Minggu, 31 Oktober 2010

FENOMENA PERWAKILAN POLITIK DI INDONESIA


Oleh: Syahrir Karim

Pengantar
Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Negara sangat bertumpu pada institusi perwakilan formal ini. Wakil rakyat dipilih lewat mekanisme pemilu untuk menjadi pejabat politik dan publik yang diberi basis legitimasi untuk bertindak atas nama rakyat dan negara. Mereka dievaluasi setiap periode tertentu lewat mekanisme pemilu. Prosedur-prosedur diciptakan sedemikian rupa agar rakyat dapat mengevaluasi secara baik. Oleh karena itu, maka dalam proses perwakilan ini setiap wakil perlu menentukan posisi yang tepat terhadap terwakil manakala ia terlibat dalam suatu pemecahan masalah. Pentingnya penentuan tersebut justru karena sikap dan pilihannya terhadap alternatif pemecahan atau terhadap prioritas pemecahan masalah pada dasarnya adalah mengatasnamakan opini aspirasi dan kepentingan. Posisi wakil terhadap terwakil tersebut merupakan hakikat dari perwakilan politik itu sendiri.
Persoalan hubungan antara wakil dengan rakyatnya yang diwakili telah menjadi persoalan politik klasik dalam sistem perwakilan politik di Indonesia. Beberapa studi hubungan antara rakyat dan wakil rakyat umumnya menyimpulkan bahwa masyarakat umum tidak mengenal wakilnya yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat. Masyarakat kebanyakan mengenal partainya yang didukung.
Oleh karena itu dalam konteks Indonesia, paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam sistem perwakilan politiknya. Pertama, sejauhmana para wakil itu mampu membangun relasi lebih baik dengan mereka yang diwakili atau rakyat umumnya? Jawabannya, terkait substansi kepartaian/perwakilan. Kedua, sejauhmana para wakil di lembaga perwakilan memiliki tingkat keterwakilan (representativeness)? Jawabannya, tidak akan terlepas dari masalah sistem pemilu (electoral system) dalam hal ini proses politiknya.
Memahami Teori Perwakilan Politik
Sistem perwakilan politik formal di Indonesia bisa dilihat dalam beberapa jenis: (1.) Perwakilan kekuatan politik dalam territori tententu (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota); (2.) Perwakilan Territori (DPD); (3). Eksekutif bagi territori seluruh wilayah nasional (Presiden dan Wapres); dan (4.) Eksekutif bagi territori daerah (Gubernur/Wagub, Walikota/Wawali, dan Bupati/).
Terlihat jelas bahwa perwakilan politik di Indonesia mempunyai klasifikasi tingkatan wilayah tersendiri. Secara teoritis perwakilan pada dasarnya adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara individu-individu, yakni pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili, dimana orang yang mewakili memiliki sederajat kewenangan. Perwakilan merupakan proses hubungan manusia dimana seseorang tidak hadir secara fisik tapi tanggap melakukan sesuatu karena perbuatannya itu dilakukan oleh orang yang mewakilinya (Sanit: 54;1985).
Perwakilan politik adalah individu atau kelompok orang yang dipercayai memiliki kemampuan dan berkewajiban untuk bertindak dan berbicara atas nama satu kelompok orang yang lebih besar. Dengan demikian indikator yang bisa digunakan untuk melihat apakah seorang wakil dinilai representatif oleh orang yang mewakilinya adalah:
a. Memiliki ciri yang sama dengan konstituen (pemilih)
b. Memiliki ekspresi emosi yang sama dengan emosi konstituen
c. Intensitas komunikasi yang tinggi dengan konstituen (Sanit:54;85)
Dalam hal yang sama, Sartori mengemukakan 7 ( tujuh) kondisi yang mengindikasikan telah terwujudnya perwakilan politik dalam mekanisme pemerintahan:
a.Rakyat secara bebas dan periodik memilih wakil rakyat (The people freely and periodecally ellect a body of representative).
b.Pemerintah bertanggungjawab kepada pemilih (The govermors are accountable or responsible to the governed).
c. Rakyat merasa sebagai negaranya (The people feel the same as the state),
d.Rakyat patuh pada kepada keputusan pemerintahnya (The people consent to the decisions of their governors),
e.Pemerintah adalah wakil yang melaksanakan intruksi dari para pemilihnya (The governors are agent or delegates who carry out the instruction received from their electors).
f.Rakyat yang menentukan membuat keputusan-keputusan politik yang relevan (The people there, in some significant way, in the making of relevant political ),
g.Pemerintah adalah contoh wakil dari rakyat (The governors are a representative sample of the governed) (Sartori:68;468).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perwakilan politik dapat didefinisikan sebagai pelimpahan sementara atas kewenangan politik warga negara kepada (sekelompok) orang yang mereka pilih secara bebas, untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan rakyat yang secara jelas dirumuskan.
Sedangkan varian perwakilan menurut Hoogerwerf dalam sudut pandang hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe:
a.Tipe Utusan.
Yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari pihak yang diwakilinya.
b.Tipe Wali.
Yakni wakil memperoleh kuasa penuh dari pihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas dasar pertimbangan sendiri. Dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pihak yang diwakilinya.
c.Tipe Politics.
Yakni kombinasi antara tipe utusan an tipe wali.Tergantung pada situasi, wakil kadang harus berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan.
d.Tipe Kesatuan.
Yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat, tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka.
e.Tipe penggolongan.
Yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebaga wakil dari kelompok teritorial, sosial, dan politik tertentu (Sartori:68;468).
Dari klasifikasi Hoogerwerf ini tampak bahwa para wakil Indonesia berada pada situasi dilematis. Di satu sisi, mereka dapat dimasukkan sebagai tipe kesatuan. Di lembaga perwakilan, para wakil rakyat harus lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tanpa memandang pengelompokan politik yang ada. Pada sisi yang lain, ada ikatan yang sangat erat antara para wakil rakyat dengan organisasi politiknya, bahkan dengan kelompok teritorialnya atau daerahnya.
Wakil yang “benar” dalam sudut pandang cita-cita demokrasi adalah wakil tipe kesatuan (integrated). Alasan yang bisa dikemukakan adalah bahwa mandat representatif dimiliki oleh tipe kesatuan seperti dikemukakan oleh Hoogerwerf. Partai politik dalam hal ini hanyalah alat atau “kendaraan” yang digunakan oleh orang untuk menjadi wakil rakyat. Lembaga Perwakilan (DPR) merupakan arena dimana dia berbuat atas nama dan kepentingan rakyat yang diwakili. Bahkan pada saat dia beraktivitas sebagai wakilnya rakyat, tidak relevan bila dikaitkan dengan alat atau “kendaraan” yang digunakannya selama ini.
Selanjutnya, ada dua teori klasik yang sangat dikenal dalam politik tentang hakikat hubungan antara wakil (legislator) dengan terwakil (rakyat) yakni teori mandat (fungtional Representation) dan teori kebebasan (Political Representation). Pertama, Teori Mandat. Menurut teori mandat ini yang pertama kali diperkenalkan oleh J.J. Russeau, bahwa wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Maka seharusnya wakil selalu memberikan pandangan bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, pandangan wakil secara pribadi tidak diperkenankan dan dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil bagi terwakil. Bila terjadi perbedaan pandangan, sikap dan tindakan antara wakil dengan pihak yang diwakili dapay berakibat turunnya reputasi wakil. Teori ini dianggap lebih menguntungkan karena wakil dapat dikontrol secara setiap saat.
Kedua, Teori Kebebasan (Political Representation). Pendapat ini dikembangkan oleh Abbe Sieyes di Perancis, serta Block Stone di Inggris. Menurut teori ini, wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung instruksi yang diberikan oleh pihak yang diwakilinya. Wakil merupakan orang yang terpercaya, terpilih, serta memiliki kesadaran akan hukum dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Oleh sebab itu mereka dapat melakukan tindakan apa pun atas nama mereka. Dalam hal ini terwakil telah memberikan kepercayaan kepada wakilnya. Karena itu pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan aspek yang terikat kepada masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil.
Substansialisasi Lembaga Demokrasi dan Proses Politik.
Bahwa saat berbicara tentang demokrasi dalam perpolitikan modern mau tidak mau harus berbicara tentang sistem perwakilan. Demikian halnya saat hendak memperbaiki sistem dan kualitas demokrasi di Indonesia, maka tidak akan lepas dari perbincangan tentang sistem perwakilan (politik) yang dimiliki.
Sistem demokrasi modern dalam perkembangannya terlihat jelas bahwa keberadaan lembaga perwakilan politik, dalam hal ini parlemen atau lembaga legislatif, merupakan prasyarat penting dari sebuah negara demokratis. Akan tetapi, ukuran demokrasi -perwakilan- tidak berhenti pada “keberadaan”nya semata, namun sesungguhnya lebih jauh menekankan pada tingkat dan kualitas keterwakilan lembaga perwakilan politik tersebut. Konsep perwakilan politik didasarkan pada konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Kualitas keterwakilan itu akan ditentukkan oleh sejauhmana lembaga perwakilan politik itu menjalankan fungsi-fungsi utamanya sebagai perwakilan politik rakyat (legislatif).
Sistem perwakilan politik itu sendiri tidak akan terlepas dari pada pembahasan mengenai sistem demokrasi, karena perwakilan politik beranjak dari pada perkembangan sistem demokrasi. Bahwa demokrasi dibangun dengan proses yang panjang, awalnya masyarakat mengenal demokrasi dengan mempraktekkan sistem demokrasi langsung dimana setiap individu yang dikategorikan dewasa, berhak ikut serta di dalam parlemen (Haris:2008). Pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang kian hari semakin banyak maka sistem perwakilan demokrasi yang lama (demokrasi langsung), kurang sesuai jika diterapkan pada negara yang jumlah penduduknya banyak. Maka solusinya dengan sistem demokrasi pewakilan dimana sejumlah warga negara yang memiliki berbagai kepentingan yang tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu kemudian memberikan kedaulatan dirinya kepada individu atau partai politik yang ia percayai, melalui pemilihan umum. Sehingga inti dari pada pemikiran sistem demokrasi perwakilan adalah sama dengan sistem demokrasi langsung yakni menyuarakan aspirasi atas kepentingan individu, kelompok dan masyarakat dalam satuan distrik maupun nasional, dengan cara individu/rakyat memberikan kepercayaannya pada seseorang/lebih yang nantinya menjabat posisi posisi pemerintahan maupun duduk di parlemen (legislatif) (Raga Maran:202;2001).
Di Indonesia selama masa reformasi (1998-2009) jelas terlihat bahwa transisi demokrasi berjalan begitu lambat dan terhambat, dan salah satu penyebabnya adalah karena bekerjanya sistem politik-demokrasi di Indonesia selama ini berhenti di tingkat prosedural. Indonesia disibukkan dengan aneka pesta politik-demokrasi, misalnya: menjamurnya pendirian partai politik (1998) dan pemilu dipercepat (1999), amandemen I-IV UUD 1945 (1999-2002), membentuk puluhan komisi kuasi negara (1999-2006), perubahan sistem pemilu DPR-DPRD dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka (2004), Pilpres secara langsung (2009) dan Pilkada langsung (2005-2009). Akan tetapi semua perubahan dan bentuk politik-demokrasi itu hanya berhenti di tingkat prosedural-mekanistik dan lupa dengan isi. Semuanya terjebak dalam pusaran prosedural dengan melupakan substansi dari sistem politik-demokrasi itu sendiri.
Ada dua kategori dasar dalam demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Dalam kategori demokrasi langsung setiap warga negara dapat ikut serta dalam pembuatan keputusan negara, seperti halnya pada peristiwa di Athena kuno dimana mereka dapat menjalankan sistem ini, dengan di hadiri kurang lebih 5000-6000 orang majelis, dalam merumuskan suatu permasalahan diantara mereka. Dalam hal ini demokrasi dengan sistem langsung ini kurang sesuai bila mana diterapkan dalam suatu negara dengan jumlah penduduk yang banyak seperti yang telah dibahas sebelumnya. Sedangkan untuk kategori kedua adalah demokrasi perwakilan yang mengandung pengertian sejumlah warga negara yang memiliki berbagai kepentingan dan tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu kemudian memberikan kedaulatan dirinya kepada individu atau partai politik yang ia percayai, melalui pemilihan umum.
Kedepan, perwakilan politik di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu antara lain, faktor struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”); faktor institusional (pengaturan pemilu); dan behavioral (perilaku politisi dan pemilih). Pada faktor struktural dalam hal ini sistem kepartaian, akan sangat tergantung pada jenis kepartaian yang dilakukan. Jenis sistem kepartaian memiliki pengaruh besar terhadap masa depan keterwakilan politik di Indonesia. Beberapa pakar politik menilai bahwa jumlah partai yang terlalu banyak akan membuat kebijakan publik tidak focus dan terfragmentasi. Perdebatan menjadi teknis dan tidak efektif serta kebijakan public akan habis terkuras untuk kebutuhan jangka pendek. Pada saat yang sama, jumlah yang terlalu sedikit akan menimbulkan dominasi, hegemonisasi, serta berkurangnya kompetisi. Minimnya kompetisi akan memberi peluang munculnya kolusi dan oligarki. Sebagai solusi, bahwa sistem kepartaian ini bisa dimungkinkan dengan berbagai political engineering, antara lain memperketat aturan sistem kepartaian dan membangun korelasi yang kuat antara lain sistem pemilu, partai politik, mekanisme pra-pencalonan dan elemen teknis pemilu lainnya seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara.
Dalam pendefenisian partai politik dapat diartikan sebagai kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik-(biasanya) dengan cara konstitusional-untuk melaksanakan programnya (Miriam:203;2008. Dengan pengertian ini, maka partai politik merupakan satu-satunya media yang cukup urgen di antara kelompok-kelompok, rakyat dan pemerintah dalam suatu tatanan demokrasi. Lewat partai politik, pemimpin mampu mendapatkan dukungan masyarakat dan mendapatkan sumber-sumber kekuatan baru, sedangkan rakyat dapat memusatkan kritikan dan sekaligus harapannya pada organisasi ini.
Selanjutnya, partai politik juga merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern (Amal:xi;1988). Partai politik adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Topik pembicaraan yang paling dekat dengan organisasi partai politik adalah metode seleksi kandidat partai untuk pemilihan pejabat publik (Epstein:205;1975). Partai politik dalam hal ini adalah agen utama dalam proses rekrutmen pemimpin politik. Hal penting dalam mengurai partai politik adalah seleksi calon pemimpin utusan rakyat melalui partai politik. Maka Partai politik dalam hal ini bertindak sebagai instrumen perwakilan dan sarana untuk menjamin pergantian pemerintahan secara teratur dan tanpa pergolakan yang dapat menghancurkan keseluruhan sendi-sendi masyarakat dan negara yang sudah baik.
Pencalonan anggota legislatif oleh partai politik secara umum mencakup tiga tahap penting, yaitu (1) penjaringan calon; (2) penyaringan dan seleksi calon yang telah dijaring; (3) penetapan calon berikut nomor urutnya. Seleksi para calon ini dilakukan dengan dua cara, yaitu : (1) seleksi dilakukan oleh atau bersama dengan suatu tim seleksi yang dibentuk oleh partai politik; atau (2) seleksi dilakukan melalui struktur dan mekanisme partai politik sendiri.
Selanjutnya pada faktor institusional (pengaturan pemilu), Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tercantum bahwa “ Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan dilakukan melalui Sistem Perwakilan. Oleh karena itu, diperlukan majelis, yang merupakan jelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Tatapi, proses penentuan dalam membentuk dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata bersifat formal-legalistik atau yuridis, melainkan merupakan proses politik dimana kepentingan merupakan penentu utama. Bahwa yang harus diingat adalah dalam politik selalu berhubungan dengan kepentingan (interest) (Afan:281;2002).
Kedaulatan rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Kedaulatan rakyat melalui demokrasi dengan perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya adalah melalui mekanisme pemilu. Sistem pemilu merupakan sarana paling awal untuk menentukan sistem perwakilan yang dikehendaki. Oleh karena itu, untuk mendapatkan sistem perwakilan yang dikehendaki akan sangat ditentukan oleh sistem pemilunya.
Dampak substansial terhadap hasil pemilu maupun karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya akan sangat tergantung dari sistem pemilu (Evans:12;1999). Pilihan atas sistem pemilu dapat secara efektif menetapkan siapa yang terpilih dan partai mana yang memperoleh kekuasaan, serta jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu diterjemahkan ke dalam banyaknya kursi di parlemen. Sistem pemilu juga sangat mempengaruhi jenis sistem kepartaian yang berkembang, khususnya jumlah dan ukuran relatif partai politik di parlemen. Sistem pemilu juga dapat mendorong atau menghambat pembentukan aliansi di antara partai-partai, dan bisa juga memberi rangsangan kepada beberapa kelompok agar lebih bersikap akomodatif atau memberi dorongan pada partai-partai untuk menghindari perselisihan berdasarkan ikatan kesukuan atau kekerabatan yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya bahwa sistem pemilu yang berdasarkan hasil kesepakatan publik yang dilakukan transparan dan melibatkan partispasi publik dimungkinkan akan bertahan lama dan berhasil. Rancang bangun suatu sistem pemilu seyogyanya perpihak pada aspek-aspek politik, kultural dan historis. Karena itu dalam merancang sistem pemilu perlu melibatkan pakar politik, antropolog, sosiolog dan juga sejarawan.
Sistem pemilu dirancang untuk mengimplementasikan tiga mandat penting (Reinolds:101;2001). Pertama, menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Kedua, sistem pemilu bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil rakyat yang telah terpilih. Ketiga, sistem pemilu mendorong pihak-pihak yang bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.
Secara teoritis, sistem pemilu dikenal ada tiga kelompok utama, yaitu sistem pluralitas-mayoritas, semi-proporsional, dan perwakilan proporsional. Di Indonesia, perdebatan yang sering muncul terkait dengan sistem pemilu, umumnya didominasi perdebatan apakah Indonesia akan menganut sistem distrik (pluralitas-mayoritas), ataukah akan menganut sistem perwakilan proporsional. Diantara dua sistem tersebut tentu memiliki sejumlah keunggulan dan kelemahan. Sistem pluralitas-mayoritas dinilai memiliki keunggulan karena memiliki kejelasan kepada siapa pemilih nantinya akan meminta pertanggungjawaban atau memberikan hukuman, karena sistem ini pada tiap distrik (daerah perwakilan) hanya akan diwakili oleh wakil tunggal. Tentu sebagai konsekuensi sistem pluralitas-mayoritas adalah tidak semua kelompok masyarakat terwakili, dan ini dinilai sebagai kelemahan sistem ini. Sebaliknya sistem proporsional dinilai unggul karena akan mengakomodasi keberagaman perwakilan secara proporsional dari tiap distrik, termasuk kelompok minoritas dan perempuan. Sistem proporsional dikritik karena tidak jelasnya kepada siapa pertanggungjawaban akan dimintakan, mengingat banyaknya wakil dari tiap distrik.
Dalam konteks Indonesia pengaturan pemilu dipenuhi oleh upaya penegasian (persyaratan ikut pemilu dan sistem pemilihan) menimbulkan implikasi kesulitan menerapkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya konsistensi dan kredibilitas dari kekuatan politik dan calon wakil rakyat. Hal ini diperparah dari lemahnya komunikasi politik dan kapasitas penyelenggara pemilu. Basis legitimasi representasi formal adalah proses politik yang bernama pemilu. Apabila informasi tentang kandidat terbatas dan penyelenggara tidak kredibel, maka pemilu tidak akan mampu menghadirkan representasi formal secara baik (Erawan:2;2008).
Pengaturan sistem pemilu sangat penting dan dapat membawa dampak yang substansial terhadap hasil pemilu maupun karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya (Evans:12;1999). Dalam merancang sistem pemilu setidaknya memiliki 6 misi, yang salah satu di antaranya adalah.keterwakilan (Pipit: 84;2004). Keterwakilan dalam hal ini memiliki 3 arti : (1) keterwakilan bagi seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok minoritas dan kelompok perempuan dalam lembaga perwakilan; (2) keadilan yang berarti bahwa keterwakilan itu merupakan pendekatan cerminan kekuatan kepentingan dan politik masyarakat dalam lembaga perwakilan. Tolok ukur keterwakilan adalah perbandingan perolehan suara dengan kursi yang memadai; (3) seberapa jauh rakyat dapat mempengaruhi proses penentuan calon dan tingkatan jalinan hubungan antara pemilih dengan anggota lembaga perwakilan.
Salah satu pilar demokrasi adalah pemilu, namun hanya mengandalkan pemilu menjadi demokratis lantaran diikuti oleh banyak partai agaknya tidak cukup buat mengembangkan proses demokratisasi (Pipit:125;2003). Sebagai dasar pertimbangan bahwa di negara demokratis, ada syarat lain yang harus dipenuhi, yakni peserta pemilu harus memiliki struktur organisasi yang demokratis pula. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi sistem pemilu Indonesia yang menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, maka sudah menjadi keharusan bagi partai politik melakukan proses seleksi calon secara internal dengan menggunakan mekanisme yang demokratis dan transparan yang berarti bahwa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat .
Pemilu yang adil dan demokratis diharapkan dapat menjadi alat sirkulasi kepemimpinan politik yang elegan sekaligus dapat mengejawantahkan aspirasi dan keterwakilan politik di parlemen (DPR/DPRD) dari semua elemen dalam masyarakat: etnis, agama, kaum perempuan, diffable, kelompok kepentingan dan lain-lain.
Kesimpulan
Memperbincangkan keterwakilan politik adalah bagaimana membangun relasi yang lebih baik antara para wakil dan yang terwakili. Pada masa pemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar trustee, di mana para wakil berjalan sendiri seolah-olah telah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Pascapemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar politico karena para politisi bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, berdasarkan situasi yang berkembang saat itu.
Untuk mendapatkan kualitas, peran dan fungsi perwakilan rakyat seharusnya menjunjung tinggi amanat rakyat, seharusnya para wakil rakyat dapat peka terhadap rakyat yang diwakili, seperti halnya rakyat telah memberikan kepercayan dan hak-hak kebebasannya berpendapatnya. Arti perumpamaan wakil rakyat memiliki makna yang luas, perumpamaannya meliputi keinginan masyarakat yang diwakili yang pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda beda. Untuk itu mereka yang di pilih sebagai wakil rakyat seharusnya menjunjung tinggi etika profisional kerja, sebagai etika moral yang berjuang memenangkan kepentingan-kepentingan politik rakyat itulah yang merupakan harapan dari pada rakyat dalam suatu sistem perwakilan demokrasi modern saat ini.
B. Saran.
Mendiskusikan tentang perwakilan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk terlebih dahulu mendiskusikan tentang urgensi perwakilan politik itu sendiri. Konsep keterwakilan secara politik harus betul-betul mengedapankan substansi daripada hanya memaknainya secara prosedural saja. Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai sebuah perwakilan politik yang berkualitas, yaitu:
1. Bahwa sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten dan pemilih yang dinamis, menyebabkan konsepsi dan praktek representasi politik formal menjadi problematik. Oleh sebab itu, beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk setidaknya mengurangi masalah tersebut adalah faktor struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”); faktor institusional (pengaturan pemilu); dan behavioral (perilaku politisi dan pemilih).
2. Prospek keterwakilan politik dalam hal ini lembaga perwakilan politik akan sangat tergantung pada sejumlah korelasi kuat antara lain sistem pemilu, partai politik, mekanisme pra-pencalonan dan elemen teknis pemilu lainnya seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kajian terhadap semua elemen yang ada sehingga hubungan sistem pemilu berjalan dengan baik.
3. Konsep demokrasi haruslah dimaknai sebagai sebuah proses atau alat untuk menuju masyarakat yang dicita-citatakan, bukan sebagai tujuan akhir.
Pada akhirnya untuk mewujudnya secara maksimal kulaitas keterwakilan politik di parlemen masih memerlukan kerja keras dan berbagai varian strategi yang cerdas, yang tentu saja harus melibatkan masyarakat untuk ikut berperan aktif di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul. (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1988.
Asfar, Muhammad, (ed) et.all. Model-model system Pemilihan di Indonesia. Surabaya: Pusdeham-Partnership for Governance Reform.2002.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Greenstein, Fred I. and Nelson W. Polsby (eds.), 1975, Handbook of Political Science Volume 4: Nongovernmental Politics, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. 1975
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cet. I; Jakarta: Gramedia, 2008.
Kartawidjaja, Pipit R. dan Mulyana W. Kusumah, Kisah Mini Sistem Kepartaian, Jakarta : Seven Strategic Studies-Closs, 2003
Martin Lipset, Seymour. (ed.), The Encyclopedia of Democracy, Volume II, Washington D.C. : Congressional Quarterly Inc..1995.
Nusa Bhakti, Ikrar dan Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, Bandung : Mizan, 2001.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. 1985
Saragih, Bintan R., Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia. Jakarta: Perintis Press. 1985.
Sartori, Giovanni. The Theory of Democracy Revisited, Part One, Chatham, NL, House Publisher, Inc. 1968.
Suryakusuma, Julia I. Almanak Parpol Indonesia Pemilu 1999, Jakarta : Almanak Parpol Indonesia, 1999
Makalah, Artikel/Opini
Haris, Andi. “Di Balik Optimisme Perwakilan Politik”, Fajar, 12 November 2008.
Riewanto, Agus. “Keterwakilan Politik Perempuan di Parlemen Tahun 2009”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ke XXIII di Makassar, 11-12 November 2008.
Putera Irawan, I Ketut. “Masa Depan Perwakilan Politik di Indonesia:Sistem Kepartaian, Pengaturan Pemilu, Perilaku Politisi dan Dinamika Pemilih”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ke XXIII di Makassar, 11-12 November 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar