Senin, 02 Januari 2012

MEMAHAMI FENOMENA POLITIK ISLAM DI INDONESIA


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Dalam sejarah Indonesia, perbincangan tentang hubungan antara Islam dan politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru setelah Indonesia merdeka. Puncaknya ketika dikeluarnya piagam Jakarta dan perdebatan tersebut begitu terbuka ketika rapat BPUPKI. Meskipun pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuknya yang formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia yang dianggap terbaik dan cocok dalam konteks Negara kesatuan republik Indonesia.
Masalah yang kemudian selalu hangat dibicarakan menyangkut umat beragama di Indonesia yakni hubungan timbal balik antara agama dan Pancasila. Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi sistem politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila. Pengamalan pancasila sebagai ideologi Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan kewajiban konstitusional. Namun, dalam konteks ini, Pancasila harus pula dipandang sebagai bagian ajaran luhur semua agama, karena memang Pancasila itu sendiri telah mengandung nilai-nilai agama.
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, setidaknya dikenal dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an. Pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah berubah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.
Untuk memuaskan kepentingan pihak muslim, konstitusi yang berlandaskan pancasila menyediakan pembentukan kementerian urusan agama. Kementerian ini dibentuk untuk melindungi kebebasan beragama dan untuk menjaga keserasian hubungan antara komunitas agama yang berbeda namun tujuan yang utama adalah menangani urusan agama muslim, seperti urusan perkawinan dan perceraian urusan wakaf, kemesjidan dan urusan haji.Gagasan pembentukan departemen agama adalah untuk memberikan jaminan kelembagaan, terutama bagi umat Islam di Indonesia, bahwa Negara akan sunguh-sungguh memperhatikan masalah-masalah agama.
Memahami Makna Politik (Islam): Antara Formalisasi dan Substansi
Politik hadir karena adanya ketidaksepakatan dari masyarakat. Ketidaksepahaman tersebut sangat terkait dengan keinginan hidup masyarakat. Beberapa ketidaksepahaman diantara masyarakat terkait dengan Siapa yang harus mendapatkan apa?, bagaimana membagi kekuasaan dan sumberdaya lain ?, apakah masyarakat dapat didasarkan pada konflik atau kooperasi? dan lain sebagainya. Masyarakat akhirnya seringkali tidak saling bersepakat dalam banyak hal. Oleh karena itu perlu untuk ditata berbagai ketidaksepakatan tersebut agar tata kehidupan masyarakat terus dapat berlangsung.
Dalam upaya memahami berbagai dinamika masyarakat tersebut, maka lahirlah pengkajian atau ilmu pengetahuan yang berupaya untuk mempelajari, mengamati serta mencari jawaban atas fenomena-fenomena masyarakat tersebut yang kemudian disebut dengan ilmu politik.
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Secara umum juga dapat dikatakan bahwa politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.
Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari pada sekedar sebuah agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil”. Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “peradaban yang menyeluruh”. Bahkan ada pula yang mempercayainya sebagai suatu “agama dan Negara”. Apa yang ada dibalik rumusan-rumusan itu , pada dasarnya adalah pandangan umum bahwa Islam itu lebih dari sekedar sistem ritus dan atau ideologi . Lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya, Islam memberikan panduan (etis) bagi setiap aspek kehidupan.
Secara substansial politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Negara ataupun masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang berdasarkan kepada keyakinan bersama mengenai ke-Tuhanan. Bahwa dalam Islam juga tidak ada pemisahan antara spiritual dengan yang duniawi, keduanya menyatu dalam bingkai doktrinal Islam, ia menyatu karena pemahaman atas doktrin yang integratif. Dalam konteks seperti itu, wacana menjadi sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Diskursuslah yang menjadi dasarnya mempengaruhi dan membentuk pandangan orang tentang politik dan atau ideology Islam.
Secara global, Ilmu Politik Islam dapat dipahami sebagaimana Ilmu Politik pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah landasan ide yang mendasari definisi tersebut. Politik Islam tentu saja mendasarkan penggalian ide-ide politiknya bersumber pada Alquran dan As-sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wahyu Tuhan dalam Politik Islam mendapatkan posisi urgen.
Beberapa hal yang perlu dipahami bersama bahwa sampai saat ini ada tiga pendapat yang berkembang dalam lingkungan kaum muslim tentang politik. Pertama, aliran yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan serba lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Alquran tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan. Ketiga, pendapat yang mengambil jalan tengah bahwa dalam Alquran tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Mengamati berbagai persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang politik Islam, dan jika mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis, dan rasional akan menunjukkan Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan, porsi politik dalam ajaran Islam meskipun sangat kecil tapi pemaknaan dalam tataran praktis sangat besar. Seperti berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang, nilai-nilai kemanusiaan dan lain-lain.
Dalam Alquran juga tidak mengatur secara khusus terkait urusan politik, tetapi lebih kearah yang sifatnya substansi yakni isu-isu penegakan keadilan, kebajikan, kemiskinan, pendidikan, dan lain-lain. Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditetapkan.
Rasulullah sendiri belum pernah menentukan sistem politik dan kekuasaan tertentu melalui sunah dan kebijaksanaannya. Tetapi beliau hanya memberikan contoh yang baik sebagai pemimpin disaat pemerintahan madinah. Hal ini yang semestinya harus kita sadari bersama agar politik tidak menjadi “panglima” gerakan Islam yang mempunyai keterkaitan dengan sebuah institusi yang bernama kekuasaan. Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun sebuah bangsa, bukan mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, persoalan formalisasi ideologi Islam dalam kehidupan bernegara tidak menjadi kebutuhan utama dalam bernegara. Bagi Nurcholish Madjid, yang terpenting bagi umat Islam adalah bahwa keharusan untuk lebih terbuka (open minded), yakni kesediaan untuk menerima pikiran-pikiran, tanpa mempedulikan dari mana sumbernya, asal hal tersebut berbicara tentang kebenaran.
Justru penampilan nonformal agama dalam kehidupan bernegara harus terwujud tanpa formalisasi dirinya. Dengan demikian, agama Islam menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara. Inti pandangan seperti itu terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan daripada membuat dirinya menjadi wahana bagi formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara.
Perdebatan diatas terjadi pada wilayah isu dan simbol. Kalangan Islam politik meyakini bahwa harus diwujudkan secara simbolik dalam politik, sedangkan kalangan Islam substantif menentang kehadiran partai Islam dan simbolisasi syari’at oleh Negara. Kalangan Islam substantif atau liberal (kebanyakan kalangan muda yang bergabung dalam JIL) menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syariat akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit. Sebaliknya, kalangan yang memperjuangkan syariat (formalisasi/simbolisasi) berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apapun. Oleh kalangan ini, mereka yang menghendaki pemisahan tersebut termasuk sekuler.
Merujuk uraian di atas, diperlukan ekstra kehatian-hatian untuk membangun pandangan yang bersahabat antara Islam dan kehidupan politik. Ini menunjukkan bahwa dalam memandang sesuatu persoalan, Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, bukan politis. Kalau saja dimengerti dengan baik, hal itu akan menjadi jelas mengapa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur atau dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih mengutamakan kitab suci tersebut, daripada masalah bentuk negara.
Jika hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentu salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antar sesama umat, khususnya umat Islam, dapat dihindari. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal itulah yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.
Di Indonesia, umat Islam telah bekerja untuk membangun Negara yang dapat menegakkan keadilan dan menjamin hak-hak setiap individu dalam kehidupan sosial, politik dan negara. Ajaran agama, terutama Islam, menentang keras praktik bernegara yang sewenang-wenang, praktik yang menyimpang, dan perilaku aktor negara yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial bangsa. Oleh karena itu, gerakan politik Islam akan lebih baik jika beroerientasi kepada persoalan-persoalan yang lebih spesifik tentang bagaimana memfungsikan nilai-nilai Islam untuk mengatasi persoalan keumatan yang kongkret, seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan social. Artinya bahwa saat sekarang ini politik islam haruslah mengedepankan pendekatan “kontekstual” ketimbang menerapkan pendekatan “tekstual”. Jangan lagi ada partai yang memperjuangkan Negara agama. Akan tetapi yang dikedepankan adalah agama difungsikan sebagai sumber inspirasi dan aspirasi. Hal ini kemudian penting didiskusikan karena merujuk pada tipologi yang sering digunakan banyak pengamat dalam melihat perbedaan pandangan tentang pro-kontra kaitan formal Islam dengan negara, karena sebetulnya akar persoalannya bukan sekedar terletak dalam konteks logika bernegara, tetapi juga pada bagaimana perspektif yang dibangun umat Islam dalam memandang agamanya.
Partai Islam Sebagai Indikator Politik Islam di Indonesia
Dengan semangat reformasi dan euforia politik telah memunculkan partai-partai baru. Partai pun muncul dengan berbagai atribut ideologinya. Ada yang terang-terangan menyatakan diri sebagai partai politik Islam - dengan Islam sebagai azas maupun hanya mengambil lambang-lambang Islam sebagai pengikat di antara mereka - atau yang tegas-tegas menyatakan diri bukan parpol Islam walupun para aktivisnya dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam.
Ada beberapa factor yang menyebabkan bangkitnya kembali partai-partai Islam. Pertama, faktor teologis yang melahirkan doktrin bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik. Dengan demikian, mendirikan partai politik marupakan bagian dari perintah agama. Kedua, faktor sosiologis di mana mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. Dengan demikian, berdirinya partai politik Islam merupakan bagian dari saluran dan aspirasi umat Islam. Ketiga, faktor historis di mana dalam sejarah perjuangan pergerakan, partai politik Islam telah memberikan andil yang sangat besar dan selalu ada (omnipresent) dalam setiap perjuangan bangsa. Keempat, faktor reformasi yang melahirkan kebebasan dan demokratisasi di mana setiap golongan dan aliran diberi kesempatan untuk mendirikan partai politik.
Dalam perjalanan sejarah politik Indonesia, partai-partai Islam mengalami pasang surut. Diantaranya dapat dilihat pada masa orde lama, dimana sukarno menghilangkan keberadaan masyumi dalam peta politik Indonesia. Demikian pula pada masa orde baru, dimana orde baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian pada tahun 1973. Restrukturisasi ini memaksa setiap partai untuk berfusi menjadi satu, baik itu partai Islam maupun partai nasionalis. Sehingga, setelah peraturan itu partai-partai di Indonesia termasuk partai Islam harus beasaskan Pancasila, maka mulai saat itu tidak ada lagi partai Islam yang resmi membawakan suara Islam. Aspirasi umat Islam sekarang berada dalam berbagai kelompok politik dan sosial. Sebelumnya partai Islam sering dianggap mawakili umat Islam sehingga aspirasi umat sering diidentikan dengan aspirasi partai tersebut, meskipun sebenarnya tidak demikian, karena hanya sebagian orang Islam yang masuk partai yang berasaskan Islam tersebut.
Pasca orde baru berkuasa, banyak partai- partai Islam mulai bermunculan. Fenomena munculnya partai Islam ini mengandung spekulasi. Ada yang melihat sebagai “masuknya kembali Islam dalam dunia politik.” Ada pula yang secara serta merta menyuarakan alarmism. OlivIer Roy menyebut hal ini sebagai “imajinasi politik” (dalam pengertian cakrawala pemikiran) komunitas agama, akan ketidakterpisahan antara wilayah agama, hukum, ekonomi dan politik. Hal ini sebagai imbas dari adanya persepsi tentang “ketidaksesuaian” antara agama dan demokrasi.
Yang jelas maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberikan lebel (re) politisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol Islam dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Sudah sewajarnya kemunculan partai Islam itu dianggap sebagai repolitisasi Islam, karena sudah 32 tahun partai Islam mengalami kekangan orde baru, kembalinya kekuatan politik Islam ini mewaranai percaturan politik Indonesia pasca orde baru dan prospek politik Islam kembali.
Pada sisi yang lain, partai politik mempunyai peranan terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indikator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia. Meskipun demikian, kalau menilik indicator-indikator yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan symbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang demikian itu, di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk “mempolitikkan” bagian-bagian yang menjadi dasar ideologi partai-partai tersebut.
Dengan Kemunculan kembali partai Islam dapat dijadikan sebagai indikator munculnya kembalinya politik Islam. Romantika politik Islam pada majelis konstituante di masa lalu mengingatkan kembali para aktivis politik Islam untuk mengangkat isu Islam politik. Sekarang, pertarungan tidak hanya pada tatanan konsititusi, tetapi sudah masuk pada tatanan ideologi partai-partai Islam. Walaupun Pancasila tetap menjadi landasan negara, bukan berarti partai juga berasaskan Pancasila tapi berasaskan Islam.
Kemudian yang menjadi pertanyaan pada konteks sekarang adalah benarkah partai-partai Islam itu dapat menampung aspirasi umat Islam dan apakah aspirasi umat itu identik dengan aspirasi partai.
Jika pada masa lalu partai Islam dianggap sebagai aspirasi umat Islam, karena para pemimpin dan aktivis politik Islam awal bergantung pada dua ciri utama. Pertama, politik non integratif atau partisan, dimana politik partisipan berkaitan secara langsung dengan pengelompokan politik Islam sebagai kekuatan politik seperti partai yang dimonopoli oleh partai-partai Islam. Kedua, parlemen sebagai lapangan bermain dan arena perjuangan. Para kelompok Islam mencanangkan tujuan-tujuan sosial politisnya yang pada hakikatnya bercorakan non integratif atau partisan. Diantaranya adalah penegasan Islam sebagai ideologi Negara dan mendesak dilegalisasikanya piagam Jakarta.
Sedangkan Islam pada masa orde baru lebih bersifat cultural dari pada politis. Pada kenyataanya Islam di Indonesia tetap ada watak politisnya. Format atau rumusan Islam politik tersebut mencakup. Pertama, landasan teologis dan filosofis Islam politik. Kedua, tujuan-tujuan politik Islam. Ketiga, pendekatan politik Islam yang sedang berubah dari politik formalitas-legalisme kepada subtansialisme, atau dari politik eksklusivisme kepada inklusivisme.
Perubahan pola politik Islam dari politik formalitas kepada politik subtansialisme tersebut berimplikasi pada perkembangan politik Islam pada masa berikutnya. Sehingga politik subtansialisme mulai mengakar dalam kultur politik Indonesia, walaupun bermunculan partai Islam yang memperjuangkan politik formalitas. Tatap saja perjuangan Islam sebagai ideologi Negara akan semakin sulit terealisasi. Karena ideologi Pancasila yang bersifat sekuler sudah mengakar dalam sistem politik di Indonesia.
Pada konteks sekarang sangat sulit mengatakan bahwa partai Islam itu sebagai wadah aspirasi umat Islam, karena partai Islam sudah terfragmentasi. Kecendurungan sekarang lebih kepada kepentingan individu dari para politisi Islam, bukan kepentingan umat. Sehingga dapat dikatakan pola gerakan partai Islam bergerak kearah pragmatis.
Para tokoh politik (tak terkecuali politikus Islam), sama-sama berusaha menggunakan lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan memperoleh kekuasaan, kadang kala dengan cara sinis tetapi pada umumnya melalui proses rasional. Ketika seseorang mulai menyadari bahwa mereka merupakan anggota dari kelompok-kelompok politik yang diwarnai identitas keagamaan, maka individu itu akan beranggapan bahwa kepentingan-kepentingan pribadi mereka berkaitan erat dengan kesejahteraan (umat) beragama mereka. Kondisi seperti itulah yang terjadi pada elite-elite politik Islam pada masa sekarang di Indonesia.
Keberadaan partai-partai politik pun akhirnya menimbulkan dilemma baru bagi kaum muslimin. Di satu sisi keberadaannya dianggap sebagai suatu representasi umat Islam tetapi di sisi lain bisa memecah belah umat Islam. Bahkan, sebagaimana dingkapkan Kuntowijoyo, ada enam alasan bagi kaum muslimin agar tidak mendirikan parpol, salah satunya adalah karena dengan adanya parpol akan membuat disintegrasi umat, karena masing-masing partai akan menonjolkan perbedaan (ciri khas) daripada persamaan. Oleh karena itu, tentunya diperlukan kewaspadaan dan kontrol akan kejujuran parpol-parpol dalam memperjuangkan kemaslahatan umat.
Melihat argument di atas, maka hal penting yang harus dilakukan umat Islam adalah menentukan terlebih dahulu esensi parpol Islam yang sebenarnya. Parpol Islam bukanlah partai dengan sekumpulan orang-orang Islam, tetapi lebih dari itu ia merupakan manifestasi kewajiban syariat Islam, hendak menegakkan kalimat Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa esensi dari partai politik Islam adalah sekumpulan kaum muslimin yang bersatu dalam sebuah jamaah yang khusus dan memiliki ikatan yang sama, yaitu akidah Islamiyah dan ikatan tsaqafah Islamiyah dengan tugas utama mengajak manusia kepada Islam dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dan terakhir yang terpenting adalah bahwa umat harus disadarkan kembali pemahaman politiknya sehingga menjadi muslim yang sadar dalam melakukan pilihan-pilihannya. Umat Islam sebagai pemilih terbesar di Indonesia harus selalu merenungi dan menyadari firman Allah Ta’ala: “Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra:17:36).
Hal ini penting untuk diketahui, karena saat ini yang dibutuhkan oleh umat adalah kesadaran politik (al wa’yu siyasy) yang benar sehingga tidak mudah terpesona, tertipu, dan terjebak oleh sebuah partai tanpa mengetahui esensi, visi dan misi serta program kerja partai itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam aktivitas politik Islam di Indonesia banyak orang partai politik yang hanya mengejar kedudukan dan imbalan materi kekuasaan. Mereka ini digolongkan sebagai hubbul jah (Ar. Hub al-jah), atau (mereka yang) bernafsu mengejar status. Bagi para hubbul jah, kemajuan pribadi lebih diutamakan dari pada cita-cita keagamaan dan kepentingan masyarakat. Obsesi untuk meraih jabatan yang lebih tinggi telah merasuki para anggota parpol.
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia
Islam adalah agama monoteistik yang disebarkan oleh nabi Muhammad SAW, Alquran dan Sunah merupakan sumber atau pedoman bagi umat untuk melakukan hubungan-hubungan sosial dan politik. Sehingga, umat Islam (juga non Islam) pada umumnya mempercayai watak holistik Islam sebagai instrument ilahiah untuk memahami dunia. Islam seringkali dipandang lebih dari sekedar agama, untuk itu pandangan tersebut menyatakan bahwa Islam tidak mengakui tembok pemisah antara yang spiritual dan yang temporal, melainkan mengatur semua aspek kehidupan. Bagi Hassan Hanafi, bahwa term “Islam” yang umum harus dimaknai sebagai “sebuah agama tertentu’. Menurutnya, term ini sebaiknya diganti dengan term ‘pembebasan” (taharrur) sebagaimana disimbolkan dalam syahadat. Menurutnya lagi, ‘Islam’ berarti pembebasan kesadaran manusia dari kekuatan-kekuatan tiran. ‘Islam’ memang juga bermakna “penyerahan”, tetapi makna tersebut telah dimanipulasi oleh kaum elit menjadi “penyerahan” kepada penguasa sebagai implementasi dari penyerahan kepada Tuhan. Karena itu, Hanafi lebih menekankan pada makna lain dari kata “Islam”, yakni “protes, oposisi, dan revolusi”.
Sedangkan negara memiliki kekuatan untuk memaksa dan negara merupakan entitas yang otonom seperti lembaga-lembaga dan institusi. Bagi Thomas Hobbes, negara berhak melakukan kekuasaan secara absolut kepada rakyat karena negara pada dasarnya sudah ada kontrak dengan masyarakatnya ketika diberikan kewenangan untuk berkauasa oleh rakyat. Kekuasaan itu harus mutlak bagi penguasa. Bisa dikatakan bahwa negara adalah sesuatu yang jauh, bahkan asing, kumpulan manusia paling jauh yang dapat dengan mudah berubah menjadi hubungan permusuhan. Maksudnya negara dapat menggunakan kekuatan memaksa untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu, dan tidak tertutup kemungkinan Negara dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi.
Permasalahan sekarang ialah bagaimana kita bisa memberikan titik temu hubungan yang sesuai antara Islam dan Negara di Indonesia.
Pertama memang diakui bahwa jauh sebelum negara ini terbentuk dan merdeka, Islam sudah hadir sebagai faktor yang sangat dominan dalam kehidupan politik, dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Islam. Jadi, jauh sebelum Indonesia ada, sudah ada kekuatan Islam dalam bentuk kerajaan dan kesultanan yang sudah menerapkan syariat Islam sebagai hukum negara dalam beberapa hal, misalnya masalah perkawinan, warisan dan sebagainya.
Tetapi setelah kemerdekaan, terutama pada masa-masa pembentukan dasar-dasar Negara, Islam malah bukan menjadi faktor dominan dalam politik. Buktinya Piagam Jakarta yang merupakan solusi politik Islam mengalami kekalahan dari kaum nasionalis yang mengusung Pancasila. Sehingga pada akhirnya perjuangan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia tidak terealisasi.
Periode berikutnya, upaya untuk menemukan hubungan politik yang sesuai antara Islam dan negara terus berlanjut, walaupun dalam intensitas yang sedang. Disisi lain kedigdayaan Pancasila sebagai ideologi Negara terus berlanjut, dan kadang kadang Pancasila ditafsirkan sebagai “Negara Islam” karena mengandung sila KeTuhanan yang Maha Esa. Pada kenyatanya tidak demikian, karena Pancasila lebih cendrung bersifat sekuler (sekuler abu-abu). Karena Pancasila tidak memaksakan ajaran tertentu atau pemahaman tertentu tentang syariah atau sistem agama lain. Maka Pancasila layak disebut sekuler
Pada dasarnya Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Karena, tingkah laku politik seseorang dipengaruhi oleh agama. Tetapi Islam bisa dipisahkan dalam arti negara harus besikap netral terhadap agama. Dimana negara tidak memusuhi atau mendukung suatu agama tertentu. Konsep seperti itulah yang seharusnya diterapkan di Indonesia, jika memang Indonesia memilih pilihan sekuler.
Proses penciptaan suatu sistem politik Islam yang baik akan berkorelasi dengan sikap amanah para pemimpin. Dalam nomokrasi Islam, kekuasaan adalah amanah, karena ia amanah, ia menjadi kewajiban untuk ditunaikan oleh mereka yang mendapat amanah, mereka harus menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, dalam nomokrasi Islam tidak dibenarkan penyalahgunaan kekuasaan. Apabila prinsip-prinsip nomokrasi Islam dapat direalisasikan oleh para penguasa dan mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat, maka usaha untuk menciptakan suatu tata politik yang Islami akan dapat dilakukan. Menurut Azhari kekuasaan berkaitan erat dengan keadilan, maka implementasi kekuasaan negara adalah suatu perintah Allah. Apabila kekuasaan itu dihubungkan dengan keadilan, maka dalam nomokrasi Islam implementasi kekuasaan Negara melalui suatu pemerintahan yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa.
Indonesia adalah bangsa yang plural, beragam etnis, budaya dan agama. Suasana ini mirip dengan masyarakat plural Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Sila keempat dari Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Berdasarkan inilah maka kedaulatan rakyat diatur secara demokratis, dalam mekanisme permusyawaratan dan perwakilan. Maka dengan demikian bahwa kedaulatan rakyat bukanlah kedaulatan secara mutlak, bebas dan kebablasan, melainkan kedaulatan yang terkendali berdasarkan falsafah hidup bangsa, dan bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan universal, menurut agama, adat dan tradisi bangsa ini. Hal ini yang harus dicermati oleh segenap masyarakat Indonesia.
Kalau dicermati lebih mendalam makna sila keempat tersebut diatas, akan sangat terasa nilai syariah di dalamnya, yaitu musyawarah yang dicontohkan oleh Nabi dan sahabatnya. Kini musyawarah justru terlaksana di negeri Pancasila ini dengan sistem yang khas Indonesia. Kedaulatan Tuhan yang diajarkan oleh semua agama, tidaklah diingkari, justru terlaksana dengan baik melalui musyawarah (demokrasi) itu. Khususnya, demokrasi ala Indonesia tidaklah menempatkan manusia di atas segalanya, tetapi pada posisi keharusan mematuhi nilai (hikmat) kebijaksanaan yang terambil dari budaya bangsa yang religius.
Kalau diperhatikan lebih jauh terkait mekanisme demokrasi dalam bentuk pemilihan langsung yang dipraktikkan di berbagai negara modern dewasa ini, termasuk di Indonesia, dapat dianalogikan dengan tradisi baiat di kalangan masyarakat luas setiap terpilihnya Khalifah di zaman permulaan Islam. Terpilihnya Abu Bakar ra menjadi Khalifah pertama pasca Rasulullah dan berlanjut pada setiap pengangkatan Khalifah selanjutnya merupakan tradisi awal dari mekanisme baiat ini. Pemaknaan baiat sebagai pengakuan orang banyak atas kepemimpinan seseorang menjadi landasan legitimasi bagi seorang Khalifah, sama halnya dengan tradisi demokrasi modern yang mana rakyat secara langsung memberi legitimasi seorang pemimpin dengan mekanisme pemilihan langsung.
Kalau dikaji lebih mendalam sebenarnya baiat itu jelas-jelas merupakan kontrak sosial politik yang terjadi atas kehendak masyarakat, tapi siatem ini (baiat) sudah dianggap bernilai syariah sebagai salah satu landasan politik. Hal ini bisa dibandingkan dengan pandangan penganjur demokrasi moderen yang menyerukan perlunya demokrasi dengan slogan: vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sepintas kedua istilah ini memang berbeda, tetapi sama-sama mengandung makna bahwa demokrasi (musyawarah) adalah penerapan hikmat kedaulatan dan kebijakan universal Tuhan, untuk kemaslahatan masyarakat manusia di muka bumi. Ini juga yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes sebagai commonwealt atau civitas. Lebih lanjut, Hobbes mengatakan bahwa untuk memilih penguasa cukup dengan cara suara terbanyak, tidak perlu harus dengan suara bulat. Artinya bahwa demokrasi yang mengusung kedaulatan dengan suara terbanyak sebenarnya tidak masalah sepanjang demi kemaslahatan orang banyak.
Adalah sesuatu yang keliru ketika Demokrasi yang diartikan sebagai kedaulatan rakyat diperhadapkan dengan kedaulatan Tuhan, sebab rakyat atau manusia ini ciptaan Tuhan juga. Seyogyanya, kedaulatan manusia harus ditempatkan pada sebuah pemaknaan bahwa hak kedaulatan ini merupakan anugerah Tuhan kepada manusia yang harus dijaga sebagai amanah. Karena ini adalah anugrah Tuhan, maka olehnya itu Tuhan memberikan kepada manusia hidayah, kecerdasan akal dan segala potensi untuk dimanfaatkan sebaikmungkin. Oleh karena itu, pemaknaan tentang kedudukan manusia sebagai Khalifah Tuhan, dapat diartikan sebagai kedaulatan Tuhan yang terlaksana dan membumi yang selanjutnya diselenggarakan dalam bentuk kedaulatan manusia yang menyejarah dan membudaya pada ruang dan waktu dalam sebuah negara.
Kesimpulan
Pemikiran politik Islam pada dasarnya terpenjara pada tiga mazhab besar. Hampir-hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari bayang-bayang pemikiran bahwa Pertama, Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan. Kedua, Islam dan politik itu bisa dipisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik.
Di kalangan pemikir Islam ada tiga pandangan tentang hubungan agama dan Negara dalam dunia Islam, yaitu integrated, simbiotik, dan sekularistik. Ketiga pandangan tersebut mewarnai pula pandangan umat Islam Indonesia tentang hubungan agama dan Negara. Di Indonesia, secara garis besar, yang kemudian menjadi benturan adalah pandangan integrated dan sekularistik. Sedangkan pandangan yang simbiotik, kemudian lebih dekat ke pandangan sekularistik dengan menggunakan pendekatan Islam kultural.
Bahwa sekularisasi politik, pemisahan antara wilayah agama dan wilayah politik, atau pemisahan antara agama dan Negara, yang menjadi bagian esensial dari demokrasi modern, bukan merupakan karakteristik masyarakat muslim. Karena itu, Islam tidak mendukung sekularisasi politik dan demokrasi. Meski demikian, bahwa cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik.

DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi kemaslahatan Umat dalam rambu-Rambu Syariah, Kencana, Jakarta, 2000.
Abd. Muin Salim, “Fifq Siyasah; Konsespsi kekuasaan Politik dalam Islam, RajaGrafindo, Jakarta, 2002.
Andrew Heywood, Key Concepts in Politics, Palgrave Foundations, New York, 2002.
Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, PT Gramedia, Jakarta, 2002.
Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Yayasan Padi dan Kapas, 1991.
Bahtiar Effendy, Re-Politisasi Islam; Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Mizan, Bandung, 2000.
Budiarjo, Mirriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1991.
David Marsh dan Gerry Stoker, “ Theory and Methods in Political Science” (1995).
Eggi Sudjana, Islam Fungsional, RadjaGrafindo, Jakarta, 2008.
Fidaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan pengaruhnya terhadap Dunia ke-3, Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1963, LKiS, Yogyakarta, 1998.
Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan & Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta, 2004.
Lili Romli, Islam Yes-Partai Islam Yes; Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Muh. Tahir Azhari, Negara Hukum; Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara, Gaya Media Pratama Jakarta 2005
Nanang Tahqiq (ed.), Politik Islam, Kencana, Jakarta, 2004
Inul Kecana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan. PT. Refika Aditama. Bandung, 2007.
Hamka Haq, Islam Rahmah untuk Bangsa, RMBOOKS, Jakarta, 2009
Ramlan Surbakti (2010), Memahami Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta.
Sukron Kamil, Islam & Demokrasi; Telaah konseptual & Historis, Media Pratama, Jakarta, 2002.
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Yusuf Al-Qardhawi, Pedoman Bernegara dalam perspektif Islam, Peustaka al-kautsar, Jakarta, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar