinggi. Selain persyaratan jumlah pengurus yang mempertimbangkan perempuan hanya untuk pusat, tidak ada persyaratan menunjukkan aktivitas rutin di masing-masing cabang. Sehingga kantor-kantor itu hanya berfungsi pada saat atau menjelang pemilu dan pilkada. Mengingat biaya politik dalam pemilu yang relatif tinggi maka organizing costs yang harus dipersyaratkan semestinya juga seimbang. Namun, seperti halnya entry costs, organizing costs juga rendah menyebabkan tidak kompetennya beberapa partai yang ikut pemilu. Situasi yang seperti ini akan menyulitkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya basis legitimasi dan otoritas yang kuat bagi lembaga yang akan menjadi wakil rakyat itu.
C. Pengaturan Pemilu: Politik Penegasian
1. Persyaratan ikut pemilu (Isu Rendahnya Kompetensi)
Seperti yang disebutkan diatas, persyaratan ikut pemilu untuk pemilu 2009 yang tadinya menggunakan persyaratan electoral threshold dan parliamentary threshold ternyata dinegasi oleh pasal lain yang membolehkan semua partai yang memperoleh kursi untuk lolos verifikasi. Belum lagi gugatan pengadilan yang membuat jumlah partai yang boleh ikut pemilu lebih banyak lagi. Persyaratan kompetensi dinegasikan atas nama hak untuk berpartisipasi.
Tabel 2. Pengaturan Pemilu dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Pengaturan Pemilu: Politik Penegasian Persyaratan ikut pemilu rendah Problema Representasi Formal
(Legitimasi rendah)
Inkonsistensi sistem pemilihan Problema Representasi Formal
(Legitimasi rendah)
Lemahnya kapasitas komunikasi politik Problema Representasi Formal
(Otoritas lemah)
Lemahnya kapasitas penyelenggara pemilu Problema Representasi Formal
(Otoritas lemah)
2. Sistem pemilihan (Isu Inkonsistensi)
Sistem pemilihan umum untuk memilih legislatif menurut UU Pemilu 2008 adalah sistem representasi proporsional dengan list terbuka (hingga syarat minimal 30% BPP). Dibawah itu akan menggunakan sistem tertutup atau nomor urut. Tetapi kesepakatan ini dinegasi sendiri oleh berbagai partai yang ada. Entah dengan alasan mencari simpati, atau alasan mereka tersingkir dari urutan nomor jadi, usulan “tarung bebas” diterapkan oleh mereka.
Usulan tarung bebas, menyebabkan peserta pemilu harus bersaing dengan para wakil separtainya sama seperti harus bersaing dengan diluarnya. Heuristik shortcut dengan menggunakan hampiran identifikasi partai, tokoh politik nasional, ideologi menjadi tidak terlalu berguna karena orang separtai menggunakan alat yang sama.
3. Kampanye (Isu Lemahnya Kapasitas Komunikasi)
Periode kampanye dibagi menjadi kampanye dengan rapat umum dan non pengerahan massa. Masa kampanye yang sangat panjang telah menyebabkan stamina berbagai partai kelihatan timpang. Peniruan cara kampanye menyebabkan pendidikan politik tidak jalan. Banyaknya partai dan calon dipertontonkan di tempat-tempat umum, justru tidak menunjukkan semaraknya proses politik. Tetapi kejenuhan, semrawut, dan kebingungan. Informasi ke publik tentang kualitas calon, visi-misi, dan program menjadi tidak dapat muncul dinegasi oleh cara kampanye konvesional dengan bendera dan poster atau spanduk berisi gambar calon/partai. Mungkin yang terjadi adalah publik mengenal gambar dan nomer partai, tetapi tidak peduli dengan calon. Apalagi terhadap visi-misi, posisi politik si calon.
4. Lembaga Penyelenggara pemilu (Isu Kapabilitas Rendah)
Situasi baru dan proses politik yang sangat panjang menyebabkan lembaga penyelenggara pemilu belum dapat sepenuhnya merespon situasi. Belum lagi di berbagai tempat mereka masih disibukkan oleh Pilkada. Di banyak tempat ekses pilkada belum juga dapat diselesaikan.
Tugas penyelenggara pemilu belum dapat sepenuhnya jalan mengikuti pola kerja hirarkhis yang dirancang dalam undang-undang penyelenggara pemilu. Kapasitas penyelenggara pemilu di Pusat seringkali tidak dianggap tidak cukup kompeten menangani situasi yang kompleks dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh proses pemilu 2009.
Situasi pengaturan pemilu yang dipenuhi oleh upaya penegasian (persyaratan ikut pemilu dan sistem pemilihan) menimbulkan implikasi kesulitan menerapkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya konsistensi dan kredibilitas dari kekuatam politik dan calon wakil rakyat. Hal ini diperparah dari lemahnya komunikasi politik dan kapasitas penyelenggara pemilu. Basis legitimasi representasi formal adalah proses politik yang bernama pemilu. Apabila informasi tentang kandidat terbatas dan penyelenggara tidak kredibel, maka pemilu tidak akan mampu menghadirkan representasi formal secara baik.
D. Perilaku Politisi: Ketidakpastian dan Keruwetan
1. Persaingan Internal dan Persaingan Eksternal
Seperti diuraikan didepan maka persaingan internal akan juga sangat kuat. Implikasinya adalah adanya upaya untuk melakukan distinction atau pembedaan. Tetapi kalau jumlahnya terlalu banyak distinction tersebut akan sulit dicapai. Distinction akan mudah dilakukan dengan sistem plurality atau district. Dengan sistem PR apalagi list terbuka, sukar untuk melakukan perbedaan.
Ketidakpastian yang tinggi tentang loyalitas pemilih dan tingginya persaingan antar calon internal dan eksternal membuat pemilu 2009 akan memiliki friksi dan resiko yang tinggi. Fragmentasi dan personalisasi politik akan sangat menonjol. Pengorganisasian partai akan diuji oleh berbagai konflik internal. Faksi dan pengelompokan akan menjadi isu utama pemilu. Visi, Misi, dan Program masih menjadi tempelan kampanye tanpa makna.
Tabel 3. Perilaku Politisi dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Perilaku Politisi: Ketidakpastian dan Keruwetan Persaingan internal dan eksternal Problema Representasi Subtantif
(Fokus ke network yang ada)
Pendapilan Problema Representasi Deskriptif
(Ketidakmampuan untuk distinction)
Pemasaran Politik Problema Representasi Substantif (Politik transaksional)
Coattail Efect Pilkada Problema Representasi Deskriptif
(Ketidakmampuan untuk distinction)
2. Pendapilan
Fokus persaingan politisi menjadi terkonsentrasi pada daerah dimana ia dicalonkan. Dapil akan hanya menjadi arena persaingan saja, bukannya tempat merefleksikan kebutuhan warga di wilayah tersebut. Pemilih juga belum terbiasa dengan konsepsi dapil seperti ini. Dengan demikian, sistem pemilihan representasi proportional pada wilayah tertentu (dapil) hanya memberi pemaknaan representasi kekuatan politik yang didukung pemilih tertentu. Representasi teritori seperti yang ingin dilekatkan pada konsep pendapilan tidak dapat dimunculkan pada pemilu 2009.
Sebagai konseptualisasi representasi teritorial adalah DPD. Tetapi dihilangkannya persyaratan teritori bagi DPD membuat lembaga ini kehilangan makna. Kata Daerah dalam DPD seharusnya menyiratkan keharusan representasi teritori sekarang menjadi tidak jelas. Apalagi, dihilangkannya prasyarat non-partisan (berpartai) dalam DPD membuat lembaga ini semakin menyerupai DPR. Basis legitimasi teritorinya telah tergerus, kekuatannya dalam membawakan aspirasi daerah (teritori) menjadi pupus.
3. Political Marketing dan Sumber Daya Ekonomi
Melihat praktek kampanye yang sangat panjang dan persaingan ketat dalam beberapa bulan belakangan ini, maka kekuatan politisi akan juga sangat ditentukan oleh kapasitasnya dalam memobilisasi massa, mempraktekkan political marketing yang tepat, dan menggerakkan sumber daya ekonomi.
Dalam berbagai peristiwa politik, terutama Pilkada massa pemilih sudah diajari untuk melakukan transaksional politik. Mereka dijadikan target mobilisasi dan marketing politik, dan mereka melakukan bargaining baik kelompok maupun perorangan untuk kepentingan jangka pendek kelompok ataupun perorangannya. Akibatnya adalah transaksi potensi suara dengan berbagai sumbangan dari calon atau partai. Kampanye dan pemilu menjadikan politik menjadi sangat mahal. Implikasinya adalah politik menjadi permainan ekslusif kelompok yang memiliki kekuatan politik ekonomi. Dan belum lagi, negara dan jabatan publik akan menjadi ajang rent-seeking dan korupsi.
4. Coattail Efek Pilkada
Di beberapa daerah yang baru saja menyelenggarakan Pilkada, maka dampak Pilkada secara politik dan sosiologis terhadap pemilu 2009 di daerah itu akan tinggi. Partai-partai yang berhasil mengusung calon terpilih akan menikmati efek ekoran sebagai partai-partai yang memiliki mesin politik ekonomi yang jalan. Calon-calon partai-partai tersebut juga menikmati limpahan informasi yang sudah tersampaikan selama pilkada. Dalam hal starting point energy, mereka tidak membutuhkan lagi tambahan. Tetapi persoalannya adalah bahwa dengan mekanisme tarung bebas, maka mereka harus mencari sumber-sumber baru yang membedakan. Seperti diuraikan di depan, maka basis politik segmentasi dan targeting menjadi disempitkan ke dapil dimana mereka bersaing. Isu-isu yang seharusnya diusung menjadi tajam dan riil. Calon yang tidak memiliki basis dukungan akar rumput akan memiliki kesulitan untuk terpilih.
Di beberapa daerah yang pilkadanya maupun proses pemerintahannya bermasalah, maka pemilu 2009 akan juga dipenuhi implikasi persoalan-persoalan pilkada yang belum selesai tersebut. Berbeda dengan pilkada, maka arena dan ranah konflik menjadi tidak dikotomis (seperti logika sistem pemilu plurality dalam Pilkada) tetapi lebih terfragmentasi atas berbagai isu dan ranah (seperti logika representasi proportional dalam Pemilu Legislatif).
Kalau didepan diuraikan, tentang efek sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten, dan ketidakpastian dan keruwetan yang dihadapi politisi, maka bagian berikut akan membahas pemilih yang dinamis. Kesemuanya akan berpengaruh terhadap masa depan perwakilan politik. Kerumitan untuk membawa keterwakilan dalam proses pemerintahan dan politik, dalam paper ini bisa dijelaskan dari berbagai faktor baik yang struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”), institusional (pengaturan pemilu), maupun behavioral (perilaku politisi dan pemilih).
E. Dinamika Pemilih: Keterbatasan Informasi
1. Swing Voters dan Pemilih Pemula
Dalam berbagai survey dan temuan riset, ternyata jumlah pemilih yang tidak menetapkan pilihannya terhadap partai (terlebih calon) dalam pemilu (kalau pemilu dilakukan hari ini) adalah mendekati 30%. Jumlah ini jauh melebihi jumlah suara yang diprediksi akan dimenangkan oleh partai yang menang pemilu. Ini mengindikasikan dinamika baru yang harus dimengerti oleh partai politik dan calon yang bersaing. Siapakah mereka? Dimana mereka berada? Apa kepentingan politiknya? Semua pertanyaan tersebut harus segera dijawab untuk dapat mengerti dinamika perilaku memilih dalam pemilu di Indonesia.
Hal lainnya yang ditunjukkan dalam berbagai temuan riset dan survey opini publik adalah para pemilih cendrung tidak dapat membedakan antara nama, tanda gambar, visi-misi, posisi program dari berbagai partai yang bersaing dalam pemilu. Lebih dari 60% dari respondent tidak dapat membedakannya. Melihat hal tersebut, maka jumlah yang tidak dapat membedakan antara kandidat satu dan lainnya tentu akan lebih besar lagi.
Ketidakmampuan membedakan tersebut menyebabkan pemilih sebagian menyatakan dirinya tidak memiliki loyalitas. Mereka akan dengan sangat mudah bergeser untuk memilih ke partai atau calon lain. Pemilih yang preferensinya mudah bergeser tersebut kita sebut swing voters.
Pemilih lainnya yang membutuhkan perhatian secara khusus adalah pemilih pemula. Pemilih pemula ini adalah pemilih yang baru pertama karena faktor usia boleh ikut dalam pemilu. Jumlah mereka yang akan semakin banyak, dan preferensi mereka akan mempengaruhi bentuk representasi politik formal yang ada. Mereka cendrung menuntut representasi yang lebih bersifat substantif.
Tabel 4. Dinamika Pemilih dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Dinamika Pemilih: Keterbatasan Informasi Swing Voters dan Pemilih pemula Problema Representasi Formal
(Problema Legitimasi)
Split Voters Problema Representasi Formal
(Problema Legitimasi)
Konstituen dan Partisan Problema Representasi Deskriptif (Problema Distinction)
2. Split Voters
Hal yang serupa juga terjadi ketika kita melihat kecendrungan baru dalam perilaku memilih. Dalam kondisi pilihan partai yang sangat banyak dan calon juga harus bersaing dengan calon lain secara internal, maka phenomena split voters akan meningkat. Pemilih bisa saja memilih partai A calon no 1 untuk DPR, tetapi memilih partai B calon no 2 untuk DPR provinsi, dan tidak memilih untuk calon DPRD kabupaten.
Split voter yang demikian akan menyulitkan kita melihat pola keterwakilannya dalam kaca mata keterwakilan politik formal saja. Yang mungkin menjelaskan adalah keinginan voters untuk si kandidat di masing-masing level membawa aspirasi yang berbeda. Sehingga partai yang dipilihpun jadi beragam. Konsistensi atau loyalitas kepartaian menjadi rendah. Pola representasi yang berkembang menjadi simbolik ataupun substantif.
3. Konstituen dan Partisan
Aturan main pemilu kali ini memang cukup berbeda. Dengan hanya prasyarat mendapat kursi 30% BPP serta beberapa partai yang meminta calon-calonnya akan diurutkan bukan oleh nomor urut tetapi oleh jumlah suara (tarung bebas) menyebabkan arena persaingan menjadi baik internal ataupun eksternal. Konsentrasi dari aktivitas politisi adalah lebih terkonsentrasi menggarap daerah yang mereka kenal dan kuat. Dapil akan menjadi arena persaingan antara berbagai politisi yang ikut pemilu.
Lain dengan pemilu sebelumnya, maka konstituen dan partisan di dapil tersebut akan menjadi komoditi yang berharga untuk dimobilisasi antar berbagai elemen yang bersaing. Kecendrungan personalisme tersebut akan membuat persaingan program antar calon akan mudah diganti dengan upaya menunjukkan karisma calon ataupun network sosial dan kultural yang dimiliki. Representasi yang berkembang justru lebih simbolik daripada substantif.
F. Masa Depan Perwakilan Politik di Indonesia: Banyak Pekerjaan Rumah
Seperti yang telah diuraikan didepan bahwa sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten, dan ketidakpastian dan keruwetan yang dihadapi politisi, serta pemilih yang dinamis, menyebabkan konsepsi dan praktek representasi politik formal menjadi problematik.
Kerumitan untuk membawa keterwakilan dalam proses pemerintahan dan politik, dalam paper ini bisa dijelaskan dari berbagai faktor baik yang struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”), institusional (pengaturan pemilu), maupun behavioral (perilaku politisi dan pemilih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar