Rabu, 04 Januari 2012

ISLAMISME DI SULAWESI SELATAN


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Dalam ekspresi pemeluknya, Islam sering tampil tidak hanya sebagai ajaran tetapi juga ideologi. Hal ini berangkat dari sebuah pandangan politik-keagamaan yang merujuk pada proposisi: inna al-Islam ad-din wa ad-dawlah, bahwa Islam itu agama dan negara. Meskipun dalam perkembangannya, pernyataan bahwa Islam sebagai sebuah ideologi masih menuai kontroversi, namun dalam kenyataannya di sebahagian lingkungan Muslim masih terdapat gerakan atau pemikiran yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Kontroversi tersebut dapat dipahami mengingat konsep ideologi itu sendiri sepanjang sejarahnya selalu menjadi wacana kontroversi baik sebagai kerangka pemikiran maupun gerakan.
Hampir semua gerakan Islam di dunia muslim telah menempatkan ideologi dalam posisi dan fungsi yang sangat penting. Gerakan-gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’at Islam di Pakistan, dan gerakan-gerakan Islam di Indonesia seperti Syarikat Islam dan Masyumi, lahir dan tidak lepas dari ideologi.
Pandangan yang mempertautkan Islam sebagai ideologi, dalam makna Islam sebagai agama yang menyeluruh menyangkut segenap aspek kehidupan termasuk politik dan memproyeksikan Islam itu secara langsung atau integral dengan kegihidupan politik atau negara, di kalangan pergerakan Islam seperti pandangan Hasan Al-Banna disebut dengan “Islamiyyah” (Islamiyah), sedangkan dalam wacana kontemporer dikenal dengan “Islamism” (Islamisme). Para Islamiyah disebut “Islamiyyun”, sedangkan pengikut Islamisme disebut “Islamis”. Islamiyah dalam makna mutakhir (kontemporer) sebagaimana diperkenalkan para sarjana Barat yang mempelajari Islam dan fenomena gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, sepadan dengan istilah atau konsep “Islamisme” (Islamism). Islamisme merupakan fenomena gerakan Islam kontemporer yang memandang Islam sebagai ideologi politik, termasuk yang membawa kecenderungan neo-fundamentalisme yang sangat peduli pada syariat Islam.
Eksistensi gerakan ini sebenarnya sejalan dengan gerakan revivalisme Islam yang dipertautkan dengan gerakan kebangkitan Islam yang dipelopori oleh Ibn Taimiyyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abd. Al-Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, dan Rasyid Ridha di dunia Islam, yang kemudian masuk dan berkembang di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Dalam perkembangan kontemporer pasca revolusi Iran tahun 1979, gerakan kebangkitan Islam dalam corak revivalisme, yang mempertautkan Islam dengan kehidupan politik atau negara, menurut Esposito merupakan suatu proses “ideologisasi Islam”, yakni ketika “Islam ditafsirkan sebagai ideologi total yang menjadi asas kerangka makna dan sebahagian tujuan kehidupan politik, sosial, dan kultural”. Kehadiran gerakan Islam yang mengusung ideologi, yang mempertautkan Islam secara langsung atau integral dengan institusi negara atau politik, dalam wacana kontemporer dikenal dengan Islamisme (Islamiyah). Gerakan ini (Islamisme) memandang bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari dan memiliki hubungan integral dengan politik negara, karena Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Kelompok Islamis inilah yang memiliki kecenderungan sebagai muslim yang termotivasi secara ideologis dan representasi dari “gerakan Islam” (al-harakah al-Islamiyyah).
Gejala ideologisasi Islam tersebut bahkan belakangan sering dilekatkan dengan “Islamisme” (Islamiyyah), yang dalam wacana Islam kontemporer mulai banyak digunakan sebagai pilihan lebih tepat daripada konsep fundamentalisme Islam yang memang banyak dikritik karena mengandung banyak kelemahan atau ambiguitas. Dalam era kebangkitan Islam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ideologisasi Islam tampaknya satu napas dengan gerakan Pan-Islam (Pan-Islamisme) sebagimana dikomandangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian menggema ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia.
Kebangkitan Islamisme di Indonesia
Gerakan Pan-Islam dengan model kepemimpinan khalifah di dunia Islam memang semakin menjadi isu besar, terutama pada awal abad-20 bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran nasional untuk merdeka di hampir seluruh negeri muslim terjajah. Gerakan tersebut terus meluas setelah pemerintah Turki Usmani di bawah Sultan Salim I pada tahun 1917 merebut Mesir dan menghembuskan isu kekhalifahan Islam sedunia dan mengangkat diri sebagai pelindung Makkah dan Madinah. Setelah kemenangan Sultan Salim itulah Pan-Islam tumbuh menjadi isu dan gerakan di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Kendati terdapat pula ironi bahwa di Turki sendiri gerakan itu kandas setelah gerakan nasionalis-sekular yang dikenal dengan julukan kaum Turki Muda di bawah Mustafa Kemal berkuasa dan kemudian menghapuskan jabatan khalifah pada tahun 1924.
Di Indonesia, agama Islam mulai dari awal kedatangannya sampai sekarang penuh dengan dinamika dan punya warna tersendiri dalam kehidupan di negara ini. Dinamika tersebut dapat dilihat ketika Islam berhubungan dengan politik atau kekuasaan negara, terutama pada era moden setelah bersentuhan dengan struktur negara-bangsa (nation-state) sejak Indonesia Merdeka tahun 1945 yang mengantarkannya pada pergulatan ideologis yang penuh problematik. Inilah sebuah fase baru setelah Islamisasi kultural yang berlangsung lama sejak masa awal kedatangan Islam ke Nusantara dan proses persentuhan politik pra-moden dalam dinamika kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam sejak abad ke-13. Dalam konteks demikian maka kehadiran Islam dalam kenyataan hidup pemeluknya dan dunia pada umumnya menjadi suatu fakta historis dan sosiologis yang selalu bersifat kompleks dan penuh warna. Lebih-lebih bagi sebuah gerakan keagamaan yang tidak memisahkan urusan agama dan politik maka Islamisasi itu selalu memunculkan proses pertemuan dan dialog antara tuntutan-tuntutan yang bersifat doktrin dengan kenyataan lingkungan sosial yang dihadapi.
Pergulatan ideologis yang sarat problematik di tubuh umat Islam selain menggambarkan keragaman corak pengalaman Islam dalam kehidupan politik secara umum mahupun dalam menghadapi struktur baharu negara-bangsa secara khusus, pada saat yang sama menunjukkan masih belum terpecahkannya masalah hubunga Islam (din) dan negara (daulah) di era moden secara tuntas, yang melahirkan hubungan-hubungan yang canggung di antara keduanya. Namun apapun ragam corak eksperimen Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, maka proses dialektika itu tampaknya terus berlangsung tanpa kenal berhenti. Bagi kaum muslim ini merupakan suatu keniscayaan sebagai bagian dari dinamika Islamisasi yang tidak pernah akan selesai.
Di Indonesia, seiring dengan berkembangnya kehidupan perpolitikan nasional ketika memasuki era reformasi, jalur-jalur demokrasi dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut berpartipasi dalam berbagai proses politik secara sukarela. Era reformasi juga memasuki babakan baru dengan mendatangkan liberalisasi politik.
Situasi ini telah memungkinkan lahirnya parti-parti politik dalam jumlah yang sangat banyak. Islam juga mengambil bagian yang besar dalam era demokratisasi tersebut. Buktinya, bahwa di antara organisasi-organisasi politik yang muncul itu adalah parti-parti yang mempunyai social origin Islam. Parti politik pun mulai “kembali menemukan momentum” dirinya untuk memikat masyarakat. Simbol-simbol agama mulai kembali menjadi “komoditas” yang dianggap mampu meningkatkan perolehan suara. Sebagai kelanjutan dari asal-usul sosial demikian itu, ada parti yang menegaskan diri sebagai parti Islam. Ini terutama tampak dalam simbol dan asas parti. Ada pula yang merasa tidak perlu menyatakan diri sebagai parti Islam. Meskipun begitu, publik tetap menganggapnya sebagai parti Islam. Hal ini sesuai dengan realitas yang ada, bahwa secara jelas pendukung parti-parti itu, baik yang menyatakan secara resmi parti Islam atau tidak, adalah komunitas Islam.
Hanya dalam waktu beberapa bulan setelah reformasi dimulai, Indonesia mempunyai lebih dari 170 parti. Parti-parti yang menggunakan label agama sudah berada di atas angka 50-an, termasuk parti-parti Islam. Meskipun demikian, melalui proses verifikasi, hanya 48 parti yang dinilai layak mengikuti pemilu.
Dalam konteks Islam, perkembangan ini telah melahirkan penilaian tersendiri yakni pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Pandangan ini dianggap boleh saja, karena satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak, kenyataan ini akan mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apapun, lebih-lebih parti politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, bahwa massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan. Meskipun dalam wilayah tertentu, artikulasi (pemikiran politik Islam) masih tetap didominasi oleh kemahuan ideologis untuk melegitimasi rezim-rezim masyarakat Islam dewasa ini.
Pada sisi yang lain, bahwa di era baru itu bukan hanya lahir parti-parti politik yang mengusung politik aliran baik dari kalangan Islam maupun golongan masyarakat lainnya, tetapi juga organisasi-organisasi atau gerakan-gerakan keagamaan yang membawa misi dan simbol-simbol keagamaan termasuk di kalangan umat Islam. Di antara gejala baru yang menonjol dan menimbulkan kontroversi ialah gerakan Islam yang mengusung kembali piagam Jakarta dan penerapan syariat Islam yang sering disebut berhaluan radikal atau fundamentalis seperti Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Komite Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan lain-lain di luar parti politik Islam yang mengusung isu yang sama kendati tidak sekuat gerakan-gerakan Islam berhaluan militan itu. Gerakan-gerakan Islam yang mengusung perjuangan menegakkan syari’at Islam dalam struktur negara itu kendati gagal dalam memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 pada momentum Sidang MPR tahun 2000, namun tidak mengenal menyerah dalam melakukan usaha-usaha penerapan syariat Islam di berbagai daerah di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya, lebih-lebih setelah Aceh berhasil memperoleh status otonomi khusus dengan menerapkan syari’at Islam tahun 2001.
Kelompok Islam yang membangkitkan kembali parti politik Islam berlabel formal Islam, termasuk mengusung isu Piagam Jakarta dan penerapan syari’at Islam, tergolong Islam ideologis atau dalam istilah yang belakangan populer disebut Islamisme. Dikatakan Islam ideologis karena watak dan orientasi keagamannya berbasis pada pandangan Islam sebagai ideologi, yang mempertautkan secara langsung hubungan Islam dengan negara atau politik serta memperjuangkan cita-cita politik Islam. Bagi kaum Islamis (pengikut Islamisme) atau yang paham Islam ideologis bahwa Islamisasi harus dilakukan melalui keterlibatan langsung dalam kegiatan sosial dan politik. Bahwa keterlibatan dalam politik berpijak pada Islam sebagai sistem pemikiran yang umum dan menyeluruh (Islam is a global and synthesizyng system of thought). Masyarakat Islam dalam berbagai landasan dan struktur kehidupannya haruslah Islami.
Dalam konteks Islamisme, kehadiran parti-parti politik dan organisasi Islam bercorak Islamis atau ideologis di era reformasi tersebut telah secara terbuka menyuarakan dan mengusung kembali perjuangan menegakkan syari’at Islam melalui isu momentum amandemen UUD 1945 seperti disuarakan oleh PPP, PBB, dan PK (PKS) maupun oleh FPI, MMI, dan Hizbu Tahrir melalui perjuangan politik parlemen mahupun di luar parlemen . Bagi mereka, keyakinan akan otentitas dan kesempurnaan ajaran Islam dengan tetap mengacu kepada pengalaman sejarah generasi Islam awal. Generasi ini merupakan basis ideologis pandangan kalangan yang kukuh mempertahankan dan memperjuangkan syariah Islam sebagai penawar atas soalan sosial-politik masyarakat. Barat dinilai gagal mensejahterakan tatanan sosial-politik penduduk dunia. Pada akhirnya kaum Islamis selalu mengatakan bahwa “syariah Islam adalah solusi” atas berbagai masalah sosial-politik dunia selama ini. Dalam masyarakat baru sekalipun yang hidup disekitar lingkungan Islam akan menyukai pengetahuan Islam karena Islam akan tetap memberikan jalan keluar.
Di lingkungan umat Islam, selain parti-parti politik berasas formal Islam sebagaimana disebutkan, lahir pula gerakan-gerakan Islam yang mengusung cita-cita ideologi Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang kedua-duanya mengusung perjuangan menegakkan syariat Islam dan kekhalifahan Islam. Sedangkan Gerakan-gerakan Islam lainnya seperti Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) di Sulawesi Selatan dan kelompok-kelompok Islam setempat mengusung formalisasi syari’at Islam dalam institusi pemerintahan seperti berkembang di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya, selain di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang secara resmi sejak diberlakukannya Otonomi Khusus tahun 2003 telah menjadi daerah yang menerapkan syari’at Islam secara formal. Gerakan-gerakan Islam ini, baik yang bergerak langsung di lapangan politik menjadi parti politik maupun menjadi gerakan-gerakan Islam yang bercorak dakwah dan ideologis, memiliki nasab ideologis yang relatif sama dan bahkan hingga batas tertentu mempunyai pertautan elite dan pahamnya dengan gerakan-gerakan Islam yang mengusung ide negara Islam atau Islam sebagai dasar negara di masa silam. Kecenderungan Islam yang berorientasi pada politik inilah yang mewarnai kebangkitan kembali Islamisme maupun Islam politik di era baru yang membuka keran keterbukaan luar biasa itu.
Gerakan Islam Ideologis (Islamisme) sebenarnya juga tidak lepas dari situasi politik yang berkembang di Indonesia. Bahwa iklim keterbukaan pada era reformasi memberikan peluang bagi umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk memperjuangkan aspirasinya. Dalam wilayah parti politik, gerakan Islam (Islamism) tampaknya terkait dengan pengaruh yang kuat oleh masyarakat setempat dengan alam ideologi-politik sebagaimana pengaruh parti-parti politik Islam di masa lampau sebagaimana tergambar dalam Pemilihan umum sejak 1955 hingga pada masa Orde Baru dan Era reformasi. Pada pemilihan umum 1955, parti-parti berbasis Islam mendominasi dan menjadi kekuatan yang relatif besar di wilayah ini iaitu Majelis Syuro Muslimin(Masyumi) (39,73%) sekaligus sebagai pemenang pertama, disusul oleh Nahdatul Ulama (17,24%) dan parti Syarikat Islam Indonesia atau PSII 12,28%). Meskipun pemilu-pemilu selanjutnya suara gabungan Parti Islam tidak pernah lebih baik dari perolehan dalam Pemilihan umum 1955 tersebut. Pemilihan umum terakhir tahun 2009 menunjukkan bahwa parti-parti yang berbasis Islam tidak sebanding dengan rasio pemilih umat Islam. Di antara penyebab terjadinya penurunan tersebut berdasar dari beberapa survei yang menunjukkan bahwa massa pendukung parti-parti politik yang berbasis Islam yang menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, terbukti lebih banyak memberikan suaranya kepada parti-parti yang tidak berbasis Islam. Hal ini dapat dilihat hasil Pemilihan umum Umum 2009 DPR RI. P. Demokrat 148, P. Golkar 107, PDIP 94, PKS 57, PAN 46, PPP 37, PKB 28, P. Gerindra 26, P. Hanura 17 kursi.Terdiri dari 29 parti yang tidak lolos PT, karena itu tidak memperoleh kursi di DPR pusat. Sumber: KPU. Terdiri dari 29 parti yang tidak lolos PT, karena itu tidak memperoleh kursi di DPR pusat. Sumber: KPU.
Dari data yang ada di atas, terlihat jelas bahwa distribusi perolehan suara di dalam pemilu pada dasarnya lebih terkonsentrasi pada sejumlah parti dan tidak kepada semua parti termasuk di dalamnya adalah parti-parti Islam, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB. Meskipun secara alamiah hanya parti-parti tertentu saja yang memperoleh dukungan yang nyata dari para pemilih, tetapi yang menjadi sorotan adalah parti-parti yang berbasis dukungan massa riil (real) Islam justru kalah dengan jumlah suara yang signifikan oleh parti-parti yang bukan parti Islam. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar apakah massa pemilih Islam sudah mengalami pergeseran perilaku dalam memilih, atau perilaku politik Islam secara umum sudah mengalami polarisasi tertentu. Bahwa yang jelas fenomena seperti ini adalah persoalan serius yang harus ditemukan jawabannya.
Wajah Islamisme di Sulawesi Selatan
Pemandangan yang sama juga terjadi pada Pemilihan umum di Sulawesi Selatan pada era reformasi. Data menunjukkan bahwa Pemilihan umum 2004 pemilih umat Islam memperlihatkan orientasi yang meningkat untuk memilih calon-calon legislatif yang dicalonkan parti Islam atau parti yang berbasis Islam. Pemilihan umum tahun 1999 parti-parti Islam mampu mandapat kursi 14 anggota DPR Propinsi dari 65 kursi yang tersedia. Sedangkan Pemilihan umum tahun 2004 parti Islam atau parti yang berbasis Islam memperoleh kursi yang meningkat 25 kursi dari 75 kursi yang disediakan atau 30% kursi yang diperoleh.
Pemilu 2009 juga tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar mendapat suara 925.842 suara, Demokrat: 578.470, PKS: 328.537, PAN: 293.782, Hanura: 172.929, PPP: 151.624, PDIP: 119.745, dengan tingkat pelibatan pemilih hanya 70%. Dari 5.633.977 daftar pemilih tetap (DPT), hanya 3.685.400 yang memilih. Berarti yang tidak memilih sekitar 1.948.577. (Sumber: KPU Sulawesi Selatan).
Namun jumlah kursi yang diperoleh jika dibandingkan dengan pemilih umat Islam masih belum berimbang. Kalau dilihat dari sudut keterwakilan pilitik maka dari ke 75 kursi anggota DPRD ini harus direbut oleh parti-parti Islam atau parti yang berbasis Islam sebanyak 70-72 kursi.
Data ini menunjukkan bahwa umat Islam di Sulawesi Selatan memiliki minat yang sangat kecil untuk memilih parti politik Islam. Pada sisi yang lain secara metodologi politik parti Islam sangat kurang berpengaruh terhadap pemilih umat Islam yang mayoritas di Sulawesi Selatan. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa umat Islam Sulawesi Selatan dalam menyampaikan aspirasi politik tidak harus melalui parti politik Islam atau parti yang berbasis Islam.
Dengan posisi politik yang demikian maka ikhtiar memperjuangkan penegakan syariat Islam di Sulawesi Selatan mengalami kendala secara politik baik untuk legislasi di tingkat propinsi maupun untuk meraih otonomi khusus bagi penerapan syariat Islam karena mayoritas kekuatan politik berada di tangan parti politik yang tidak setuju dengan Piagam jakarta dan perlembagaan syariat Islam yakni Golkar dan kekuatan politk lainnya yang sepaham. Di kalangan parti-parti berbasis Islam pun seperti PKB dan PAN tidak memperoleh dukungan yang signifikan, sedangkan PKS juga tidak jelas, sehingga praktis hanya PPP dan PBB yang mendukung gerakan penerapan syariat Islam di bumi sulawesi Selatan, itupun dengan perjuangan politik yang tidak gigih.
Dalam konteks Sulawesi Selatan, pola Islamisme secara garis besar terdapat setidaknya (untuk sementara) tiga pola yakni, pertama, pola para Datuk yang sukses mengislamkan raja-raja di Sulawesi Selatan; kedua, pola kedua yakni pola Kahar Muzakkar yang melakukan pemberontakan/perlawanan kepada pemerintah yang bertujuan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII); ketiga, pola Komite Penersiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang sebahagian dapat dipandang sukses dengan menggunakan pendekatan stuktural politik. Di dalam pola itu, ada varian-varian Islamisme yang tidak tunggal, Islamisme berwajah sangat jamak yang tentu memerlukan kajian yang serius untuk menunjukkan varian-varian itu, varian itu boleh dilihat dari aktivisme Wahdah Islamiyah, Hidayatullah, Parti Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kemudian halaqah-halaqah kecil yang eksis di Sulawesi Selatan seperti Salafy, Jama'ah Tabligh dan lain-lain. Selain itu, boleh dilihat dalam pendekatan struktural dengan melihat kebijakan politik pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten terkait cita-cita ideologi-politik Islam yang mengusung formalisasi syari’at Islam dalam institusi pemerintahan di Sulawesi Selatan.
Pola pertama adalah ketika awal penyebaran Islam pertama yang datang ke Luwu dibawa oleh tiga pendakwah dari Minangkabau yang berlayar dari Johor iaitu Sulaiman (Khatib Sulaiman Dato’ Patimang), Abdul Makmur (Abdul Makmur Khatib Tunggal Dato’ ri Bandang), dan Chatib Bungsu (Khatib Bungsu Dato’ri Tiro). Islam masuk ke Luwu melalui dialog yang panjang antara ketiga pendakwah itu dengan penguasa Luwu iaitu Datuk La Patiware (memerintah pada tahun 1585-1610), yang akhirnya memeluk Islam pada 15 Ramadhan 1013 Hijriayah atau 5 Februari 1603, dua tahun sebelum Islam masuk ke Gowa. Selanjutnya atas saran Datuk Patiware ketiga penyebar Islam itu pergi ke Gowa dan Bulukumba, yang akhirnya dapat menyebarkan Islam secara lebih leluasa di dua daerah itu. Sejak raja Gowa memeluk agama Islam dan Islam menjadi bagian penting dalam pemerintahan kerajaan, maka sejak itulah Islam meluas dan menjadi agama mayoritas dalam kehidupan masyarakat Sulawesi selatan. Hingga saat ini pun masyarakat Sulawesi Selatan sering diidentikkan dengan Islam, bahkan jika aceh dikenal dengan serambi Mekkah, maka orang orang Sulawesi Selatan mengidentikkan daerahnya sebagai Serambi Madinah.
Kehadiran Islam di Sulawesi Selatan merupakan titik sejarah baru yang mengubah tatanan masyarakat terutama dalam kehidupan politik kerajaan dan sistem religi. Dalam kehidupan politik Islam telah menjadi fenomena baru sebagai agama kerajaan terutama di Gowa yang berarti masuk dalam struktur kekuasaan. Pada akhirnya kemudian mengalami proses politik dengan adanya penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain di wilayah kepulauan Sulawesi Selatan. Secara politis, dakwah selanjutnya sudah berada dalam tangan penguasa (raja).
Selanjutnya adalah gerakan yang dipelopori oleh Kahar Muzakkar. Tokoh ini adalah dianggap sebagai orang yang “berjihad” memberlakukan kembali syariat Islam sebagai wujud penolakan atas pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta dan terhadap pengaruh komunis di sulawesi Selatan pada awal tahun 1951-an yang terkenal dengan gerakan Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII).
Selanjutnya adalah perjuangan atau gerakan penegakan syariat Islam KPPSI. Bagi KPPSI, bahwa demi tegaknya syariat Islam secara formal harus melalui dakwah politik dan politik dakwah diiringi tarbiah dan jihad secara konstitusional, demokratis dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk mewujudkan legitimasi (secara formal) institusionalisasi Islam dalam bentuk undang-undang Otonomi Khusus Pemberlakuan Syariat Islam di Propinsi Sulawesi Selatan sebagai rumah politik, sedang para cendekiawan, pakar, tokoh umat dan pemimpin lembaga-lembaga Islam mengisi rumah politik tersebut dengan aturan-aturan, manhaj, hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehinga perjuangan itu berjalan secara simultan dan bersinergi.
Kehadiran gerakan Islam di Sulawesi Selatan secara sosiologis hadir dalam konteks dan manifestasi yang kompleks, baik yang melekat dalam dinamika internal umat Islam, maupun dalam struktur kehidupan masyarakat Indonesia secara eksternal. Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang bersifat sosiologis yang memberikan dorongan sekaligus menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan Islam yang cenderung melakukan Islamisasi yang formalistik dalam negara dengan karakternya yang legal-formal, doktriner, dan militan. Kehadiran gerakan-gerakan Islam ideologis seperti yang diperlihatkan oleh HTI, MMI, KPPSI, dan kelompok-kelompok penegak formalisasi syariat Islam di Sulawesi Selatan tentu memunculkan tanda tanya kepada publik terkait yang mendasari kemunculan dasar gerakan mereka. Lebih jauh lagi, bahwa keberadaan Islamisme di Sulawesi Selatan secara khusus sangat terkait dengan keberadaan eksistensi dua organisasi besar Islam iaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) yang selama ini membanggakan diri sebagai arus utama Islam moderat di Indonesia dinilai sudah mengalami kebuntuan inovasi dan kreativitas dalam menyikapi perkembangan yang ada. Gagasan Islam dan Keindonesiaan yang menjadi platform keduanya seakan kehilangan daya tawarnya ketika adanya kecenderungan mengeksploitasi organisasi mereka untuk tunggangan politik. Sebaliknya, fenomena yang disebut gerakan Islamisme menyeruak saat masyarakat mengalami disorientasi. Islamisme seakan menjadi wahana baru di balik kebuntuan Muhammadiyah dan NU dalam menyuarakan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam bingkai keindonesiaan.
Ekspresi politik dan ideologi politik Islam dalam berbagai variannya seperti yang telah dijelaskan di atas akan mempengaruhi cara-cara yang digunakan oleh para aktivis politik Islam termasuk di Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, yang paling menonjol adalah apakah cita-cita politik Islam seperti itu harus diupayakan melalui instrumen-instrumen politik formal dengan menggunakan parti-parti politik, parlemen atau birokrasi sebagai ajang permainan politik. Sebaliknya, apakah tidak ada cara-cara lain juga boleh ditempuh, misalnya dengan melibatkan berbagai lembaga swadaya Masyarakat, atau organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga memungkinkan proses diversifikasi makna politik terjadi. Kalaupun harus menggunakan parti politik sebagai instrumen untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan Islam, apakah harus dibatasi pada parti-parti politik yang secara formal mempunyai asal-usul sosial dan “teologis” Islam, atau sebaliknya tetap menggunakan parti-parti yang secara formal “tidak bercirikan” Islam.
Setidaknya bahwa Islamisme di Sulawesi Selatan dengan pola pergerakannya cenderung kepada Post-islamisme, yakni sebuah gerakan yang lebih moderen. Artinya bahwa kebnayakan gerakan-gerakan yang ada cenderung lebih akomodatif dengan pemerintah. Kecuali barangkali Hizbu Tahrir yang agak lebih konsisten dengan dasar dan visi politik mereka dibandingkan dengan gerakan-gerakan ideologis lainnya di Sulawesi Selatan.
Kecenderungan pergeseran wajah dari Islamisme ke post-Islamisme ini kurang lebih dipengaruhi oleh tiga sumber pengaruh dan tantangan utama, yakni Pengaruh Sistem politik yang ada di Indonesia, munculnya kaum sekuler kritis dan geo-politik.
Pengkajian lebih mendalam terakait gerakan-gerakan Islamisme khsusnya gerakan-gerakan ideologi-politik perlu ditingkatkan. Di Indonesia, dengan terjadinya perubahan paradigma dalam sistem politik yakni dari orde baru ke reformasi, tentu akan sangat membuka ruang pelibatan politik masyarakat. Setidaknya, bahwa penkajian yang mendalam terkait Islamisme ini akan berusaha untuk menemukan pola hubungan yang sistematis antara Sistem politik dan politik Islam khususnya di Sulawesi Selatan, baik dari segi sejarah, gerakan dan perilaku politiknya. Sehingga hasilnya minimal dapat memberikan jalan keluar atas kesulitan selama ini untuk membangun sintesis yang memumngkinkan antara Islam dan negara agar tetap berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Anhar Gonggong, 2004, AbdulQahhar Mudzakkar Dari Patriot Hingga Pemberontak, Ombak. Yogyakarta.
Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modenisme, hingga Post-Modenisme, Jakarta: Paramadina.
Bernhard Platzdasch, 2009, Islamism in Indonesia; Politics in the Emerging Democracy, Singapore.
Bahtiar Effendi, 2000. Repolitisasi Islam; Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Mizan, Bandung.
Haedar Nashir, 2007, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, RMBOOKS, Jakarta.
John Calvert, 2008, Islamism: A Documentary and Reference Guide, Green Wood Press, India.
Khalifa Abdul Hakim, 1993, Islamic Ideology, Institute Of Islamic Culture, Lahore.
John L.Esposito, 1990, Islam dan Politik, Terjemahan, Bulan Bintang, Jakarta.
Masdar Hilmy , 2010, Islamism and Democracy in Indonesia; Piety and Pragmatism, Singapore.
Peter R. Demant, 2006, Islam vs Islamism: The Dilemma of The Muslim World, London.
Sartori, Giovanni. 1976 “ Parties and Party Systems; A Framework For Analysis” Cambridge University Press, New York.
Saiful Mujani, 2007. Muslim Demokrat; Islam Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Gramedia, Jakarta.
Taufik Abdullah (1987), Islam dan Masyarakat: pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987, h. 91.
Burhan Ghalioun, 2010, Islamology Comes to the Aid of Islamism, Diogenes, 257: 120 2011-06-04
William I. Robinson, 2010, Globalization and Social Movements: Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement. Contemporary Sociology: A Journal of Reviews 2010 39: 187
Peter Baehr, 2011, Marxism and Islamism: Intellectual conformity in Aron's time and our own, 11: 173 Journal of Classical Sociology,

Makalah/Penyelidikan:
Kausar Bailusi, Umat Islam dan Perpolitikan di Sulawesi Selatan (Makalah Seminar Nasional, 2008).
Ishak Rahman, Integritas Politik di Sulawesi Selatan, (Makalah hasil penelitian yang disampaikan pada seminar penelitian pada tanggal 29 Juli 2010 di Pusat Penelitian UNHAS Makassar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar