Selasa, 03 Januari 2012
PARTAI ISLAM DAN PERILAKU PEMILIH DI SULAWESI SELATAN
Oleh: Syahrir Karim
Pengantar
Di Indonesia, seiring dengan berkembangnya kehidupan perpolitikan nasional ketika memasuki era reformasi, jalur-jalur demokrasi dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut berpartipasi dalam berbagai proses politik secara sukarela. Era reformasi juga memasuki babakan baru dengan mendatangkan liberalisasi politik.
Situasi ini telah memungkinkan lahirnya partai-partai politik dalam jumlah yang sangat banyak. Di antara organisasi-organisasi politik yang muncul itu adalah partai-partai yang mempunyai social origin Islam. Partai politik pun mulai “kembali menemukan momentum” dirinya untuk memikat masyarakat. Simbol-simbol agama mulai kembali menjadi “komoditas” yang dianggap mampu meningkatkan perolehan suara. Sebagai kelanjutan dari asal-usul sosial demikian itu, ada partai yang menegaskan diri sebagai partai Islam. Ini terutama tampak dalam simbol dan azas partai. Ada pula yang merasa tidak perlu menyatakan diri sebagai partai Islam. Meskipun begitu, publik tetap menganggapnya sebagai partai Islam. Hal ini sesuai dengan realitas yang ada, bahwa secara mencolok pendukung partai-partai itu, baik yang menyatakan secara resmi partai Islam atau tidak, adalah komunitas Islam.
Hanya dalam waktu beberapa bulan setelah reformasi dimulai, Indonesia mempunyai lebih dari 170 partai. Partai-partai yang menggunakan label agama sudah berada di atas angka 50-an, termasuk partai-partai Islam. Meskipun demikian, melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu.
Dalam konteks Islam, perkembangan ini telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Pandangan ini dianggap sah-sah saja, karena satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak, kenyataan ini akan mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apapun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, bahwa massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.
Realitas di atas seakan mempertegas bahwa fenomena agama selalu mengiringi perjalanan sejarah perpolitikan di Indonesia. Berawal dari tanggal 22 Juni 1945 ketika Panitia Sembilan berhasil merumuskan rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar yang memuat tentang Pancasila. Rancangan ini kemudian diberi nama oleh Mr. Moehammad Yamin sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Selain itu, dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat alinea yang berbunyi “ Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan dorongkan oleh keinginan luhur, supaya bekehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya “. Kalimat ini merupakan ungkapan hati nurani bangsa Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga dapat disebut Declaration of Indonesian Independence.
Dua contoh di atas semakin menegaskan bahwa perpolitikan di Indonesia selalu dilingkupi oleh nuansa-nuansa agama. Artinya ada semangat religius yang terbina dalam kerangka untuk mengakomodir dan mengapresiasi bagi agama-agama lainnya terutama yang sudah ada sejak Indonesia masih era kerajaan.
Partai Islam dan Pemilih Islam
Secara historis, fenomena agama dalam kehidupan politik muncul ketika akan digelar Pemilu 1955. Saat itu bermunculan partai-partai yang berlabel agama seperti Partai Masyumi, Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Katolik. Padahal waktu Pemilu pertama pasca kemerdekaan itu dilaksanakan maka partai-partai non agama-lah yang memenangkan 61 persen suara di lembaga perwakilan, Islam menguasai 30 persen dan yang berorientasi Kristen 0,29 persen. Artinya meskipun mayoritas Bangsa Indonesia adalah Islam, tetapi tidak serta merta partai Islam memperoleh suara yang signifikan.
Berdasarkan historis singkat di atas, semakin menunjukkan bahwa agama dan pemeluknya telah memainkan peran penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Bahkan tidak jarang agama mempunyai posisi tawar yang cukup “menggiurkan” bagi oknum yang mengambil keuntungan.
Pada Pemilu Pertama tahun 1955 suara Partai Islam yang diwakili Partai Masyumi dan Partai NU masing-masing memperoleh 57 dan 45 kursi dari jumlah total kursi 257 di Parlemen atau masing-masing memperoleh 20,9 % dan 18,4 % dari seluruh total suara. Dan pada pemilu-pemilu selanjutnya suara gabungan Partai Islam tidak pernah lebih baik dari perolehan dalam Pemilu 1955 tersebut.
Beberapa survei lain juga menunjukkan bahwa massa pendukung partai-partai politik yang berbasis Islam yang menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, terbukti lebih banyak memberikan suaranya kepada partai-partai yang tidak berbasis Islam. Hasil survei pada pemilu 2004-2009 mencatat bahwa partai-partai yang berbasis Islam tidak sebanding dengan rasio pemilih umat Islam. Hal ini bisa dilihat hasil pemilihan umum 2009 DPR RI. P. Demokrat 148, P. Golkar 107, PDIP 94, PKS 57, PAN 46, PPP 37, PKB 28, P. Gerindra 26, P. Hanura 17 kursi.Terdiri dari 29 partai yang tidak lolos PT, karena itu tidak memperoleh kursi di DPR pusat. Sumber: KPU.
Dari data yang ada di atas, terlihat bahwa pemilu 2009 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai nasional dan enam partai lokal. Hasilnya, seperti yang terlihat dari data di atas, hanya sembilan partai yang memperoleh suara lumayan. Dari sembilan partai ini, tujuh di antaranya adalah partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Hanya dua partai baru yang masuk di dalamnya, yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Sebagian besar partai-partai (baru) lainnya, tidak memperoleh suara yang berarti. Dengan kata lain, distribusi perolehan suara di dalam pemilu pada dasarnya lebih terkonsentrasi pada sejumlah partai dan tidak kepada semua partai termasuk di dalamnya adalah partai-partai Islam, seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB. Meskipun secara alamiah hanya partai-partai tertentu saja yang memperoleh dukungan riil dari para pemilih, tetap yang menjadi sorotan adalah partai-partai yang berbasis dukungan massa riil Islam justru kalah dengan jumlah suara yang signifikan oleh partai-partai yang notabene bukan partai Islam. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar apakah massa pemilih Islam sudah mengalami pergeseran perilaku dalam memilih, atau perilaku politik Islam secara umum sudah mengalami polarisasi tertentu yang tidak terlalu mengedepankan fanatisme keagamaan mereka atau bahkan umat Islam sebagian besar tidak ikut terlibat atau berpartisipasi dalam politik dengan alasa-alasan tertentu. Bahwa yang jelas fenomena seperti ini adalah persoalan serius yang harus ditemukan jawabannya.
Pada sisi yang lain, Lembaga Survei Indonesia (LSI) ketika merilis Moslem Youth Survey antara tanggal 18-26 November 2010, yang mensurvey tingkat ketertarikan umat Islam dalam politik (Interested in Politics) dengan sampel 1496 responden di 33 Propinsi dengan sistem multistage random sampling dengan hasil sebagai berikut: Highly Interested : 5,5 %. Interested : 23,1 %. Litle Interested: 41,4%. Not All Interested : 28,9 %. (Margin of error around: +/-2.6% at 95%).
Hasil survey di atas semakin mempertegas bahwa tingkat partisipasi politik umat Islam selama ini kurang begitu bagus. Hal ini merupakan persoalan tersendiri di kalangan internal umat Islam terkait perilaku politik mereka. Lebih lanjut, LSI juga melakukan survei tentang Pemilih Mengambang dan Prospek Perubahan Kekuatan partai Politik, hasilnya adalah bahwa hubungan antara pemilih dengan partai sangat lemah. Setelah 12 tahun mengalami pemilihan umum, pemilih semakin merasa jauh dengan partai. Akibatnya tingkat partisipasi dalam tiga Pemilu sebelumnya menurun tajam (sekitar 20%), dan perubahan pilihan dalam tiap pemilihan umum semakin besar. Kalaupun warga memilih sekarang, pilihan mereka mengambang, dan mudah berubah kembali, seperti dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Pemilih yang loyal sangat kecil (20%). (Survey dilakukan antara tanggal 15-25 Mei 2011).
Persoalannya sekarang adalah, apakah pergeseran perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik Indonesia ke depan? Apakah dengan rendahnya minat dan partisipasi politik merupakan preseden buruk dalam proses demokratisasi di Indonesia? Lalu bagaimana dengan umat Islam sebagai penduduk mayoritas menanggapi fenomena politik seperti ini? Tentu hal ini harus dijawab khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Tak terkecuali masyarakat di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang ikut bertanggung jawab dalam perkembangan kehidupan politik (demokratisasi) negara ini ke depan.
Umat Islam dan Pergeseran Perilaku Pemilih di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, para penganut agama Islam dapat dikatakan mayoritas dan sentra pendidikan Islam dan pengkaderan umat Islam. Oleh karena itu, setiap warga Sulawesi Selatan merantau pasti diindentikkan sebagai orang yang beragama Islam. Sebutan istilah sulawesi Selatan atau Bugis-Makassar pasti diasosiasikan dengan Islam.
Tatanan kehidupan berpemerintahan umat Islam dinilai sangat respek untuk menduduki jabatan pemerintahan di Sulawesi Selatan. Terbukti bahwa hampir semua jabatn-jabatan strategis (jabatan politik) di daerah mulai bupati, walikota atau Gubernur didominasi oleh orang Islam. Oleh karena itu, kalau berbicara perpolitikan umat Islam di Sulawesi Selatan frekuensinya sangat tinggi. Bahkan dinamika politik lokal di Sulawesi Selatan sering menjadi sorotan media nasional.
Namun ada sisi lain yang tidak bisa diabaikan terkait konstalasi politik lokal di Sulawesi Selatan. Perpolitikan umat Islam biasanya bertabrakan dengan perpolitikan antar etnis sampai pada koalisi antar etnis. Umat Islam sendiri terpecah dalam etnis dan lebih menguat pada tatanan perpolitikan etnis dari pada perpolitikan umat Islam.
Sepintas akan terlihat bahwa koalisi etnis Bosowa (Bone, Soppeng, Wajo) dan Masarrengpulu, secara politik pasti berhadapan dengan umat Islam lain yang berasal dari etnis Bugis lain dan etnis makassar serta etnis lainnya di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu kebutuhan menjaga sinergitas Islam maka umat Islam harus mampu memahami politik secara benar.
Menurut sejarah kerajaan-kerajaan di sulawesi selatan, bahwa para raja-raja atau bangsawan cenderung berfikir demokratis. Perilaku politik masayarakat sangat tergantung oleh orientasi politik tuannya/rajanya/pimpinannya. Fenomena seperti inilah yang kemudian perilaku politik masyarakat khususnya umat Islam sulit diprediksi. Kalau sudah terjadi hubungan sinergitas atau hubungan patron-clien seperti ini , maka sebagian besar penggarap (umat islam) sangat sulit memilih partai khususnya partai-partai Islam karena sebagian besar pemilih umat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap orang lain atau lingkungannya. Buktinya, bahwa pada zaman orde baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sangat sulit menang di Sulawesi Selatan.
Kasus Pemilu di Sulawesi Selatan pada era reformasi, menurut Undang-Undang Pemilu no.3 tahun 1999 pasal 5 ayat 2 sub c, daerah tingkat 1 yang jumlah penduduknya 5.000.000 -7.000.000 . jiwa mendapat 65 kursi. 65 kursi ini diperebutkan oleh 48 partai politik peserta pemilu. Hasil pemilu memperlihatkan sebanyak 11 partai politik yang memperoleh kursi. jumlah kursi tahun 1999 sebagai berikut: Golkar 48 kursi, PPP 6 kursi, PDIP 5, PAN 3, PKB 1, PBB 1, PDKB 1, PSII 1, PK 1, PP1.
Data ini menunjukkan bahwa umat Islam di Sulawesi Selatan memiliki minat yang sangat kecil untuk memilih partai politik Islam. Pada sisi yang lain secara metodologi politik partai Islam sangat kurang berpengaruh terhadap pemilih umat Islam yang mayoritas di Sulawesi Selatan. Kondisi ini dapat dimaknai bahwa umat Islam sulawesi Selatan dalam menyampaikan aspirasi politik tidak harus melalui partai politik Islam atau partai yang berbasis Islam. Kondisi ini masih tidak jauh berbeda dengan hasil pemilu tahun 2004 dan 2009.
Pemilu tahun 2004 sudah terjadi perubahan objek yang dipilih oleh pemilih. Kalau pemilih tahun 1999 memilih tanda gambar partai, pemilih tahun 2004 langsung memilih gambar orangnya atau calon dari partai dan pemilih juga bisa memilih tanda gambar apabila pemilih tidak mengenal dan mengetahui nama orang yang dicalonkan oleh salah satu partai yang ikut pemilu. Hasil Pemilu anggota legislatif pemilu tahun 2004 bisa dilihat sebagai berikut: Golkar 32, PDK 8, PAN 8, PPP 7, PKS 8, PDIP 6, Demokrat 1, P. Merdeka 1, PDS 1, PBR 1, PBB 1.
Data di atas menunjukkan bahwa pemilu 2004 pemilih umat Islam memperlihatkan orientasi yang meningkat untuk memilih calon-calon legislatif yang dicalonkan partai Islam atau partai yang berbasis Islam. Pemilu tahun 1999 partai-partai Islam mampu mandapat kursi 14 anggota DPR Propinsi dari 65 kursi yang tersedia. Sedangkan pemilu tahun 2004 partai Islam atau partai yang berbasis islam memperoleh kursi yang meningkat 25 kursi dari 75 kursi yang disediakan atau 30% kursi yang diperoleh.
Pemilu 2009 juga tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar mendapat suara 925.842 suara, Demokrat: 578.470, PKS: 328.537, PAN: 293.782, Hanura: 172.929, PPP: 151.624, PDIP: 119.745, dengan tingkat partisipasi pemilih hanya 70%. Dari 5.633.977 daftar pemilih tetap (DPT), hanya 3.685.400 yang memilih. Berarti yang tidak memilih sekitar 1.948.577. (Sumber: KPU Sulawesi Selatan).
Namun jumlah kursi yang diperoleh jika dibandingkan dengan pemilih umat Islam masih belum berimbang. Kalau dilihat dari sudut keterwakilan pilitik maka dari ke 75 kursi anggota DPRD ini harus direbut oleh partai-partai Islam atau partai yang berbasis Islam sebanyak 70-72 kursi.
Dalam kasus perilaku pemilih di Sulawesi Selatan dalam sebuah penelitian, mendapat sebuah fakta bahwa ada hubungan antara sistem pemilihan, budaya politik dengan sikap pemilih. Sistem pemilihan dapat diartikan sebagai seperangkat regulasi formal yang menata bagaimana seluruh aspek dalam proses pemilihan itu barlangsung, sementara budaya politik dapat diartikan sebagai parangkat nilai yang tumbuh dan berkembang di antara institusi-institusi politik. Hubungan timbal balik antara kedua aspek ini seharusnya menjadi faktor determinan dalam membentuk sikap politik pemilih, dimana pilihan politik didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional. Menurut John Stuart Mill bahwa hanya pemilih yang rasional yang bisa menjamin demokrasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi bisa menyeleksi pemimpin yang paling bijaksana, paling jujur, dan paling tercerahkan di antara warga negaranya sendiri.
Fenomena yang lain juga terlihat bahwa kondisi Umat Islam di Sulawesi Selatan berada dalam beragam etnis. Umat Islam berada dalam sebuah polarisasi politik yang dibentuk oleh perbedaan ras, suku, dan lingkungannya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi budaya politik mereka. Dari data yang telah dijelaskan di atas, konstalasi politik lokal di sulawesi selatan sangat jelas bahwa ada pergeseran/perubahan perilaku pemilih dari setiap pemilihan umum dilakukan. Pergeseran atau perubahan perilaku tersebut tidak hanya pada pilihan politik saja, akan tetapi sikap dan reaksi politik mereka. Perilaku politik umat Islam terlihat bukan hanya dipengaruhi oleh faktor religiuitas (keagamaan) akan tetapi ada faktor-faktor lain yang membuat mereka berbeda dalam sikap politik mereka. Perilaku pemilih yang senantiasa berubah, baik pada tingkat legislatif maupun pada tingkat eksekutif. Terkadang konsisten dan tidak konsisten dalam menentukan pilihannya atau bahkan disertai dengan sikap memilih (berpartisipasi) atau tidak memilih (tidak berpartisipasi). Kenapa misalnya daerah yang lain dengan penduduk mayoritas Islam seperti halnya disulawesi Selatan tidak mempunyai kesamaan perilaku politik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar