Minggu, 01 Januari 2012

DEMOKRASI DI AMMATOA


Oleh: Syahrir Karim

Ammatoa:...“Punna kasi-asi anne parasanganga
Naminang karioloa kasi-asi panggulunna , Ammatoa"

“Mingka punna kalumannyangi anne parasanganga
Nakaminang ribokoa kalumannyang panggulunna, Ammatoa...”

Artinya:
Andaikan dunia ini ditakdirkan untuk hidup miskin, maka yang pertama-tama mengalaminya adalah pemimpinnya,Ammatoa.
Kalau seandainya Tuhan berkehendak menciptakan bumi ini sejahtera atau kaya maka yang paling terakhir merasakan itu adalah pemimpinnya, yaitu Ammatoa.
Pengantar
Berbicara tentang masyarakat adat, tentu ada 1 (satu) tema penting yang harus diketahui yakni sebenarnya siapa yang dimaksud dengan masyarakat atau kumunitas itu sendiri. Yando Zakaria (2003) menegaskan bahwa masyarakat adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak untuk menempati (memiliki) wilayah tertentu, memiliki dan menerapkan aturan tertentu, memiliki dan memakai sistem organisasi yang ada (tata pemerintahan/self governing community), serta bercirikan pola komunikasi face to face antar anggotanya. Masyarakat adat inipun diakui keberadaannya baik secara nasional yang tertuang dalam UUD 1995 maupun internasional yang tertuang dalam konvensi Internasional tentang Draf deklarasi masyarakat adat (1993) dan konvensi Internasional Labour Organization (ILO) 169 tahun 1998 menyangkut bangsa pri-bumi dan masyarakat adat di Negara merdeka.
Konvensi ILO 169 dan UUD 1945 secara prinsip telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Tapi beberapa tahun terakhir pemerintah tidak konsisten menerapkannya. Hal tersebut ditandai dengan beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Melalui kebijakan yang jauh dari asas keadilan, pemerintah telah mengaburkan hak-asal usul, hak atas wilayah adat, sampai pada peminggiran kebudayaan mereka yang khas. Contoh kongrit dari kebijakan pemerintah tersebut adalah produk Undang-Undang No. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Dalam Undang-Undang ini, praktis wilayah adat dibangun atas dasar kesatuan genelogis, lalu diganti dengan pembentukan desa secara administratif. Akibatnya adalah norma-norma sosial tradisional serta lembaga-lembaga adat secara formal semakin tersisih oleh aturan-aturan hukum dan lembaga pemerintahan yang baru. Meskipun harus diakui juga bahwa baik norma-norma maupun lembaga-lembaga tradisional itu dalam banyak hal sebenarnya masih dibutuhkan, baik dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial maupun dalam upaya menjamin keserasian hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Profil Masyarakat Adat Ammatoa Kajang
Komunitas adat Ammatoa Kajang merupakan sekelompok masyarakat yang masih memegang kokoh tradisinya. Sikap mereka yang hidup dengan mengisolir diri merupakan bagian dari bentuk mempertahankan identitasnya. Identitas yang masih bertahan sampai sekarang ini merupakan warisan nenek moyang mereka dan terkesan menolak segala sesuatu yang masih berbau asing bagi mereka. Hal ini merupakan keharusan dalam komunitasnya demi menjaga tradisi dan identitas dari pengaruh luar. Kepercayaan dan tradisi nenek moyang dianggap sebagai suatu hal yang sempurna dalam kehidupan mereka.
Untuk mengenali komunitas adat Ammatoa sangatlah muda, karena komunitas ini menampakkan ciri khas tersendiri yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Bukan hanya atribut yang mereka kenakan seperti sarung, daster dan penutup kepala yang semuanya serba hitam, menjadikan kuda sebagai alat transportasi utama, tetapi juga komunitas ini bisa dikenali dengan cara hubungan sosial mereka, tata cara pelestarian lingkungan serta sistem keprcayaan mereka yang unik.
Konsep Pemikiran dan Ajaran
Pada dasarnya Komunitas Adat Ammatoa Kajang dengan tegas mengklaim diri sebagai pemeluk agama Islam yang patuh. Namun mereka mengakui bahwa keberislaman mereka memang berbeda dengan pemeluk agama islam pada umumnya. Misalnya mereka tidak menjalankan rukun Islam secara konsisten. Kalau para pemeluk Islam pada umumnya menganggap rukun Islam sebagai sesuatu yang sangat fundamental, mereka justru memiliki konsep lain, “je’ne tamattappu sambayang tellara”, (wudhu yang tidak pernah batal dan sembayang yang tidak pernah putus). Dari konsep ini, mereka tidak terlalu menganggap penting rukun Islam tersebut, tapi justru yang menganggap paling penting adalah sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari, seperti kalambusang (kejujuran), sabbara (kesabaran), appisona (keikhlasan). Hal ini tercermin dalam pasang:
Pakabajiki ateka’nu
Iyamintu agama
Nayantu sambayanga
Jama-jamanji (gau’ji)
Pakabajiki gau’nu
Sara-sara makana’nu
Nanuliliyang labatabaya

Artinya
“Perbaikilah hatimu, karena itulah agama. Adapun sembayang itu hanyalah pekerjaan saja. Perbaikilah tindak-tandukmu, sopan santun dan kata-katamu, agar jauh dari segala cela”.
Selanjutnya, bila diformulasikan secara struktural inti atau pokok ajaran komunitas Ammatoa, maka dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Percaya kepada Tau Rie A’ra’na, (2) Percaya kepada Pasang, (3) Percaya kepada Allo riboko, dan (4) percaya kepada nasib.
Dalam komunitas adat Ammatoa Kajang terdapat juga suatu pola pikir dan sikap bahwa dalam menghadapi hidup ini harus berorientasi pada kepasrahan dan menerima nasib apa adanya. Prinsip kamase-masea dengan mengutamakan kehidupan “yang miskin” di dunia agar memperoleh imbalan ‘kekayaan’ dari tuhan di hari kemudian merupakan prinsip hidup yang masih dipegang kokoh. Prinsip kamase-masea merupakan sebuah konsep yang mengandung arti yang sangat luhur, seperti lambusu’, gattang, sa’bara, appisona (jujur), tegas, sabar dan betul -betul pasrah kepada nasib.
Kamase-masea merupakan suatu manifestasi dari ajaran pasang ri Kajang. Hal ini ditegaskan dalam pasang;
“Dodongi kamase-mase
Hujui rikalenna anre’
Nakulle kaite-ite anre’
Nakulle kalumpa-lumpa Anre’ nakulle katoli-toli
Kasugihanga anre’ nakulle antama ri butta kamase-mase”

Artinya:
Meski kita bersusuh-susah dalam kesederhanaan, tetap berpegang pada prinsip sendiri. Tidak boleh sembarang melihat. Tidak boleh sembarang melompat. Tidak boleh sembarang mendengar. Kekayaan tidak pernah masuk di kawasan adat kamase-mase.
Salah satu bentuk akan ketaatan mereka terhadap adat adalah taatnya mereka mempertahankan ajaran pasang (pesan) yang sering disebut dengan istilah pasang ri Kajang.
Pasang ri Kajang merupakan suatu ajaran yang berbentuk pesan-pesan yang dianggap sebagai pesan suci yang berasal dari Turie A’ra’na (Tuhan) yang diturunkan kepada manusia pertama (Ammatoa) yang terus disampaikan dari generasi ke generasi secara terus menerus. Ajaran pasang dianggap sebagai pedoman utama dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Di dalamnya mengandung ajaran yang luhur dan sangat luas mulai ajaran tentang hubungan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, hubungan anggota masyarakat dengan pemerintah, hukum-hukum atau aturan-aturan masyarakat, dan segala aspek kehidupan manusia di dunia ini.
Pelapisan Sosial.
Di wilayah kawasan adat juga terdapat pelapisan sosial seperti halnya pada kalangan masyarakat Bugis – Makassar. Lapisan atas di sebut Pattala Karaeng yakni turunan calon pemerintahan. Adapula Pattala Gallarang yakni turunan para kepala-kepala kelompok. Ada pula lapisan kedua yakni “Tau Samara”, artinya orang kebanyakan, dan lapisan ketiga, lapisan bawah yakni ‘urang-urang’ atau budak. Sekarang lapisan ini sebenarnya sudah dihapus pada tahun 1923. Namun mereka masih merasa ada ikatan moral dengan tuannya. Di desa Tana Towa sendiri untuk pelapisan sosial ini terbagi atas 2 (dua) kelompok. Kelompok tau kuasayya dan kelompok tu kamase-masea. Kedua kelompok ini memberi pengaruh pada keadaan penduduk terhadap sektor-sektor kemasyarakatan seperti dalam pendidikan, mata pencaharian kesehatan, agama dan kesejahteraan. Untuk semua sektor kemasyarakatn tersebut, kelompok tau kuasayya yang lebih moderat dan telah melonggarkan sistem nilai pasang. Kelompok ini terlihat lebih menonjol dibanding tau kamase-masea yang masih ketat memgang ajaran nenek moyangnya. Bagi kelompok tau kusayya, pekerjaan untuk mencari nafkah lebih bervariasi. Selain bercocok tanam, diantaranya ada yang memilih profesi guru, pegawai negeri, pedagang, atau menjadi buruh musiman yang sampai ke makassar.
Mengenai pelapisan sosial bagi suku Bugis-Makassar sendiri sudah dikenal sejak lama. H. J. Friedericy menyimpulkan dengan berpedoman pada buku kesusastraan La Galigo, bahwa pada mulanya masyarakat bugis-Makassar hanya mengenal dua lapisan sosial, yaitu; (1) anakarung (bangsawan); dan (2) tu maradeka (orang biasa). Kemudian dalam perkembangan berikutnya muncul lapisan ketiga yang disebut ata (budak/sahaya). Munculnya lapisan ketiga ini disebabkan oleh sesuatu sebab, misalnya tertangkap dalam peperangan atau tidak dapat membayar hutang serta melanggar adat istiadat. Golongan ketiga ini sejak abad XX M., mulai hilang karena pengaruh agama dan larangan pemerintah kolonial Belanda.
Bagi masyarakat Tana Towa sendiri pada dasarnya tidak mengenal adanya pelapisan sosial, yang didasarkan pada keturunan. Hal ini dapat diketahui dan sikap perilaku masyarakat dalam kehidupan mereka. Seorang yang termasuk keturunan ‘puto’, tetapi kerena sesuatu perbuatan tercelah, mereka turun derajatnya sebagai ata atau hamba. Sebaliknya seorang yang keturunan orang biasa, tetapi mempunyai keahlian, maka mereka itu dihormati dan dihargaibahkan disapa dengan panggilan Puto’ atau Jaja’. Persoalan ini sebenarnya jelas rujukannya dalam ajaran Pasang ri Kajang.
Selain beberapa norma yang berlaku dalam masyarakat adat Ammatoa, dikenal pula lembaga adat yang berfungsi sebagai pengatur sekaligus sebagai pengawas tingkah laku warga masyarakat berdasarkan norma-norma tersebut. Dan akibat tradisi modernitas juga ikut membawa banyak perubahan yang turut mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang, termasuk adanya sistem pemerintahan baru yang menuntut system birokrasi modern.
Bagi masyarakat adat Ammatoa, keberadaan aturan-aturan atau seperangkat norma tersebut merupakan suatu hal yang mutlak dan sudah menjadi harga mati. Bagi yang melanggar aturan tersebut dipercaya akan terkena sangsi. Sangsi tersebut, selain sangsi adat juga dipercaya akan terkena juga sangsi dari alam.
Struktur Kekuasaan Tradisional Desa Tana Towa
Secara tradisional masyarakat desa Tana Towa telah mengenal lembaga sosial desa yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Ammatoa yang dibantu dengan beberapa orang dalam mengurusi pemerintahannya yang disebut dengan Ada’ limayya karaeng tallu.
Ada’ Limayya Karaeng Tallu ini berperan mengatur keselarasan hubungan antara anggota masyarakat dan antara manusia dengan lingkungannya. Lembaga adat ini sampai sekarang masih mempunyai kekuasaan untuk menentukan dan memberikan sangsi kepada masyarakatnya yang melanggar aturan adat meskipun diakui bahwa wewenang dan kekuasaan yang diemban oleh adat telah mulai berkurang dibanding dengan kepemimpinan Ammatoa sebelumnya.
Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat tersebut tentu punya andil yang besar dalam mengurusi masyarakatnya. Ammatoa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Adat di wilayah kamase-masea dalam menunaikan tugas yang diamanahkan oleh Tau Rie’a A’ra’na dibantu oleh sejumlah perangkat adat terdiri dari ada’ limayya, Karaeng tallua, Lompo Ada’, dan sejumlah aparat lainnya.
Pertama, Ada’ limayya, merupakan satu lembaga yang statusnya setingkat dengan Karaeng tallua. Annggotanya sebanyak lima orang, dengan tugas-tugas tersendiri. Kelima orang tersebut masing-masing: (1) Galla’ Pantama, statusnya sebagai kepala pemerintahan dalam struktur adat yang dipeimpin langsung oleh Ammatoa, (2) Galla’ Lombo, bertugas mengurus masalah pemerintahan pada daerah-daerah takluk Ammatoa yang sekarang dijabat oleh Kepala Desa Ammatoa. (3) Galla Anjuru, bertugas dalam bidang pekerjaan yang berhubungan dengan nelayan yang sekarang dijabat oleh Kepala Lembanna. (4) Galla Kajang, sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tana Jaya, (5) Galla Puto, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan sebagai pengawas langsung tentang pelaksanaan pasang ri Kajang yang sekarang dijabat oleh Puto Beceng.
Ada’ Limayya, pada mulanya dijabat langsung oleh putra-putri Ammatoa pertama. Kemudian setelah mereka meninggal, jabatan itu dipegang oleh keturunan mereka berdasarkan petunjuk Pasang ri Kajang.
Kedua, Karaeng Tallua, sebagai salah satu perangkat adat dalam struktur lembaga adat Ammatoa, memiliki tiga orang personil, yaitu: Karaeng Kajang, Sullehatang, dan Anak Karaeng. Tugas yang dipercayakan kepada Karaeng Tallua yaitu mendampingi Galla’ Pantama pada setiap berlangsungnya pesta adat.
Ketiga, Lompo Ada’ (Ada’ Buttaya) bertugas dalam bidang-bidang:
(1). Ada’ ri Tana Lohea, Perangkat adat ini mempunyai lima orang personil yang kesumuanya berasal dari Ada’ Limayya dengan tugas tersendiri. Galla’ Pantama dengan status sebagai penghulu adat atau Adat Utama: Galla’ Lombo dengan tugas yang berhubungan dengan urusan perbelanjaan; Galla’ Kajang bertugas mengurus perkara-perkara dan hokum serta persoalan-persoalan kriminal; Galla’ Puto bertugas sebagai juru bicara Ammatoa Dan Galla Anjuru bertugas sebagai bagian perlengkapan.
(2). Bidang Pelaksana. Dalam bidang ini terdapat 7 (tujuh) anggota masing-masing: 1. Guru bertugas sebagai pembaca do’a dan mantera-mantera; 2. Kadahangnga, bertugas dalam bidang pertanian; 3. Lompo Karaeng, bertugas membantu ada’ limayya ri tana loheadalam pelaksanaan pesta dan upacara adat; 4. Sanro Kajang, bertuas untuk menjaga dan memelihara kesehatan rakyat; 5. Anre Guru, bertugas dalam urusan pertahanan dan keamanan; 6. Lompo Ada’, bertugas juga sebagai pendamping Adat jika berlangsung pesta adat; 7. Galla’ Maleleng bertugas dalam urusan perbelanjaan dan keuangan. Semua personil yang disebutkan di atas bertanggung jawab kepada Karaeng Tallua.
(3). Bidang Akkeke Butta. Dalam bidang ini terdapat lima anggota dengan tugas pokok: memelihara dan memperbaiki saluran air dan pengairan. Itulah sebabnya mereka disebut ada’akkeke, artinya anggota adat yang bertugas untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan urusan penggalian tanah khususnya menyangkut soal saluran air dan pengairan. Personilnya ialah: (1) Galla’ Ganta; (2) Galla’ Sangkala; (3) Galla Sapo; (4) Galla’ Bantalang; dan (5) Galla’ Batu Pajjara.
Selain yang disebutkan di atas,masih ada lagi perangkat adat yang disebut Ada’ Pattambai Cidong. Anggotanya diambil dari 8 (delapan jenis propesi dan keahlian. Artinya, anggota kelompok ini adalah orang yang mempunyai pekerjaan tertentu. Mereka itu adalah: (1) Laha Karaeng, yaitu bekas Kepala Distrik atau mantan Karaeng Kajang; (2) Laha Ada’ yaitu mantan Galarang (bekas Kepala Desa); (3). Pattola Karaeng yaitu keluarga dekat pejabat pemerintahan yang sedang memerintah; (4) pattola Ada’, yaitu keluarga dekat pemangku aat atau pemimpin adat; (5) Tau Toa Pa’rasangang, yaitu orang-orang terpandang dalam masyarakat; (6) Panreta, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dan ketrampilan khusus, seperti pandai besi, tukang kayu, dan sebagainya; (7) Puahang, yaitu ketua kelompok nelayan yang memiliki perkumpulan nelayan yang disebut sero; dan (8) Uragi, yaitu pertukangan ahli kayu, khususnya dalam pembuatan rumah. Anggota-anggota tersebut tidak mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pemerintahan maupun dalam susunan adat. Karena , mereka ini hanya dikategorikan sebagai pallabbui rurung, Pattambai cidong, Panroaki Bicara. Artinya, memperpanjang barisan, pelengkap orang yang duduk-duduk dan turut meramaikan pembicaraan. Kehadirannya tidak menggenapkan dan ketidakhadirannya tidak mengganjilkan.
Dalam komunitas adat Ammatoa dikenal struktur organisasi yang membentuk sistem pembagian fungsi dan tugas dalam urusan pemerintahan adat. Hal ini dikenal dalam pasang;
Amma’ mana’ ada’ : Amma melahirkan adat
Amma mana’ Karaeng : Amma melahirkan pemerintah
Dari bagan di atas nampak jelas bahwa Ammatoa merupakan pemimpin adat komunitas adat di Desa Tana Towa. Dan para pembantu-pembantunya disebut dengan Ada’ lima Karaeng Tallu. Ada’ limayya merupakan para pembantu Ammatoa dalam mengurusi masalah adat (ada’ pallabakki cidong). Sedangkan Karaeng tallu merupakan tri tunggal dalam bidang pemerintahan, dan dikenal dengan “tallu karaeng mingka se’reji” yang berarti bahwa kalau salah satu di antara ketiganya tidak hadir dalam suatu upacara adat, maka karaeng tallu dianggap telah hadir.
Adapun fungsi dan peran Ammatoa menurut pasang adalah:
1. Ammatoa dianggap sebagai pengayom sekaligus sebagai suri tauladan dalam masyarakat karena dianggap sebagai orang tua dalam komunitas tersebut (Amma: bapak, Toa: tua). Ia juga dianggap sebagai pelindung (sanro) jika terjadi bambang lantama ujung latoro atau apabila negeri dilanda wabah penyakit atau peperangan.
Amma’ nilangngere’, nituruki, siagang nipa’la’langngi
Artinya:
Amma’ didengar nasehatnya, ditiru perbuatannya dan dijadikan panutan
Ako katangngere’-langngere’, ako kaitte-itte, ako katappa-tappa’, ri karambu lalang, asu timuang, ako tappaki.

Artinya:
Jangan (mudah) percaya dan terpengaruh pada “orang luar”, sebelum ke saya (Amma).
2. Sebagai penghubung manusia dengan Tuhan (Turie A’ra’na).
Dalam hal ini Ammatoa berkedudukan sebagai mediator yang bertugas menghubungkan harapan-harapan komunitas dan gagasan keilahian dalam harmonisasi mikro dan makro kosmos. Antara manusia dan gagasan keilahian “dipertemukan” (upaya penyelarasannya melalui pa’nganroang).
3. Ammatoa sebagai penengah dalam komunitas jika terjadi ketegangan-ketegangan atau perselisihan.
Hal ini berarti bahwa perselisiahan atau masalah-masalah yang terjadi dalam kawasan adat tidak mesti dibawa ke lembaga formal, seperti kepolisian, pengadilan dan sebagainya, akan tetapi cukuplah di selesaikan secara adat. Sama halnya kewajiban membayar pajak terhadap komunitas adat dalam hal ini Ammatoa-lah yang jadi perantara.
4. Bertanggung jawab atas kelestarian ajaran dalam Pasang.
Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin adat, Ammatoa dibantu oleh para majelis adat. Petugas tersebut bernama kolehai. Adapun tugas para kolehai tersebut antara lain adalah:
1. Galla’ Pantama (timboro’na tanayya) bertugas sebagai hakim.
2. Galla’ Lombo bertugas pada bidang pertanian.
3. Galla’ malleleng bertugas pada bidang perikanan.
4. Galla’ Puto bertugas sebagai juru bicara Ammatoa.
5. Galla’ Anjuru bertugas sebagai pengantar tamu yang akan menghadap Ammatoa.
6. Galla’ Bantalang bertugas bertugas hutan di Bantalang.
7. Galla Sapa bertugas melindungi hutan di Sapayya dan menyiapkan bangunan untuk upacara adat.
8. Galla’ Sangkala bertugas melindungi hutan di Sangkala.
9. Galla’ Ganta bertugas melindungi hutan di Ganta (hutan Bongo).
10.Tu Toa Sangkala bertugas pada bidang pertanahan, khususnya di daerah sangkala.
11.Tu Toa Ganta bertugas pada bidang pertanahan, khususnya di daerah Ganta.
12.Anrong bertugas mengatur perlengkapan-perlengkapan dalam a’nganro.
13.Lompo Karaeng bertugas mengatur urutan pa’cidongang.
14.Lompo Ada’ bertugas mengatur urutan hidangan menurut kedudukan adat. Mereka inilah yang mengendalikan dan melestarikan pokok ajaran yang terkandung dalam pasang ri Kajang sejak dahulu hingga sekarang, dipertahankan, tetap diberlakukan dan ditaati oleh masyarakatnya dengan patuh dan penuh kesetiaan.
Dengan terbentuknya para pejabat pembantu Ammatoa, maka praktis tugas mengatur masyarakat tidak begitu sulit sebab dengan adanya beberapa Gallareng (jabatan) tersebut memegang fungsi dan tugas masing-masing.
Berkaitan dalam sistem kemasyarakatan diatas, prinsip yang diperpegangi oleh komunitas Ammatoa seperti yang tertuang dalam pasang;
Lambusu’nuji nukaraeng
Gattannuji nu ada’
Sabbara’nuji nu guru
Pesonanuji nu sanro

Artinya: Hanya karena kejujuranmu engkau menjadi pemimpin. Karena Ketegasanmu engkau menjadi pemimpin adat. Karena kesabaranmu engkau menjadi guru. Karena keikhlasanmu engkau menjadi dukun.
Dari pasang tersebut dapat dipahami bahwa pemimpin itu seharusnya jujur. Karena kejujuran, seseorang diangkat menjadi pemimpin oleh rakyat. Oleh karena itu, bagi masyarakat kawasan, yang harus dikedepankan oleh seorang adalah kejujuran. Ini diperlihatkan dalam pola hidup sehari-hari. Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi di masyarakat kawasan, berpola hidup lebih sederhana dari masyarakat yang dipimpinnya. Artinya, seorang pemimpin tidak boleh berpola hidup lebih mewah dari yang dipimpinnya. Dalam pasang dikatakan;
“Punna kasi-kasi anne parasanganga
Naminang karioloa kasi-asi panggulunna , Ammatoa
Artinya;
Andaikan dunia ini ditakdirkan untuk hidup miskin, maka yang pertama-tama mengalaminya adalah pemimpinnya, Ammatoa.
“Mingka punna kalumannyangi anne parasanganga
Nakaminang ribokoa kalumannyang panggulunna, Ammatoa”
Artinya:
Kalau seandainya Tuhan berkehendak menciptakan bumi ini sejahtera atau kaya maka yang paling terakhir merasakan itu adalah pemimpinnya, Ammatoa.
Inilah nilai-nilai kepemimpinan di kawasan komunitas adat Ammatoa. Maka tak heran kalau tidak ada orang yang bercita-cita untuk menjadi Ammatoa, karena seorang Ammatoa harus lebih sederhana dibanding dengan masyarakatnya. Misalnya, rumah Ammatoa yang dinding dan lantainya terbuat dari bambu, sementara masyarakatnya boleh terbuat dari kayu. Tetapi jika seseorang diserahi tanggung jawab sebagai Ammatoa, maka dia harus memangkunya dengan konsekuaensi mematuhi aturan sebagai Ammatoa dan tidak boleh ditolak jika Tuhan menghendakinya.
Apabila seorang Ammatoa a’linrung atau meninggal, majelis adat menunjuk pejabat sementara yang memiliki kualitas tak jauh berbeda dengan Amma. Jabatan sementara sementara dijabat selama 3 (tiga )tahun. Sesudah masa tersebut, tepat pada bangngi kentarang (malam bulan purnama), dilaksanakan appa’ runtu pa’nganro, yaitu upacara ritual anyuru’ borong- memohon petunjuk Tu rie a’ra’na untuk memilih Ammatoa yang baru.
Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin adat, masyarakat tidak menganggap Ammatoa sebagai raja, sebab kajang bukan kerajaan. Oleh karena itu tidak ada jabatan yang diwariskan. Maka tak heran kalau misalnya Ammatoa tidak mewariskan status Ammatoanya kepada putranya. Jabatan Ammatoa haruslah di pangku oleh orang-orang pilihan yang memiliki banyak kelebihan dari masyarakat biasa. Adapun daftar nama-nama yang pernah menjadi Ammatoa adalah sebagai berikut;
1. Bohe Pairing/Bohe Tunaluru
2. Bohe Tomi/Bohe Sallang
3. Bohe Bilang
4. Puto Badu’/Bohe ni Renreng
5. Puto Pedo’
6. Puto Tabo’
7. Puto Palli’
8. Puto Sampo’
9. Puto Soba’
10.Puto Sembang/Amma Diki
11.Puto Cacong, Ammatoa terakhir ini meninggal tahun 1987.
Setidaknya, ada tiga persyaratan minimal kriteria yang harus dimiliki bagi orang yang akan dipilih menjadi Ammatoa, yaitu;
1. Memiliki sifat-sifat ‘4 nilai baku ‘ (lambusu’, gattang, sa’bara’, dan appisona) yang menonjol.
2. Memiliki wawasan luas dan mendalam mengenai ‘isi’ yang dipasangkan
3. Berasal dari ‘keturunan baik-baik’ (konjo: Tu Kentarang; orang yang disinari bulan purnama).
Dalam masyarakat Ammatoa, meskipun mereka mengenal struktur pemerintahan sekarang ini mulai dari RT, RK, Lingkungan (Dusun), Desa (Kelurahan), Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden sebagai pemimpin formal, namun kedudukan Ammatoa sebagai pemimpin adat di dalam kawasan dalam (ilalang embaya) sangat dihormati bahkan melebihi dari para pemimpin formal di atas. Ia bertindak sebagai pemimpin informal yang juga berfungsi sebagai tokoh masyarakat yang memiliki kharisma yang punya nilai lebih dibanding yang lainnya. Antara pemimpin formal dan informal selama ini masih terjalin dengan baik. Bila ada suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat adat akan diselesaikan pada tingkat pemerintah. Begitupun sebaliknya, bila ada masalah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat pemerintahan Desa/Kelurahan, Lingkungan/Dusun dapat dibawa ke adat untuk mendapatkan penyelesaian. Hal ini bisa dimengerti karena jabatan pemerintahan di tingkat Desa, kampung pada umumnya juga berfungsi sebagai pemangku adat yakni para ‘Puto’. Namun demikian masih ada pemisahan wewenang tugas pemerintahan dan wewenang adat. Dalam penyebutan nama misalnya kepala Desa mendapat panggilan “Puang atau Pa’ “ Galla’ Lombo dan Karaeng labbiriya Kajang untuk Pak Camat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar