Minggu, 31 Oktober 2010
MASYARAKAT ADAT AMMATOA DALAM PUSARAN DESENTRALISASI
Oleh: Syahrir Karim
Pengantar
Masyarakat adat telah diakui keberadaannya baik secara nasional yang tertuang dalam UUD 1995 maupun internasional yang tertuang dalam konvensi Internasional tentang Draf deklarasi masyarakat adat (1993) dan konvensi Internasional Labour Organization (ILO) 169 tahun 1998 menyangkut bangsa pri-bumi dan masyarakat adat di Negara merdeka.
Konvensi ILO 169 dan UUD 1945 secara prinsip telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Tapi beberapa tahun terakhir pemerintah tidak konsisten menerapkannya. Hal tersebut ditandai dengan beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Melalui kebijakan yang jauh dari asas keadilan, pemerintah telah mengaburkan hak-asal usul, hak atas wilayah adat, sampai pada peminggiran kebudayaan mereka yang khas. Contoh kongrit dari kebijakan pemerintah tersebut adalah produk Undang-Undang No. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Dalam Undang-Undang ini, praktis wilayah adat dibangun atas dasar kesatuan genelogis, lalu diganti dengan pembentukan desa secara administratif. Akibatnya adalah norma-norma sosial tradisional serta lembaga-lembaga adat secara formal semakin tersisih oleh aturan-aturan hukum dan lembaga pemerintahan yang baru. Meskipun harus diakui juga bahwa baik norma-norma maupun lembaga-lembaga tradisional itu dalam banyak hal sebenarnya masih dibutuhkan, baik dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial maupun dalam upaya menjamin keserasian hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Tulisan ini adalah hasil penelitian yang dilaksanakan di Kab. Bulukumba tepatnya di Desa Tana Towa tempat bermukimnya komunitas adat Ammatoa Kajang. Penelitian ini sebagian besar diambil dari wawancara mendalam dan observasi. Karena itu, data yang penulis kumpulkan sebagian besar bersifat kualitatif. Data (primer) dalam studi ini kebanyakan diambil dari wawancara dengan unsur pemerintah, pemangku adat, masyarakat setempat dan dari kalangan intelektual. Dalam penelitian ini penentuan informan akan ditentukan berdasarkan prinsip representatif. Artinya bahwa semua responden betul-betul dianggap bisa dimintai dan diterima keterangannya. Selanjutnya dalam proses analisa data meliputi menelaah seluruh data yang telah tersedia, mereduksi data, display data, mengkategorisasikan data lalu kemudian menarik kesimpulan
Struktur Kekuasaan Tradisional Desa Tana Towa
Secara tradisional masyarakat desa Tana Towa telah mengenal lembaga sosial desa yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Ammatoa yang dibantu dengan beberapa orang dalam mengurusi pemerintahannya yang disebut dengan Ada’ limayya karaeng tallu. Keberadaan Lembaga adat ini masih ada sampai sekarang dan masih mempunyai kewenangan/kekuasaan untuk menentukan dan memberikan sangsi kepada masyarakatnya.
Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat tersebut tentu punya andil yang besar dalam mengurusi masyarakatnya. Ammatoa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Adat di wilayah kamase-masea dalam menunaikan tugas yang diamanahkan oleh Tau Rie’a A’ra’na dibantu oleh sejumlah perangkat adat terdiri dari ada’ limayya, Karaeng tallua, Lompo Ada’, dan aparat adat lainnya.
Dalam komunitas adat Ammatoa dikenal pula struktur organisasi yang membentuk sistem pembagian fungsi dan tugas dalam urusan pemerintahan adat. Hal ini dikenal dalam pasang;
Amma’ mana’ ada’ : Amma melahirkan ada
Amma mana’ Karaeng : Amma melahirkan pemerintah
Untuk melihat lebih jelas struktur organisasi kekuasaan adat Tana Towa bisa dilihat bagan berikut:
Struktur Organisasi Kekuasaan Adat Desa Tana Towa
ANRONGTA ---Anrongta(Penasehat
KARAENG (Kajang, Tambangang dan Ilau).
GALLARANG (Galla Lombo,Puto,Pantama,Anjuru dan Kajang)
KOMUNITAS ADAT
Keterangan:
= Hubungan Konsultatif
= Hubungan Komando
Dari bagan di atas nampak jelas bahwa Ammatoa merupakan pemimpin adat komunitas adat di Desa Tana Towa. Dan para pembantu-pembantunya disebut dengan Ada’ lima Karaeng Tallu. Ada’ limayya merupakan para pembantu Ammatoa dalam mengurusi masalah adat (ada’ pallabakki cidong). Sedangkan Karaeng tallu merupakan tri tunggal dalam bidang pemerintahan, dan dikenal dengan “tallu karaeng mingka se’reji” yang berarti bahwa kalau salah satu di antara ketiganya tidak hadir dalam suatu upacara adat, maka karaeng tallu dianggap telah hadir.
Dalam masyarakat Ammatoa, meskipun mereka mengenal struktur pemerintahan sekarang ini mulai dari RT, RK, Lingkungan (Dusun), Desa (Kelurahan), Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden sebagai pemimpin formal, namun kedudukan Ammatoa sebagai pemimpin adat di dalam kawasan dalam (ilalang embaya) sangat dihormati. Ammatoa bertindak sebagai pemimpin informal yang juga berfungsi sebagai tokoh masyarakat yang memiliki kharisma yang punya nilai lebih dibanding yang lainnya. Antara pemimpin formal dan informal selama ini masih terjalin dengan baik. Bila ada suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat adat akan diselesaikan pada tingkat pemerintah. Begitupun sebaliknya, bila ada masalah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat pemerintahan Desa/Kelurahan, Lingkungan/Dusun dapat dibawa ke adat untuk mendapatkan penyelesaian. Hal ini bisa dimengerti karena jabatan pemerintahan di tingkat Desa, kampung pada umumnya juga berfungsi sebagai pemangku adat yakni para ‘Puto’. Namun demikian masih ada pemisahan wewenang tugas pemerintahan dan wewenang adat. Dalam penyebutan nama misalnya kepala Desa mendapat panggilan “Puang atau Pa’ “ Galla’ Lombo dan Karaeng labbiriya Kajang untuk Pak Camat.
Hubungan Kekuasaan Pada Tingkat Desa
Terjadinya perubahan mendasar dalam lingkungan politik setelah reformasi, terutama setelah dikeluarkannya paket Undang-Undang No. 22/1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah telah menimbulkan pergeseran kerangka paradigmatik di tingkat Negara dalam melihat desa yang berbasis masyarakat adat. Perubahan fungsi dan peranan turut memberikan pengaruh yang besar terutama dalam proses relasi atau hubungan kekuasaan antara pemerintah desa dan masyarakatnya. Di sinilah terjadi proses relasi kekuasaan antara kedua belah pihak. Dalam proses relasi tersebut-antra pemerintah dan masyarakat lokal terjadi suatu bentuk negosiasi, dialog atau bahkan resistensi yang dilakukan komunitas lokal terhadap pemerintah.
Lokalitas, disadari atau tidak merupakan suatu konstruk sosial yang diproduksi dan direproduksi. Lokalitas adalah arena perebutan ruang, sebuah perdebatan, ruang gerak, dan relasi yang memungkinkan berbagai macam pencaharian posisi-posisi yang baru.
Wacana Lokalitas sebenarnya baru muncul ketika angin reformasi melanda negeri ini. Karena ketika masa Orde Baru, bayang-bayang lokalitas hampir tidak pernah muncul kepermukaan. Sekarang wacana lokalitas sudah menampakkan diri ssebagai ruang gerak baru, ruang negosiasi baru, yang memungkinkan munculnya posisi-posisi baru, termasuk yang terkesan meleset dari kebijakan pusat. Hal ini disebabkan karena lokalitas berusaha mencari suatu identitas atas eksistensinya dan identitas tersebut telah mereka dapatkan pada era reformasi yang terbungkus oleh wacana “Human Right”.
Dengan adanya kebangkitan-kebangkitan tersebut dan ditopang oleh suatu kekuatan identitas, maka komunitas-komunitas mikro mendapatkan beberapa pilihan dalam menjalani suatu proses relasi kuasa, apakah lokalitas dapat berdialog dan menerima tawaran-tawaran penguasa, atau mengambil model take and give dengan jalan negosisasi, atau bahkan melawan penguasa dengan jalan resistensi.
Selain proses di atas, terdapat pula bentu-bentuk negosisasi yang terjadi antara masyarakat adat atas dominasi pemerintah. Salah satu penyebab adanya proses dominasi pemerintah adalah adanya pejabat pemerintah (kepala desa) yang juga menjabat pemangku adat.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang adanya pejabat pemerintah yang sekaligus pemangku adat, adalah merupakan suatu momen pemerintah mendominasi masyarakat lokal, tak terlepas komunitas Adat Ammatoa Kajang. Sehingga program-program yang dilancarkan oleh pemerintah mengalir bagai air pada komunitas Adat Ammatoa Kajang.
Kalau dicermati secara mendalam, pemerintah dalam hal ini telah mempergunakan pemimpin-pemimpin yang diakui dan diterima masyarakat desa dengan memeberikan sentuhan legitimasi dan substansi pada kebijakan dan program-programnya. Oleh Hans Antlov (2003:251) momen seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya patronase negara terhadap elit desa. Patronase inilah yang kemudian memberikan kekuatan ganda terhadap para elit desa; yakni dia sebagai pemegang otoritas lokal sebagai sosok yang dihormati dalam masyarakat tersebut dan dia juga punya yirisdiksi administratif dan politik dari jabatan-jabatan resmi. Berbekal kekuatan ganda tersebut, elit desa secara tidak langsung telah menjadi sosok yang semakin penting di dalam proses pembangunan dan stabilitas di dalam komunitas lokal.
Sikap ambivalen yang dilami oleh masyarakat komunitas Adat Ammatoa Kajang yaitu pada satu sisi program tersebut bertentangan dengan tradisi mereka selama ini, sedangkan pada sisi yang lain tim pelaksana dari program tersebut adalah salah seorang pemangku adat yang otomatis harus dipatuhi dan dilaksanakan karena ia pemangku adat.
Dari pandangan di atas, dapat dilihat suatu proses negosisasi yang terjadi dari komunitas adat dan pemerintah. Namun jika diperhatikan, dominasi pemerintah masih besar. Hal ini disebabkan dengan adanya suatu legitimasi oleh komunitas adat Ammatoa Kajang terhadap jabatan struktural maka hal tersebut merupakan suatu pintu bagi pemerintah untuk mensukseskan program-programnya. Dengan program ini maka pembangunan sarana-sarana dan prasarana pendidikan mulai dibangun. Seperti sekolah dasar yang hanya berjarak lima meter dari pintu gerbang kawasan. Dengan masuknya program tersebut, kewajiban memakai pakaian yang berwarna hitam mulai terkikis, hal ini disebabkan karena diwajibkannya anak-anak sekolah untuk memakai warna putih-merah. Dengan sendirinya kodisi seperti ini telah memberikan fenomena baru dalam kawasan Adat Ammatoa Kajang. Di satu sisi, program ini memberikan mamfaat yang begitu besar, terkhusus generasi-generasi pelanjut dalam komunitas tersebut. Di sisi yang lain, komunitas ini mulai terserabut dari akar tradisinya. Bukti bahwa mereka telah terserabut dari akar tradisinya adalah mengenai kewajiban untuk memakai pakaian berwarna hitam. Dengan adanya program ini, anak-anak yang bermukim di kawasan adat telah mamakai pakaian seragam sekolah yang notabene berbeda dengan norma-norma tradisi yang ada dalam lingkungan adat. Sikap resistensi yang selama ini terbangun dengan kokoh, kini hancur dan masuk pada sikap negosiasi yang pada dasarnya merugikan bagi komunitas Adat setempat.
Program Keluarga Berencana (KB) nasional serta beberapa program pembangunan pemerintah secara merata juga ikut membawa perubahan dalam komunitas setempat. Perubahan yang paling menonjol meisalnya adalah adanya perubahan masyarakat dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Hal ini terlihat jelas karena realitas-realitas modern sudah mulai nampak dalam kawasan adat meskipun masih terlihat sedikit.
Relasi kekuasaan dalam kasus ini berpolakan negosiasi, dengan adanya tawar-menawar dari pihak yang mendominasi (pemerintah) dan pihak yang didominasi (Komunitas adat). Bentuk negosisasi tersebut dapat dilihat dari kriteria pemimpin yang dapat diterima oleh komunitas adat yang kemudian dari proses ini terjadi bentuk-bentuk negosiasi dan resistensi dari masyarakat. Kehadiran resistensi sebagai suatu perlawanan masyarakat lokalitas disebabkan adanya hegemoni dari penguasa terhadap masyarakat minoritas. Hal ini sesuai dengan AAGN Ary Dwipayana (2003:347) yang menegaskan bahwa fenomena resistensi ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap dua kekuatan besar, yang bisa saja dibedakan tetapi kehadirannya sering simultan, yaitu rezim modernitas dan negaraisasi (statization). Rezim modernitas dengan kekuatan mengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar-standar kehidupan modern melalui berbagai macam proyek pendisiplinan yang kemudian membawa kearah taste of culture yang meniadakan keunikan dan perbedaan. Selanjutnya, identitas kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penolakan terhadap penyeragaman oleh modernitas. Reaksi Negara (statization) sama halnya dengan modernisasi, juga melakukan penyeragaman melalui ‘Negaraisasi” yang menyebabkan marjinalisasi desa adat.
Walupun hegemoni menurut Gramsci berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan paksaan yang kasat mata, melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Akan tetapi, disadari atau tidak, dipaksa atau tidak, hal tersebut merupakan suatu dominasi yang berusaha membentuk suatu konstruk yang mempengaruhi komunitas yang didominasi (Baso, 2002:24).
Sejalan sejak Orde Baru berkuasa nampak telah membuat perubahan (dominasi) yang cukup signifikan dalam struktur kekuasaan khususnya peran lembaga adat setempat. Terutama ketika diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Abd. Kahar Muslim, kepala desa Tana Towa menyatakan bahwa ketika orde baru berkuasa (istilah) gallarang (gelaran) yang berlaku dalam sistem pemerintahan tradisional dihapus dan diganti dengan istilah pemerintah. Struktur kekuasaan adat yang dipimpin oleh seorang Ammatoa praktis banyak terkikis akibat penetrasi negara (pemerintah) yang telah banyak mengambil peran dalam sistem sosial masyarakat setempat sejak diberlakukannya UU No. 5/1979 bahkan sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari beberapa keadaan; pertama, kekuasaan Ammatoa dahulu meliputi seluruh tanah Kajang yang hanya terdiri lima desa yang masing-masing desa diperintah oleh para Galla’ (staf) Ammatoa. Sekarang tanah Kajang sudah mengalami pemekaran sekitar dua puluhan desa yang hampir sebagian besar penduduknya sudah keluar dari pengaruh kekuasaan adat dan pemimpinnyapun tidak lagi harus berhubungan dengan Ammatoa terlebih dahulu.
Kedua, dahulu Ammatoa berhak memecat atau memberhentikan seorang Galla’ atau seorang karaeng (baik kepala Desa maupun Camat) karena itu adalah otoritas Ammatoa. Sekarang hal tersebut tidak lagi terjadi, Ammatoa hanya bisa mencabut gelaran (Gallarang) seorang kepala desa atau camat dan tidak punya lagi wewenang untuk memecat atau memberhentikan. Memberhentikan dan mengangkat seorang Camat misalnya merupakan hak penuh pemerintah tanpa campur tangan adat.
Ketiga, pemerintah membagi dua tempat atau kawasan, yakni kawasan adat dalam (ilalang embayya) yang ikut Ammatoa dengan kawasan luar adat (ipantarang embayya) yang tidak lagi patuh dengan adat. Adanya pembatas kawasan adat tersebut merupakan suatu hal yang sangat ganjil kerena hal tersebut sama saja memecah belah masyarakat adat dan mengurangi kekuasaan seorang Ammatoa.
Fenomena lain yang bisa dilihat ketika kekuasaan adat hampir pudar karena pemerintah terkesan banyak mengambil alih urusan dan kekuasaan adat seperti dapat dilihat dari beberapa kondisi yang ada. Pertama, Kedudukan Ammatoa, baik dilihat dari segi fungsi maupun peran telah mengalami pergeseran. Kedudukan Ammatoa hanya sebatas sosok kharismatik yang hanya mengurusi persoalan akhirat. Selain masalah ukhrawi adalah merupakan hak pemerintah yang mengaturnya. Pola kekuasaan seperti ini bisa dikategorikan sebagai kekuasaan yang bersifat monomorphic, yakni hanya berpengaruh dalam satu bidang saja. Kedua, terjadi semacam pendelegasian wewenang dari kekuasaan adat ke pemerintah. Hal ini terbukti ketika jabatan karaeng tallu dinasionalisasikan baik sistem maupun struktur tata kerjanya menjadi jabatan taktis pemerintah. Praktis bahwa wewenang para pemengku adat sudah beralih fungsi karena keberadaannya sudah masuk dalam struktur pemerintahan. Seperti Galla Lombo sudah beralih nama menjadi Kepala Desa dan Karaeng Kajang sudah menjadi jabatan Camat. Simbol-simbol yang melekat dalam jabatan adat telah diganti kedalam istilah pemerintah.
Terjadinya persoalan seperti di atas merupakan akibat dari struktur sosial yang selama ini mengalami pengkotak-kotakan. Struktur sosial yang memisahkan kepemimpinan adat-kepercayaan dari kepemimpinan adat-pemerintahan dan menempatkan kepemimpinan adat-kepercayaan hanya sebagai pengayom dan tidak berfungsi sebagai pemberi legitimasi penuh terhadap kekuasaan yang ada khususnya dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang. Karena seperti diketahui bahwa ciri sistem sosial yang terbangun sejak dahulu adalah telah menempatkan kepemimpinan adat-kepercayaan sebagai pengayom bahkan tampil sebagai pemberi legitimasi kekuasaan. Hal ini bisa dilihat ketika membuka kembali lembaran sejarahnya bahwa kajang pada awalnya hanya terdapat istilah gallarang yang terkenal dengan lima gallarang, yaitu; gallarang pantama, gallarang Kajang, gallarang Puto, gallarang lombo’, dan gallarang Anjuru. Kelima gallarang ini kemudian disebut Ada’ Limayya, dengan Galla’ Pantama sebagai pemegang pucuk pimerintahan yang disebut kala’birang, dan Ammatoa sebagai pengayom atau pelindung.
Terjadinya pergeseran kekuasaan yang ada dalam komunitas tersebut tentu punya efek yang besar, baik terhadap eksistensi adat itu sendiri maupun dalam hal kehidupan keseharian masyarakat setempat.
Kejadian tersebut di atas memberikan suatu catatan tersendiri bahwa pemerintah selama ini tidak melihat bahwa suatu komunitas adat merupakan satu kesatuan utuh yang terhimpun semua simpul kekuatan dan otoritas. Masyarakat adat bukanlah sekedar kesatuan territorial belaka akan tetapi juga kesatuan adat yang eksistensinya berkait erat dengan ekspresi sosio-kultural masyarakat yang terikat dalam sebuah entitas. Ia tak hanya manifestasi dari sekumpulan orang dalam batas-batas administrasi seperti halnya desa.
Pemandangan seperti di atas terus berlangsung bahkan pada era pemberlakuan UU No. 32/2004. Desanisasi ala Orde Baru terlanjur telah menciptakan suatu pergeseran budaya politik solidaristik-partispatif menjadi apatis. Renggangnya ikatan sosial masyarakat menyebabkan sering terjadi konflik antar desa bahkan dengan pemerintah sekalipun yang sulit diselesaikan secara adat. Contoh konflik yang terjadi adalah kasus PT. Lonsum terkait dengan hak tanah yang diklaim oleh masyarakat adat setempat adalah sebagian tanah adat yang di serobot oleh perusahaan tersebut. Konflik tersebut telah memakan korban jiwa dari pihak penduduk setempat akibat ulah aparat keamanan.
Menyikapi berbagai masalah yang menimpa masyarakat adat terkait dengan hubungannya dengan pemerintah maka dibutuhkan sebuah mekanisme control yang bisa menjadi alat penengah antara kepentingan keduanya, salah satunya adalah BPD. Dengan adanya BPD tersebut pada awalnya diharapkan akan meningkatkan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah desa. Apalagi kalau melihat salah satu fungsi BPD adalah ikut melindungi dan melestarikan adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat.
Kasus desa Tana Towa misalnya, Terkait dengan pemerintahan desa sebenarnya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai mekanisme control terhadap pemerintah desa, masih terasa asing bagi mereka. Paktek demokrasi pada tingkat desa dengan adanya BPD tersebut menurut hemat penulis masih belum epektif. Ada beberapa alasan yang mendasari sehingga keberadaan BPD masih belum berjalan secara maksimal di desa Tana Towa; pertama, keberadaan BPD masih terasa asing bagi masyarakat setempat. Sehingga keberadaan BPD hanya dianggap sebagai kebutuhan foramalitas saja demi kelengkapan adminstrasi pemerintahan. Dan akibatnya adalah orang-orang yang duduk dalam BPD tersebut tidak sepenuhnya mewakili semua elemen masyarakat; kedua, melihat fungsi BPD, sebenarnya ada rutinitas masyarakat Tana Towa yang hampir sama dengan fungsi BPD, yakni acara akkttere’. Acara akkattere’ ini bisa dikatakan sebagai suatu kegiatan rembug desa atau forum warga yang dilaksanakan setiap bulannya. Kegiatan ini merupakan rutinitas adat yang menghadirkan seluruh tokoh masyarakat tak terkecuali para pemangku adat. Sehingga ada semacam rasa optimis bagi penulis bahwa seandainya pemerintah mengoptimalkan program akkttere’ tersebut maka akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan BPD.
Pola Interaksi Elit Pemerintah dan Adat
Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, bahwa pada awalnya di Kecamatan Kajang hanya tedapat 5 (lima) desa dan masing-masing dipimpin oleh seseorang yang bernama Galla’. Hal tersebut terjadi karena dalam struktur kekuasaan Adat Kajang Ammatoa hanya mengakui 5 (lima) Galla’ dan 3 (tiga) Karaeng.
Istilah Karaeng dan Gallarang (gelaran) di desa Tana Towa masih ada sampai sekarang. Hanya saja istilah Gallarang dan Kakaraengang secara umum sedikit berbeda penggunaannya dalam masyarakat makassar pada umumnya. Secara umum orang makassar yang mendapat gelar karaeng adalah mereka yang mempunyai garis darah bangsawan yang diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan dalam masyarakat adat Kajang Ammatoa, Karaeng dan Gallarang merupakan jabatan struktural adat yang memperoleh pengakuan langsung dari Ammatoa sebagai pemimpin spiritual tertinggi dalam masyarakat adat. Jadi bukan jabatan turun temurun atau bawaan atas nama garis keturunan. Sehingga keturunan seorang karaeng ataupun Galla’ akan menjadi rakyat biasa tanpa ada gelar yang disandang layaknya seorang keturunan bangsawan. Hal ini juga merupakan sebagian dari makna ajaran pasang.
Struktur kekuasaan dalam desa Tana Towa sendiri semakin kompleks. Desa Tana Towa dengan beberapa pecahannya menjadi satu desa secara otomatis membentuk sistem pemerintahan masing-masing. Sehingga batas-batas geografis wilayah Gallarang dan Kakaraengang sekarang ini sudah nampak kabur, terutama setelah adanya undang-undang tentang pemerintahan desa gaya baru.
Berikut ini struktur pembagian kekuasaan dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang sebelum adanya Undang-Undang No.5/1979 dapat digambarkan sebagai berikut :
AMMATOA ------------------------------------- ANRONGTA
KARAENG
GALLARANG
Keterangan:
----------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan komando
Setelah adanya Undang-Undang No.5/1979 struktur pembagian kekuasaan kembali berubah dengan gambaran sebagai berikut:
KARAENG KAJANG AMMATOA--Anrongta
(Labbiriya (Camat Kajang))
GALLARANG
(Kepala Desa)
Keterangan:
----------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan komando
Struktur pembagian kekuasaan kembali berubah ketika Undang-Undang tentang otonomi daerah diberlakukan melalui Undang-Undang No. 22/1999 (32/2004), perubahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
KARAENG KAJANG
(Labbiriya (Camat Kajang))
GALLARANG ------- BPD
(Kepala Desa)
AMMATOA
Keterangan:
-------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan administratif
Struktur pembagian kekuasaan yang ada di atas telah menggambarkan adanya pergeseran kewenangan serta posisi para pemangku adat. Hal tersebut jelas terlihat ketika adanya jabatan sturktural secara administrative melalui undang-undang tentang pemerintahan desa. Hal ini juga menggambarkan mekanisme pengambilan keputusan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Di sini juga tampak bahwa kekuasaan Ammatoa terus mengalami pergeseran peran dan fungsi dalam struktur kekuasaan di Kajang seiring dengan undang-undang sistem pemerintahan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Beberapa persoalan obyektif kemudian muncul dengan adanya perubahan lingkungan politik pada tingkat desa terutama terjadinya dua bentuk kekuasaan pada tingkat desa, yakni masyarakat adat dengan lembaga adatnya dan pemerintah desa itu sendiri (desa dinas atau desa administratif). Hal ini terlihat ketika keberadaan pemimpin adat Ammatoa semakin tergeser kedudukannya yang berawal dari hubungan komando menjadi hubungan konsultatif saja. Maka praktis struktur kekuasaan adat-pun secara tidak langsung juga ikut bergeser. Akibatnya terjadi pembagian wewenang yakni urusan pemerintah ditangani oleh pemerintah dan urusan adat ditangani oleh adat. Kasus ini bisa dilihat dengan adanya dua bentuk kepemimpinan yang ada pada tingkat desa, karena di satu sisi terdapat kekuatan adat yang telah melandasi kehidupan masyarakat setempat sejak dari nenek moyang mereka, dan di sisi yang lain terdapat kekuasaan pemerintah desa yang dibentuk atas dasar ketentuan dari pemerintah atasan. Mencermati kondisi tersebut di atas, dalam masyarakat Tana Towa sendiri terbangun tiga pemikiran menyangkut eksistensi kedua bentuk kekuasaan tersebut. Pertama, pemikiran yang kurang menerima keberadaan desa dinas karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk ke desa. Maka solusi yang di tawarkan adalah fungsi kedinasan dimasukkan ke dalam desa adat. Pemikiran ini didominasi oleh masyarakat dalam kawasan (ilalang embayya) karena mereka merasa kurang diberikan akses dalam birokrasi pemerintah. Secara umum mereka mengakui dan menerima keberadaan desa dinas sebagai mitra dalam mengatur pemerintahan di desa Tana Towa, akan tetapi harus menghormati struktur kekuasaan asli di desa tersebut. Hal ini diperjelas ketika Ammatoa bersikeras tidak menerima campur tangan pemerintah khusus untuk dalam kawasan (ilalang embayya). Kedua, pemikiran yang tetap ingin mempertahankan pola hubungan seperti sekarang ini. Dengan alasan bahwa sumber daya manusia yang ada pada masyarakat desa Tana Towa masih diragukan dalam hal profesionalime kerja dalam hal ini struktur kekuasaan tradisional setempat. Pemikiran ini di dominasi oleh orang luar kawasan (ipantarang embayya) yang menganggap bahwa sekarang dituntut sebuah birokrasi modern untuk mengatur masyarakat tanpa mengindahkan kekuatan adat sebagai struktur kekuasaan asli desa. Galla Lombo yang sekaligus kepala desa Tana Towa mengatakan bahwa struktur kekuasaan adat harus didukung penuh oleh pemerintah dalam mengurus pemerintahan di desa. Ketiga, adalah pemikiran yang ingin menengahi kedua pemikiran di atas, yakni adanya keinginan mempertegas wilayah kewenangan kawasan adat dan desa dinas. Hal inilah yang kemudian menyebabkan dibangunnya pembatas kawasan adat Ammatoa yang memisahkan dua kelompok masyarakat dalam desa tersebut sehingga dikenallah istilah masyarakat kawasan dalam (ilalang embayya) dan luar kawasan (ipantarang embayya).
Masyarakat yang berada dalam kawasan adat (ilalang embaya) dalam kehidupan sehari-harinya mereka lebih taat terhadap aturan adat di bawah pimpinan seorang Ammatoa dibanding aturan yang berasal dari pemerintah. Mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran pasang dalam kehidupan kesehirian mereka. Dibandingkan dengan masyarakat yang ada diluar kawasan (ipantarang embaya), mereka ini sebagian besar banyak meninggalkan aturan adat atau ajaran pasang seperti yang dititahkan oleh Ammatoa. Seperti diketahui sebelumnya bahwa orang yang berhak tinggal didalam kawasan adalah mereka yang masih mau patuh terhadap aturan adat sedangkan yang mereka yang tidak mau patuh pada aturan adat harus tinggal di luar kawasan adat.
Secara umum, meskipun dalam desa Tana Towa terdapat dua kelompok masyarakat yang terpisah secara teritorial, mereka tetap berada dalam satu ikatan keluaraga yang masih sama-sama mengakui kepemimpinan Ammatoa sebagai pemimpin bagi masyarakat Adat desa Tana Towa khususnya bahkan kepemimpinan Ammatoa ini masih diakui dalam lingkup Kecamatan Kajang pada umumnya. Ammatoa tetap merupakan tokoh kharismatik yang mempunyai fungsi khas sebagai Tu nila’ langngi (suri teladan).
Namun demikian kekuasaan dalam hal ini haruslah bisa ditoleransi secara sosial karena antara pamong desa, dan semua pemimpin desa, lahir dan besar di desa serta merupakan anggota komunitas yang menentukan batas-batas sosial dari moral mereka. Kekuasaan dalam hal ini haruslah dibenarkan secara kultural.
KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan kekuasaan yang terbangun antara pemerintah desa dan masyarakat desa Tana Towa telah membentuk pola kekuasaan yang kurang seimbang. Hal tersebut bisa dilihat di satu sisi kekuasaan adat dengan lembaga adatnya telah mengalami suatu pergeseran kekuasaan atau dengan kata lain porsi kekuasaan mereka dalam masyarakat desa Tana Towa mengalami penurunan padahal mereka membentuk struktur kekuasaan (sistem pemerintahan tradisonal) dalam masyarakat sejak dari dulu jauh sebelum pemerintah desa (dinas) masuk kedesa tersebut dan di sisi yang lain terdapat kekuasaan pemerintah desa yang mendapat porsi kekuasaan lebih besar. Efek ambivalensi kekuasaan tersebut telah mempertajam kondisi konflik antara pemerintah dan komunitas adat, setidaknya indikasi tersebut terlihat ketika dalam komunitas adat Ammatoa Kajang terjadi suatu bentuk pertentangan antara hukum adat dan pengaruh dari luar, baik itu pemerintah maupun lingkungan di sekitar kawsan adat. Kondisi pertentangan yang terjadi dalam komunitas Adat Ammatoa Kajang tersebut paling tidak disebabkan komunitas adat tersebut telah memiliki suatu struktur adat tersendiri dan aturan adat tersendiri dalam mengatur komunitasnya. Akan tetapi, jika diperhadapkan dengan program pemerintah, pemerintah memilki aturan dan kekuasaan yang lebih besar. Akibanya kemudian adalah terjadi yang namanya porses atau bentuk-bentuk dialog antara pihak adat dan pemerintah. Proses dialog tersebut kemudian melahirkan bentuk-bentuk negosiasi dan resistensi. Bagi komunitas adat, siapa saja yang masuk dalam kawasan tersebut haruslah mematuhi aturan-aturan adat siapapun orangnya.
Fenomena kekuasaan pada tingkat desa tampak bahwa dominasi kekuasaan tertentu mengakibatkan telah mengubah struktur kekuasaan khususnya pada tingkat desa. Hal ini terlihat dengan jelas ketika keterlibatan lembaga adat setempat kurang punya akses dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah keberadaan lembaga adat (pemimpin informal) berada pada posisi subordinan. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat ketika terjadinya pergeseran kekuasaan pada tingkat desa. Digalakkannya otonomi desa merupakan harapan untuk menumbuhkan kearifan-kearifan lokal demi terwujudnya demokrasi di tingkat lokal. Tapi ternyata program tersebut masih menyisakan berbagai persoalan pada tingkat desa. Indikasi tersebut terlihat ketika antara pemerintah desa belum mampu merespon aspirasi masyarakatnya. Sehingga aspirasi masyarakat sudah terhenti baru pada tingkat desa. Keadaan tersebut juga akan semakin mempertajam pergeseran kekuasaan antara pemerintah desa dan adat.
Adanya dua bentuk kekuasaan yang ada pada tingkat desa setidaknya telah mengakibatkan dua kondisi yang semakin mempertajam arus konflik. Pertama, terjadinya tarik menarik kekuasaan yang kemudian mengakibatkan salah satu dari pemegang kekuasaan tersebut mangalami kemunduran. Kedua, silih bergantinya peranan pada tingkat desa. Hal ini dianggap wajar karena dalam masyarakat tersebut terdapat dua golongan sosial yang ingin mempertahankan sistem politiknya masing-masing.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 32/2004 masih belum banyak membuat banyak perubahan yang cukup signifikan. Bahkan fenomena pemerintahan di desa Tana Towa masih menempatkan adat sebagai subordinat dari pemerintah desa. Kepala Desa masih banyak mengambil alih kebijakan pada tingkat desa. Keadaan seperti ini sangat kontras dengan sistem kekuasaan desa Tana Towa sebelum Undang-Undang No. 5/1979 yang masih menempatkan pimpinan adat sebagai pengayom dan pemberi legitimasi dalam kehidupan bermasyarakat. Undang-Undang No. 5/1979 maupun UU No. 32/2004 tampak bahwa kedudukan pimpinan adat dijadikan sebagai jalur konsultatif saja dalam sturuktur kekuasaan pada tingkat desa.
DAFTAR PUSTAKA
Antlov, Hans, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Budiman, Arif, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996.
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi, Jakarta: Desantara, 2002.
Fakih, Mansur, (ed.), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Foucault, Michel, Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan, Yogyakarta: Bentang, 2002.
Juliantara, Dadang, Pembaruan Desa; Bertumpu yang Terbawah, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Karim, Abdul Gaffar, (ed.)., Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Katu, Samiang, Pasang ri Kajang: Kajian Tentang Akomodasi Islam Dengan Budaya Lokal di Sulawesi Selatan, PPIM, IAIN Alauddin Makassar, 2000.
Usman, Sunyoto, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Rozaki, Abdur, (ed.), Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press, 2004.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta, LP3ES, 1983.
Santoso, Purwo, (ed.), Pembaharuan Desa secara Partisipatif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.
Nuruddin, Vina Salviana DS., dan Deden Faturrohman, Agama Tradisional; Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKIS, 2003.
Syaukani, HR, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Team Work Lapera, Politik Pemberdayaan: Jalan Menuju Otonomi Desa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.
Wawancara Langsung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar