Minggu, 31 Oktober 2010
MASYARAKAT ADAT AMMATOA DALAM PUSARAN DESENTRALISASI
Oleh: Syahrir Karim
Pengantar
Masyarakat adat telah diakui keberadaannya baik secara nasional yang tertuang dalam UUD 1995 maupun internasional yang tertuang dalam konvensi Internasional tentang Draf deklarasi masyarakat adat (1993) dan konvensi Internasional Labour Organization (ILO) 169 tahun 1998 menyangkut bangsa pri-bumi dan masyarakat adat di Negara merdeka.
Konvensi ILO 169 dan UUD 1945 secara prinsip telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Tapi beberapa tahun terakhir pemerintah tidak konsisten menerapkannya. Hal tersebut ditandai dengan beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Melalui kebijakan yang jauh dari asas keadilan, pemerintah telah mengaburkan hak-asal usul, hak atas wilayah adat, sampai pada peminggiran kebudayaan mereka yang khas. Contoh kongrit dari kebijakan pemerintah tersebut adalah produk Undang-Undang No. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Dalam Undang-Undang ini, praktis wilayah adat dibangun atas dasar kesatuan genelogis, lalu diganti dengan pembentukan desa secara administratif. Akibatnya adalah norma-norma sosial tradisional serta lembaga-lembaga adat secara formal semakin tersisih oleh aturan-aturan hukum dan lembaga pemerintahan yang baru. Meskipun harus diakui juga bahwa baik norma-norma maupun lembaga-lembaga tradisional itu dalam banyak hal sebenarnya masih dibutuhkan, baik dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial maupun dalam upaya menjamin keserasian hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Tulisan ini adalah hasil penelitian yang dilaksanakan di Kab. Bulukumba tepatnya di Desa Tana Towa tempat bermukimnya komunitas adat Ammatoa Kajang. Penelitian ini sebagian besar diambil dari wawancara mendalam dan observasi. Karena itu, data yang penulis kumpulkan sebagian besar bersifat kualitatif. Data (primer) dalam studi ini kebanyakan diambil dari wawancara dengan unsur pemerintah, pemangku adat, masyarakat setempat dan dari kalangan intelektual. Dalam penelitian ini penentuan informan akan ditentukan berdasarkan prinsip representatif. Artinya bahwa semua responden betul-betul dianggap bisa dimintai dan diterima keterangannya. Selanjutnya dalam proses analisa data meliputi menelaah seluruh data yang telah tersedia, mereduksi data, display data, mengkategorisasikan data lalu kemudian menarik kesimpulan
Struktur Kekuasaan Tradisional Desa Tana Towa
Secara tradisional masyarakat desa Tana Towa telah mengenal lembaga sosial desa yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Ammatoa yang dibantu dengan beberapa orang dalam mengurusi pemerintahannya yang disebut dengan Ada’ limayya karaeng tallu. Keberadaan Lembaga adat ini masih ada sampai sekarang dan masih mempunyai kewenangan/kekuasaan untuk menentukan dan memberikan sangsi kepada masyarakatnya.
Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi dalam masyarakat tersebut tentu punya andil yang besar dalam mengurusi masyarakatnya. Ammatoa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Adat di wilayah kamase-masea dalam menunaikan tugas yang diamanahkan oleh Tau Rie’a A’ra’na dibantu oleh sejumlah perangkat adat terdiri dari ada’ limayya, Karaeng tallua, Lompo Ada’, dan aparat adat lainnya.
Dalam komunitas adat Ammatoa dikenal pula struktur organisasi yang membentuk sistem pembagian fungsi dan tugas dalam urusan pemerintahan adat. Hal ini dikenal dalam pasang;
Amma’ mana’ ada’ : Amma melahirkan ada
Amma mana’ Karaeng : Amma melahirkan pemerintah
Untuk melihat lebih jelas struktur organisasi kekuasaan adat Tana Towa bisa dilihat bagan berikut:
Struktur Organisasi Kekuasaan Adat Desa Tana Towa
ANRONGTA ---Anrongta(Penasehat
KARAENG (Kajang, Tambangang dan Ilau).
GALLARANG (Galla Lombo,Puto,Pantama,Anjuru dan Kajang)
KOMUNITAS ADAT
Keterangan:
= Hubungan Konsultatif
= Hubungan Komando
Dari bagan di atas nampak jelas bahwa Ammatoa merupakan pemimpin adat komunitas adat di Desa Tana Towa. Dan para pembantu-pembantunya disebut dengan Ada’ lima Karaeng Tallu. Ada’ limayya merupakan para pembantu Ammatoa dalam mengurusi masalah adat (ada’ pallabakki cidong). Sedangkan Karaeng tallu merupakan tri tunggal dalam bidang pemerintahan, dan dikenal dengan “tallu karaeng mingka se’reji” yang berarti bahwa kalau salah satu di antara ketiganya tidak hadir dalam suatu upacara adat, maka karaeng tallu dianggap telah hadir.
Dalam masyarakat Ammatoa, meskipun mereka mengenal struktur pemerintahan sekarang ini mulai dari RT, RK, Lingkungan (Dusun), Desa (Kelurahan), Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden sebagai pemimpin formal, namun kedudukan Ammatoa sebagai pemimpin adat di dalam kawasan dalam (ilalang embaya) sangat dihormati. Ammatoa bertindak sebagai pemimpin informal yang juga berfungsi sebagai tokoh masyarakat yang memiliki kharisma yang punya nilai lebih dibanding yang lainnya. Antara pemimpin formal dan informal selama ini masih terjalin dengan baik. Bila ada suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat adat akan diselesaikan pada tingkat pemerintah. Begitupun sebaliknya, bila ada masalah yang tidak bisa diselesaikan di tingkat pemerintahan Desa/Kelurahan, Lingkungan/Dusun dapat dibawa ke adat untuk mendapatkan penyelesaian. Hal ini bisa dimengerti karena jabatan pemerintahan di tingkat Desa, kampung pada umumnya juga berfungsi sebagai pemangku adat yakni para ‘Puto’. Namun demikian masih ada pemisahan wewenang tugas pemerintahan dan wewenang adat. Dalam penyebutan nama misalnya kepala Desa mendapat panggilan “Puang atau Pa’ “ Galla’ Lombo dan Karaeng labbiriya Kajang untuk Pak Camat.
Hubungan Kekuasaan Pada Tingkat Desa
Terjadinya perubahan mendasar dalam lingkungan politik setelah reformasi, terutama setelah dikeluarkannya paket Undang-Undang No. 22/1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah telah menimbulkan pergeseran kerangka paradigmatik di tingkat Negara dalam melihat desa yang berbasis masyarakat adat. Perubahan fungsi dan peranan turut memberikan pengaruh yang besar terutama dalam proses relasi atau hubungan kekuasaan antara pemerintah desa dan masyarakatnya. Di sinilah terjadi proses relasi kekuasaan antara kedua belah pihak. Dalam proses relasi tersebut-antra pemerintah dan masyarakat lokal terjadi suatu bentuk negosiasi, dialog atau bahkan resistensi yang dilakukan komunitas lokal terhadap pemerintah.
Lokalitas, disadari atau tidak merupakan suatu konstruk sosial yang diproduksi dan direproduksi. Lokalitas adalah arena perebutan ruang, sebuah perdebatan, ruang gerak, dan relasi yang memungkinkan berbagai macam pencaharian posisi-posisi yang baru.
Wacana Lokalitas sebenarnya baru muncul ketika angin reformasi melanda negeri ini. Karena ketika masa Orde Baru, bayang-bayang lokalitas hampir tidak pernah muncul kepermukaan. Sekarang wacana lokalitas sudah menampakkan diri ssebagai ruang gerak baru, ruang negosiasi baru, yang memungkinkan munculnya posisi-posisi baru, termasuk yang terkesan meleset dari kebijakan pusat. Hal ini disebabkan karena lokalitas berusaha mencari suatu identitas atas eksistensinya dan identitas tersebut telah mereka dapatkan pada era reformasi yang terbungkus oleh wacana “Human Right”.
Dengan adanya kebangkitan-kebangkitan tersebut dan ditopang oleh suatu kekuatan identitas, maka komunitas-komunitas mikro mendapatkan beberapa pilihan dalam menjalani suatu proses relasi kuasa, apakah lokalitas dapat berdialog dan menerima tawaran-tawaran penguasa, atau mengambil model take and give dengan jalan negosisasi, atau bahkan melawan penguasa dengan jalan resistensi.
Selain proses di atas, terdapat pula bentu-bentuk negosisasi yang terjadi antara masyarakat adat atas dominasi pemerintah. Salah satu penyebab adanya proses dominasi pemerintah adalah adanya pejabat pemerintah (kepala desa) yang juga menjabat pemangku adat.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang adanya pejabat pemerintah yang sekaligus pemangku adat, adalah merupakan suatu momen pemerintah mendominasi masyarakat lokal, tak terlepas komunitas Adat Ammatoa Kajang. Sehingga program-program yang dilancarkan oleh pemerintah mengalir bagai air pada komunitas Adat Ammatoa Kajang.
Kalau dicermati secara mendalam, pemerintah dalam hal ini telah mempergunakan pemimpin-pemimpin yang diakui dan diterima masyarakat desa dengan memeberikan sentuhan legitimasi dan substansi pada kebijakan dan program-programnya. Oleh Hans Antlov (2003:251) momen seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya patronase negara terhadap elit desa. Patronase inilah yang kemudian memberikan kekuatan ganda terhadap para elit desa; yakni dia sebagai pemegang otoritas lokal sebagai sosok yang dihormati dalam masyarakat tersebut dan dia juga punya yirisdiksi administratif dan politik dari jabatan-jabatan resmi. Berbekal kekuatan ganda tersebut, elit desa secara tidak langsung telah menjadi sosok yang semakin penting di dalam proses pembangunan dan stabilitas di dalam komunitas lokal.
Sikap ambivalen yang dilami oleh masyarakat komunitas Adat Ammatoa Kajang yaitu pada satu sisi program tersebut bertentangan dengan tradisi mereka selama ini, sedangkan pada sisi yang lain tim pelaksana dari program tersebut adalah salah seorang pemangku adat yang otomatis harus dipatuhi dan dilaksanakan karena ia pemangku adat.
Dari pandangan di atas, dapat dilihat suatu proses negosisasi yang terjadi dari komunitas adat dan pemerintah. Namun jika diperhatikan, dominasi pemerintah masih besar. Hal ini disebabkan dengan adanya suatu legitimasi oleh komunitas adat Ammatoa Kajang terhadap jabatan struktural maka hal tersebut merupakan suatu pintu bagi pemerintah untuk mensukseskan program-programnya. Dengan program ini maka pembangunan sarana-sarana dan prasarana pendidikan mulai dibangun. Seperti sekolah dasar yang hanya berjarak lima meter dari pintu gerbang kawasan. Dengan masuknya program tersebut, kewajiban memakai pakaian yang berwarna hitam mulai terkikis, hal ini disebabkan karena diwajibkannya anak-anak sekolah untuk memakai warna putih-merah. Dengan sendirinya kodisi seperti ini telah memberikan fenomena baru dalam kawasan Adat Ammatoa Kajang. Di satu sisi, program ini memberikan mamfaat yang begitu besar, terkhusus generasi-generasi pelanjut dalam komunitas tersebut. Di sisi yang lain, komunitas ini mulai terserabut dari akar tradisinya. Bukti bahwa mereka telah terserabut dari akar tradisinya adalah mengenai kewajiban untuk memakai pakaian berwarna hitam. Dengan adanya program ini, anak-anak yang bermukim di kawasan adat telah mamakai pakaian seragam sekolah yang notabene berbeda dengan norma-norma tradisi yang ada dalam lingkungan adat. Sikap resistensi yang selama ini terbangun dengan kokoh, kini hancur dan masuk pada sikap negosiasi yang pada dasarnya merugikan bagi komunitas Adat setempat.
Program Keluarga Berencana (KB) nasional serta beberapa program pembangunan pemerintah secara merata juga ikut membawa perubahan dalam komunitas setempat. Perubahan yang paling menonjol meisalnya adalah adanya perubahan masyarakat dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Hal ini terlihat jelas karena realitas-realitas modern sudah mulai nampak dalam kawasan adat meskipun masih terlihat sedikit.
Relasi kekuasaan dalam kasus ini berpolakan negosiasi, dengan adanya tawar-menawar dari pihak yang mendominasi (pemerintah) dan pihak yang didominasi (Komunitas adat). Bentuk negosisasi tersebut dapat dilihat dari kriteria pemimpin yang dapat diterima oleh komunitas adat yang kemudian dari proses ini terjadi bentuk-bentuk negosiasi dan resistensi dari masyarakat. Kehadiran resistensi sebagai suatu perlawanan masyarakat lokalitas disebabkan adanya hegemoni dari penguasa terhadap masyarakat minoritas. Hal ini sesuai dengan AAGN Ary Dwipayana (2003:347) yang menegaskan bahwa fenomena resistensi ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap dua kekuatan besar, yang bisa saja dibedakan tetapi kehadirannya sering simultan, yaitu rezim modernitas dan negaraisasi (statization). Rezim modernitas dengan kekuatan mengontrol individu dalam komunitas untuk memenuhi standar-standar kehidupan modern melalui berbagai macam proyek pendisiplinan yang kemudian membawa kearah taste of culture yang meniadakan keunikan dan perbedaan. Selanjutnya, identitas kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penolakan terhadap penyeragaman oleh modernitas. Reaksi Negara (statization) sama halnya dengan modernisasi, juga melakukan penyeragaman melalui ‘Negaraisasi” yang menyebabkan marjinalisasi desa adat.
Walupun hegemoni menurut Gramsci berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan paksaan yang kasat mata, melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Akan tetapi, disadari atau tidak, dipaksa atau tidak, hal tersebut merupakan suatu dominasi yang berusaha membentuk suatu konstruk yang mempengaruhi komunitas yang didominasi (Baso, 2002:24).
Sejalan sejak Orde Baru berkuasa nampak telah membuat perubahan (dominasi) yang cukup signifikan dalam struktur kekuasaan khususnya peran lembaga adat setempat. Terutama ketika diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Abd. Kahar Muslim, kepala desa Tana Towa menyatakan bahwa ketika orde baru berkuasa (istilah) gallarang (gelaran) yang berlaku dalam sistem pemerintahan tradisional dihapus dan diganti dengan istilah pemerintah. Struktur kekuasaan adat yang dipimpin oleh seorang Ammatoa praktis banyak terkikis akibat penetrasi negara (pemerintah) yang telah banyak mengambil peran dalam sistem sosial masyarakat setempat sejak diberlakukannya UU No. 5/1979 bahkan sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari beberapa keadaan; pertama, kekuasaan Ammatoa dahulu meliputi seluruh tanah Kajang yang hanya terdiri lima desa yang masing-masing desa diperintah oleh para Galla’ (staf) Ammatoa. Sekarang tanah Kajang sudah mengalami pemekaran sekitar dua puluhan desa yang hampir sebagian besar penduduknya sudah keluar dari pengaruh kekuasaan adat dan pemimpinnyapun tidak lagi harus berhubungan dengan Ammatoa terlebih dahulu.
Kedua, dahulu Ammatoa berhak memecat atau memberhentikan seorang Galla’ atau seorang karaeng (baik kepala Desa maupun Camat) karena itu adalah otoritas Ammatoa. Sekarang hal tersebut tidak lagi terjadi, Ammatoa hanya bisa mencabut gelaran (Gallarang) seorang kepala desa atau camat dan tidak punya lagi wewenang untuk memecat atau memberhentikan. Memberhentikan dan mengangkat seorang Camat misalnya merupakan hak penuh pemerintah tanpa campur tangan adat.
Ketiga, pemerintah membagi dua tempat atau kawasan, yakni kawasan adat dalam (ilalang embayya) yang ikut Ammatoa dengan kawasan luar adat (ipantarang embayya) yang tidak lagi patuh dengan adat. Adanya pembatas kawasan adat tersebut merupakan suatu hal yang sangat ganjil kerena hal tersebut sama saja memecah belah masyarakat adat dan mengurangi kekuasaan seorang Ammatoa.
Fenomena lain yang bisa dilihat ketika kekuasaan adat hampir pudar karena pemerintah terkesan banyak mengambil alih urusan dan kekuasaan adat seperti dapat dilihat dari beberapa kondisi yang ada. Pertama, Kedudukan Ammatoa, baik dilihat dari segi fungsi maupun peran telah mengalami pergeseran. Kedudukan Ammatoa hanya sebatas sosok kharismatik yang hanya mengurusi persoalan akhirat. Selain masalah ukhrawi adalah merupakan hak pemerintah yang mengaturnya. Pola kekuasaan seperti ini bisa dikategorikan sebagai kekuasaan yang bersifat monomorphic, yakni hanya berpengaruh dalam satu bidang saja. Kedua, terjadi semacam pendelegasian wewenang dari kekuasaan adat ke pemerintah. Hal ini terbukti ketika jabatan karaeng tallu dinasionalisasikan baik sistem maupun struktur tata kerjanya menjadi jabatan taktis pemerintah. Praktis bahwa wewenang para pemengku adat sudah beralih fungsi karena keberadaannya sudah masuk dalam struktur pemerintahan. Seperti Galla Lombo sudah beralih nama menjadi Kepala Desa dan Karaeng Kajang sudah menjadi jabatan Camat. Simbol-simbol yang melekat dalam jabatan adat telah diganti kedalam istilah pemerintah.
Terjadinya persoalan seperti di atas merupakan akibat dari struktur sosial yang selama ini mengalami pengkotak-kotakan. Struktur sosial yang memisahkan kepemimpinan adat-kepercayaan dari kepemimpinan adat-pemerintahan dan menempatkan kepemimpinan adat-kepercayaan hanya sebagai pengayom dan tidak berfungsi sebagai pemberi legitimasi penuh terhadap kekuasaan yang ada khususnya dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang. Karena seperti diketahui bahwa ciri sistem sosial yang terbangun sejak dahulu adalah telah menempatkan kepemimpinan adat-kepercayaan sebagai pengayom bahkan tampil sebagai pemberi legitimasi kekuasaan. Hal ini bisa dilihat ketika membuka kembali lembaran sejarahnya bahwa kajang pada awalnya hanya terdapat istilah gallarang yang terkenal dengan lima gallarang, yaitu; gallarang pantama, gallarang Kajang, gallarang Puto, gallarang lombo’, dan gallarang Anjuru. Kelima gallarang ini kemudian disebut Ada’ Limayya, dengan Galla’ Pantama sebagai pemegang pucuk pimerintahan yang disebut kala’birang, dan Ammatoa sebagai pengayom atau pelindung.
Terjadinya pergeseran kekuasaan yang ada dalam komunitas tersebut tentu punya efek yang besar, baik terhadap eksistensi adat itu sendiri maupun dalam hal kehidupan keseharian masyarakat setempat.
Kejadian tersebut di atas memberikan suatu catatan tersendiri bahwa pemerintah selama ini tidak melihat bahwa suatu komunitas adat merupakan satu kesatuan utuh yang terhimpun semua simpul kekuatan dan otoritas. Masyarakat adat bukanlah sekedar kesatuan territorial belaka akan tetapi juga kesatuan adat yang eksistensinya berkait erat dengan ekspresi sosio-kultural masyarakat yang terikat dalam sebuah entitas. Ia tak hanya manifestasi dari sekumpulan orang dalam batas-batas administrasi seperti halnya desa.
Pemandangan seperti di atas terus berlangsung bahkan pada era pemberlakuan UU No. 32/2004. Desanisasi ala Orde Baru terlanjur telah menciptakan suatu pergeseran budaya politik solidaristik-partispatif menjadi apatis. Renggangnya ikatan sosial masyarakat menyebabkan sering terjadi konflik antar desa bahkan dengan pemerintah sekalipun yang sulit diselesaikan secara adat. Contoh konflik yang terjadi adalah kasus PT. Lonsum terkait dengan hak tanah yang diklaim oleh masyarakat adat setempat adalah sebagian tanah adat yang di serobot oleh perusahaan tersebut. Konflik tersebut telah memakan korban jiwa dari pihak penduduk setempat akibat ulah aparat keamanan.
Menyikapi berbagai masalah yang menimpa masyarakat adat terkait dengan hubungannya dengan pemerintah maka dibutuhkan sebuah mekanisme control yang bisa menjadi alat penengah antara kepentingan keduanya, salah satunya adalah BPD. Dengan adanya BPD tersebut pada awalnya diharapkan akan meningkatkan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah desa. Apalagi kalau melihat salah satu fungsi BPD adalah ikut melindungi dan melestarikan adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat.
Kasus desa Tana Towa misalnya, Terkait dengan pemerintahan desa sebenarnya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai mekanisme control terhadap pemerintah desa, masih terasa asing bagi mereka. Paktek demokrasi pada tingkat desa dengan adanya BPD tersebut menurut hemat penulis masih belum epektif. Ada beberapa alasan yang mendasari sehingga keberadaan BPD masih belum berjalan secara maksimal di desa Tana Towa; pertama, keberadaan BPD masih terasa asing bagi masyarakat setempat. Sehingga keberadaan BPD hanya dianggap sebagai kebutuhan foramalitas saja demi kelengkapan adminstrasi pemerintahan. Dan akibatnya adalah orang-orang yang duduk dalam BPD tersebut tidak sepenuhnya mewakili semua elemen masyarakat; kedua, melihat fungsi BPD, sebenarnya ada rutinitas masyarakat Tana Towa yang hampir sama dengan fungsi BPD, yakni acara akkttere’. Acara akkattere’ ini bisa dikatakan sebagai suatu kegiatan rembug desa atau forum warga yang dilaksanakan setiap bulannya. Kegiatan ini merupakan rutinitas adat yang menghadirkan seluruh tokoh masyarakat tak terkecuali para pemangku adat. Sehingga ada semacam rasa optimis bagi penulis bahwa seandainya pemerintah mengoptimalkan program akkttere’ tersebut maka akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan BPD.
Pola Interaksi Elit Pemerintah dan Adat
Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, bahwa pada awalnya di Kecamatan Kajang hanya tedapat 5 (lima) desa dan masing-masing dipimpin oleh seseorang yang bernama Galla’. Hal tersebut terjadi karena dalam struktur kekuasaan Adat Kajang Ammatoa hanya mengakui 5 (lima) Galla’ dan 3 (tiga) Karaeng.
Istilah Karaeng dan Gallarang (gelaran) di desa Tana Towa masih ada sampai sekarang. Hanya saja istilah Gallarang dan Kakaraengang secara umum sedikit berbeda penggunaannya dalam masyarakat makassar pada umumnya. Secara umum orang makassar yang mendapat gelar karaeng adalah mereka yang mempunyai garis darah bangsawan yang diwarisi secara turun-temurun. Sedangkan dalam masyarakat adat Kajang Ammatoa, Karaeng dan Gallarang merupakan jabatan struktural adat yang memperoleh pengakuan langsung dari Ammatoa sebagai pemimpin spiritual tertinggi dalam masyarakat adat. Jadi bukan jabatan turun temurun atau bawaan atas nama garis keturunan. Sehingga keturunan seorang karaeng ataupun Galla’ akan menjadi rakyat biasa tanpa ada gelar yang disandang layaknya seorang keturunan bangsawan. Hal ini juga merupakan sebagian dari makna ajaran pasang.
Struktur kekuasaan dalam desa Tana Towa sendiri semakin kompleks. Desa Tana Towa dengan beberapa pecahannya menjadi satu desa secara otomatis membentuk sistem pemerintahan masing-masing. Sehingga batas-batas geografis wilayah Gallarang dan Kakaraengang sekarang ini sudah nampak kabur, terutama setelah adanya undang-undang tentang pemerintahan desa gaya baru.
Berikut ini struktur pembagian kekuasaan dalam masyarakat adat Ammatoa Kajang sebelum adanya Undang-Undang No.5/1979 dapat digambarkan sebagai berikut :
AMMATOA ------------------------------------- ANRONGTA
KARAENG
GALLARANG
Keterangan:
----------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan komando
Setelah adanya Undang-Undang No.5/1979 struktur pembagian kekuasaan kembali berubah dengan gambaran sebagai berikut:
KARAENG KAJANG AMMATOA--Anrongta
(Labbiriya (Camat Kajang))
GALLARANG
(Kepala Desa)
Keterangan:
----------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan komando
Struktur pembagian kekuasaan kembali berubah ketika Undang-Undang tentang otonomi daerah diberlakukan melalui Undang-Undang No. 22/1999 (32/2004), perubahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
KARAENG KAJANG
(Labbiriya (Camat Kajang))
GALLARANG ------- BPD
(Kepala Desa)
AMMATOA
Keterangan:
-------------- = Hubungan konsultatif
= Hubungan administratif
Struktur pembagian kekuasaan yang ada di atas telah menggambarkan adanya pergeseran kewenangan serta posisi para pemangku adat. Hal tersebut jelas terlihat ketika adanya jabatan sturktural secara administrative melalui undang-undang tentang pemerintahan desa. Hal ini juga menggambarkan mekanisme pengambilan keputusan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Di sini juga tampak bahwa kekuasaan Ammatoa terus mengalami pergeseran peran dan fungsi dalam struktur kekuasaan di Kajang seiring dengan undang-undang sistem pemerintahan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Beberapa persoalan obyektif kemudian muncul dengan adanya perubahan lingkungan politik pada tingkat desa terutama terjadinya dua bentuk kekuasaan pada tingkat desa, yakni masyarakat adat dengan lembaga adatnya dan pemerintah desa itu sendiri (desa dinas atau desa administratif). Hal ini terlihat ketika keberadaan pemimpin adat Ammatoa semakin tergeser kedudukannya yang berawal dari hubungan komando menjadi hubungan konsultatif saja. Maka praktis struktur kekuasaan adat-pun secara tidak langsung juga ikut bergeser. Akibatnya terjadi pembagian wewenang yakni urusan pemerintah ditangani oleh pemerintah dan urusan adat ditangani oleh adat. Kasus ini bisa dilihat dengan adanya dua bentuk kepemimpinan yang ada pada tingkat desa, karena di satu sisi terdapat kekuatan adat yang telah melandasi kehidupan masyarakat setempat sejak dari nenek moyang mereka, dan di sisi yang lain terdapat kekuasaan pemerintah desa yang dibentuk atas dasar ketentuan dari pemerintah atasan. Mencermati kondisi tersebut di atas, dalam masyarakat Tana Towa sendiri terbangun tiga pemikiran menyangkut eksistensi kedua bentuk kekuasaan tersebut. Pertama, pemikiran yang kurang menerima keberadaan desa dinas karena dianggap sebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk ke desa. Maka solusi yang di tawarkan adalah fungsi kedinasan dimasukkan ke dalam desa adat. Pemikiran ini didominasi oleh masyarakat dalam kawasan (ilalang embayya) karena mereka merasa kurang diberikan akses dalam birokrasi pemerintah. Secara umum mereka mengakui dan menerima keberadaan desa dinas sebagai mitra dalam mengatur pemerintahan di desa Tana Towa, akan tetapi harus menghormati struktur kekuasaan asli di desa tersebut. Hal ini diperjelas ketika Ammatoa bersikeras tidak menerima campur tangan pemerintah khusus untuk dalam kawasan (ilalang embayya). Kedua, pemikiran yang tetap ingin mempertahankan pola hubungan seperti sekarang ini. Dengan alasan bahwa sumber daya manusia yang ada pada masyarakat desa Tana Towa masih diragukan dalam hal profesionalime kerja dalam hal ini struktur kekuasaan tradisional setempat. Pemikiran ini di dominasi oleh orang luar kawasan (ipantarang embayya) yang menganggap bahwa sekarang dituntut sebuah birokrasi modern untuk mengatur masyarakat tanpa mengindahkan kekuatan adat sebagai struktur kekuasaan asli desa. Galla Lombo yang sekaligus kepala desa Tana Towa mengatakan bahwa struktur kekuasaan adat harus didukung penuh oleh pemerintah dalam mengurus pemerintahan di desa. Ketiga, adalah pemikiran yang ingin menengahi kedua pemikiran di atas, yakni adanya keinginan mempertegas wilayah kewenangan kawasan adat dan desa dinas. Hal inilah yang kemudian menyebabkan dibangunnya pembatas kawasan adat Ammatoa yang memisahkan dua kelompok masyarakat dalam desa tersebut sehingga dikenallah istilah masyarakat kawasan dalam (ilalang embayya) dan luar kawasan (ipantarang embayya).
Masyarakat yang berada dalam kawasan adat (ilalang embaya) dalam kehidupan sehari-harinya mereka lebih taat terhadap aturan adat di bawah pimpinan seorang Ammatoa dibanding aturan yang berasal dari pemerintah. Mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran pasang dalam kehidupan kesehirian mereka. Dibandingkan dengan masyarakat yang ada diluar kawasan (ipantarang embaya), mereka ini sebagian besar banyak meninggalkan aturan adat atau ajaran pasang seperti yang dititahkan oleh Ammatoa. Seperti diketahui sebelumnya bahwa orang yang berhak tinggal didalam kawasan adalah mereka yang masih mau patuh terhadap aturan adat sedangkan yang mereka yang tidak mau patuh pada aturan adat harus tinggal di luar kawasan adat.
Secara umum, meskipun dalam desa Tana Towa terdapat dua kelompok masyarakat yang terpisah secara teritorial, mereka tetap berada dalam satu ikatan keluaraga yang masih sama-sama mengakui kepemimpinan Ammatoa sebagai pemimpin bagi masyarakat Adat desa Tana Towa khususnya bahkan kepemimpinan Ammatoa ini masih diakui dalam lingkup Kecamatan Kajang pada umumnya. Ammatoa tetap merupakan tokoh kharismatik yang mempunyai fungsi khas sebagai Tu nila’ langngi (suri teladan).
Namun demikian kekuasaan dalam hal ini haruslah bisa ditoleransi secara sosial karena antara pamong desa, dan semua pemimpin desa, lahir dan besar di desa serta merupakan anggota komunitas yang menentukan batas-batas sosial dari moral mereka. Kekuasaan dalam hal ini haruslah dibenarkan secara kultural.
KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan kekuasaan yang terbangun antara pemerintah desa dan masyarakat desa Tana Towa telah membentuk pola kekuasaan yang kurang seimbang. Hal tersebut bisa dilihat di satu sisi kekuasaan adat dengan lembaga adatnya telah mengalami suatu pergeseran kekuasaan atau dengan kata lain porsi kekuasaan mereka dalam masyarakat desa Tana Towa mengalami penurunan padahal mereka membentuk struktur kekuasaan (sistem pemerintahan tradisonal) dalam masyarakat sejak dari dulu jauh sebelum pemerintah desa (dinas) masuk kedesa tersebut dan di sisi yang lain terdapat kekuasaan pemerintah desa yang mendapat porsi kekuasaan lebih besar. Efek ambivalensi kekuasaan tersebut telah mempertajam kondisi konflik antara pemerintah dan komunitas adat, setidaknya indikasi tersebut terlihat ketika dalam komunitas adat Ammatoa Kajang terjadi suatu bentuk pertentangan antara hukum adat dan pengaruh dari luar, baik itu pemerintah maupun lingkungan di sekitar kawsan adat. Kondisi pertentangan yang terjadi dalam komunitas Adat Ammatoa Kajang tersebut paling tidak disebabkan komunitas adat tersebut telah memiliki suatu struktur adat tersendiri dan aturan adat tersendiri dalam mengatur komunitasnya. Akan tetapi, jika diperhadapkan dengan program pemerintah, pemerintah memilki aturan dan kekuasaan yang lebih besar. Akibanya kemudian adalah terjadi yang namanya porses atau bentuk-bentuk dialog antara pihak adat dan pemerintah. Proses dialog tersebut kemudian melahirkan bentuk-bentuk negosiasi dan resistensi. Bagi komunitas adat, siapa saja yang masuk dalam kawasan tersebut haruslah mematuhi aturan-aturan adat siapapun orangnya.
Fenomena kekuasaan pada tingkat desa tampak bahwa dominasi kekuasaan tertentu mengakibatkan telah mengubah struktur kekuasaan khususnya pada tingkat desa. Hal ini terlihat dengan jelas ketika keterlibatan lembaga adat setempat kurang punya akses dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah keberadaan lembaga adat (pemimpin informal) berada pada posisi subordinan. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat ketika terjadinya pergeseran kekuasaan pada tingkat desa. Digalakkannya otonomi desa merupakan harapan untuk menumbuhkan kearifan-kearifan lokal demi terwujudnya demokrasi di tingkat lokal. Tapi ternyata program tersebut masih menyisakan berbagai persoalan pada tingkat desa. Indikasi tersebut terlihat ketika antara pemerintah desa belum mampu merespon aspirasi masyarakatnya. Sehingga aspirasi masyarakat sudah terhenti baru pada tingkat desa. Keadaan tersebut juga akan semakin mempertajam pergeseran kekuasaan antara pemerintah desa dan adat.
Adanya dua bentuk kekuasaan yang ada pada tingkat desa setidaknya telah mengakibatkan dua kondisi yang semakin mempertajam arus konflik. Pertama, terjadinya tarik menarik kekuasaan yang kemudian mengakibatkan salah satu dari pemegang kekuasaan tersebut mangalami kemunduran. Kedua, silih bergantinya peranan pada tingkat desa. Hal ini dianggap wajar karena dalam masyarakat tersebut terdapat dua golongan sosial yang ingin mempertahankan sistem politiknya masing-masing.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 32/2004 masih belum banyak membuat banyak perubahan yang cukup signifikan. Bahkan fenomena pemerintahan di desa Tana Towa masih menempatkan adat sebagai subordinat dari pemerintah desa. Kepala Desa masih banyak mengambil alih kebijakan pada tingkat desa. Keadaan seperti ini sangat kontras dengan sistem kekuasaan desa Tana Towa sebelum Undang-Undang No. 5/1979 yang masih menempatkan pimpinan adat sebagai pengayom dan pemberi legitimasi dalam kehidupan bermasyarakat. Undang-Undang No. 5/1979 maupun UU No. 32/2004 tampak bahwa kedudukan pimpinan adat dijadikan sebagai jalur konsultatif saja dalam sturuktur kekuasaan pada tingkat desa.
DAFTAR PUSTAKA
Antlov, Hans, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Budiman, Arif, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996.
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi, Jakarta: Desantara, 2002.
Fakih, Mansur, (ed.), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Foucault, Michel, Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan, Yogyakarta: Bentang, 2002.
Juliantara, Dadang, Pembaruan Desa; Bertumpu yang Terbawah, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Karim, Abdul Gaffar, (ed.)., Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Katu, Samiang, Pasang ri Kajang: Kajian Tentang Akomodasi Islam Dengan Budaya Lokal di Sulawesi Selatan, PPIM, IAIN Alauddin Makassar, 2000.
Usman, Sunyoto, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Rozaki, Abdur, (ed.), Promosi Otonomi Desa, Yogyakarta: IRE Press, 2004.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta, LP3ES, 1983.
Santoso, Purwo, (ed.), Pembaharuan Desa secara Partisipatif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.
Nuruddin, Vina Salviana DS., dan Deden Faturrohman, Agama Tradisional; Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKIS, 2003.
Syaukani, HR, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Team Work Lapera, Politik Pemberdayaan: Jalan Menuju Otonomi Desa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.
Wawancara Langsung
FENOMENA PERWAKILAN POLITIK DI INDONESIA
Oleh: Syahrir Karim
Pengantar
Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Negara sangat bertumpu pada institusi perwakilan formal ini. Wakil rakyat dipilih lewat mekanisme pemilu untuk menjadi pejabat politik dan publik yang diberi basis legitimasi untuk bertindak atas nama rakyat dan negara. Mereka dievaluasi setiap periode tertentu lewat mekanisme pemilu. Prosedur-prosedur diciptakan sedemikian rupa agar rakyat dapat mengevaluasi secara baik. Oleh karena itu, maka dalam proses perwakilan ini setiap wakil perlu menentukan posisi yang tepat terhadap terwakil manakala ia terlibat dalam suatu pemecahan masalah. Pentingnya penentuan tersebut justru karena sikap dan pilihannya terhadap alternatif pemecahan atau terhadap prioritas pemecahan masalah pada dasarnya adalah mengatasnamakan opini aspirasi dan kepentingan. Posisi wakil terhadap terwakil tersebut merupakan hakikat dari perwakilan politik itu sendiri.
Persoalan hubungan antara wakil dengan rakyatnya yang diwakili telah menjadi persoalan politik klasik dalam sistem perwakilan politik di Indonesia. Beberapa studi hubungan antara rakyat dan wakil rakyat umumnya menyimpulkan bahwa masyarakat umum tidak mengenal wakilnya yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat. Masyarakat kebanyakan mengenal partainya yang didukung.
Oleh karena itu dalam konteks Indonesia, paling tidak, ada dua hal penting yang perlu dicermati dalam sistem perwakilan politiknya. Pertama, sejauhmana para wakil itu mampu membangun relasi lebih baik dengan mereka yang diwakili atau rakyat umumnya? Jawabannya, terkait substansi kepartaian/perwakilan. Kedua, sejauhmana para wakil di lembaga perwakilan memiliki tingkat keterwakilan (representativeness)? Jawabannya, tidak akan terlepas dari masalah sistem pemilu (electoral system) dalam hal ini proses politiknya.
Memahami Teori Perwakilan Politik
Sistem perwakilan politik formal di Indonesia bisa dilihat dalam beberapa jenis: (1.) Perwakilan kekuatan politik dalam territori tententu (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota); (2.) Perwakilan Territori (DPD); (3). Eksekutif bagi territori seluruh wilayah nasional (Presiden dan Wapres); dan (4.) Eksekutif bagi territori daerah (Gubernur/Wagub, Walikota/Wawali, dan Bupati/).
Terlihat jelas bahwa perwakilan politik di Indonesia mempunyai klasifikasi tingkatan wilayah tersendiri. Secara teoritis perwakilan pada dasarnya adalah konsep yang menunjukkan hubungan antara individu-individu, yakni pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili, dimana orang yang mewakili memiliki sederajat kewenangan. Perwakilan merupakan proses hubungan manusia dimana seseorang tidak hadir secara fisik tapi tanggap melakukan sesuatu karena perbuatannya itu dilakukan oleh orang yang mewakilinya (Sanit: 54;1985).
Perwakilan politik adalah individu atau kelompok orang yang dipercayai memiliki kemampuan dan berkewajiban untuk bertindak dan berbicara atas nama satu kelompok orang yang lebih besar. Dengan demikian indikator yang bisa digunakan untuk melihat apakah seorang wakil dinilai representatif oleh orang yang mewakilinya adalah:
a. Memiliki ciri yang sama dengan konstituen (pemilih)
b. Memiliki ekspresi emosi yang sama dengan emosi konstituen
c. Intensitas komunikasi yang tinggi dengan konstituen (Sanit:54;85)
Dalam hal yang sama, Sartori mengemukakan 7 ( tujuh) kondisi yang mengindikasikan telah terwujudnya perwakilan politik dalam mekanisme pemerintahan:
a.Rakyat secara bebas dan periodik memilih wakil rakyat (The people freely and periodecally ellect a body of representative).
b.Pemerintah bertanggungjawab kepada pemilih (The govermors are accountable or responsible to the governed).
c. Rakyat merasa sebagai negaranya (The people feel the same as the state),
d.Rakyat patuh pada kepada keputusan pemerintahnya (The people consent to the decisions of their governors),
e.Pemerintah adalah wakil yang melaksanakan intruksi dari para pemilihnya (The governors are agent or delegates who carry out the instruction received from their electors).
f.Rakyat yang menentukan membuat keputusan-keputusan politik yang relevan (The people there, in some significant way, in the making of relevant political ),
g.Pemerintah adalah contoh wakil dari rakyat (The governors are a representative sample of the governed) (Sartori:68;468).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perwakilan politik dapat didefinisikan sebagai pelimpahan sementara atas kewenangan politik warga negara kepada (sekelompok) orang yang mereka pilih secara bebas, untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan rakyat yang secara jelas dirumuskan.
Sedangkan varian perwakilan menurut Hoogerwerf dalam sudut pandang hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe:
a.Tipe Utusan.
Yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari pihak yang diwakilinya.
b.Tipe Wali.
Yakni wakil memperoleh kuasa penuh dari pihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas dasar pertimbangan sendiri. Dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pihak yang diwakilinya.
c.Tipe Politics.
Yakni kombinasi antara tipe utusan an tipe wali.Tergantung pada situasi, wakil kadang harus berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan.
d.Tipe Kesatuan.
Yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat, tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka.
e.Tipe penggolongan.
Yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebaga wakil dari kelompok teritorial, sosial, dan politik tertentu (Sartori:68;468).
Dari klasifikasi Hoogerwerf ini tampak bahwa para wakil Indonesia berada pada situasi dilematis. Di satu sisi, mereka dapat dimasukkan sebagai tipe kesatuan. Di lembaga perwakilan, para wakil rakyat harus lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tanpa memandang pengelompokan politik yang ada. Pada sisi yang lain, ada ikatan yang sangat erat antara para wakil rakyat dengan organisasi politiknya, bahkan dengan kelompok teritorialnya atau daerahnya.
Wakil yang “benar” dalam sudut pandang cita-cita demokrasi adalah wakil tipe kesatuan (integrated). Alasan yang bisa dikemukakan adalah bahwa mandat representatif dimiliki oleh tipe kesatuan seperti dikemukakan oleh Hoogerwerf. Partai politik dalam hal ini hanyalah alat atau “kendaraan” yang digunakan oleh orang untuk menjadi wakil rakyat. Lembaga Perwakilan (DPR) merupakan arena dimana dia berbuat atas nama dan kepentingan rakyat yang diwakili. Bahkan pada saat dia beraktivitas sebagai wakilnya rakyat, tidak relevan bila dikaitkan dengan alat atau “kendaraan” yang digunakannya selama ini.
Selanjutnya, ada dua teori klasik yang sangat dikenal dalam politik tentang hakikat hubungan antara wakil (legislator) dengan terwakil (rakyat) yakni teori mandat (fungtional Representation) dan teori kebebasan (Political Representation). Pertama, Teori Mandat. Menurut teori mandat ini yang pertama kali diperkenalkan oleh J.J. Russeau, bahwa wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Maka seharusnya wakil selalu memberikan pandangan bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, pandangan wakil secara pribadi tidak diperkenankan dan dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil bagi terwakil. Bila terjadi perbedaan pandangan, sikap dan tindakan antara wakil dengan pihak yang diwakili dapay berakibat turunnya reputasi wakil. Teori ini dianggap lebih menguntungkan karena wakil dapat dikontrol secara setiap saat.
Kedua, Teori Kebebasan (Political Representation). Pendapat ini dikembangkan oleh Abbe Sieyes di Perancis, serta Block Stone di Inggris. Menurut teori ini, wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung instruksi yang diberikan oleh pihak yang diwakilinya. Wakil merupakan orang yang terpercaya, terpilih, serta memiliki kesadaran akan hukum dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Oleh sebab itu mereka dapat melakukan tindakan apa pun atas nama mereka. Dalam hal ini terwakil telah memberikan kepercayaan kepada wakilnya. Karena itu pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan aspek yang terikat kepada masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil.
Substansialisasi Lembaga Demokrasi dan Proses Politik.
Bahwa saat berbicara tentang demokrasi dalam perpolitikan modern mau tidak mau harus berbicara tentang sistem perwakilan. Demikian halnya saat hendak memperbaiki sistem dan kualitas demokrasi di Indonesia, maka tidak akan lepas dari perbincangan tentang sistem perwakilan (politik) yang dimiliki.
Sistem demokrasi modern dalam perkembangannya terlihat jelas bahwa keberadaan lembaga perwakilan politik, dalam hal ini parlemen atau lembaga legislatif, merupakan prasyarat penting dari sebuah negara demokratis. Akan tetapi, ukuran demokrasi -perwakilan- tidak berhenti pada “keberadaan”nya semata, namun sesungguhnya lebih jauh menekankan pada tingkat dan kualitas keterwakilan lembaga perwakilan politik tersebut. Konsep perwakilan politik didasarkan pada konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Kualitas keterwakilan itu akan ditentukkan oleh sejauhmana lembaga perwakilan politik itu menjalankan fungsi-fungsi utamanya sebagai perwakilan politik rakyat (legislatif).
Sistem perwakilan politik itu sendiri tidak akan terlepas dari pada pembahasan mengenai sistem demokrasi, karena perwakilan politik beranjak dari pada perkembangan sistem demokrasi. Bahwa demokrasi dibangun dengan proses yang panjang, awalnya masyarakat mengenal demokrasi dengan mempraktekkan sistem demokrasi langsung dimana setiap individu yang dikategorikan dewasa, berhak ikut serta di dalam parlemen (Haris:2008). Pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang kian hari semakin banyak maka sistem perwakilan demokrasi yang lama (demokrasi langsung), kurang sesuai jika diterapkan pada negara yang jumlah penduduknya banyak. Maka solusinya dengan sistem demokrasi pewakilan dimana sejumlah warga negara yang memiliki berbagai kepentingan yang tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu kemudian memberikan kedaulatan dirinya kepada individu atau partai politik yang ia percayai, melalui pemilihan umum. Sehingga inti dari pada pemikiran sistem demokrasi perwakilan adalah sama dengan sistem demokrasi langsung yakni menyuarakan aspirasi atas kepentingan individu, kelompok dan masyarakat dalam satuan distrik maupun nasional, dengan cara individu/rakyat memberikan kepercayaannya pada seseorang/lebih yang nantinya menjabat posisi posisi pemerintahan maupun duduk di parlemen (legislatif) (Raga Maran:202;2001).
Di Indonesia selama masa reformasi (1998-2009) jelas terlihat bahwa transisi demokrasi berjalan begitu lambat dan terhambat, dan salah satu penyebabnya adalah karena bekerjanya sistem politik-demokrasi di Indonesia selama ini berhenti di tingkat prosedural. Indonesia disibukkan dengan aneka pesta politik-demokrasi, misalnya: menjamurnya pendirian partai politik (1998) dan pemilu dipercepat (1999), amandemen I-IV UUD 1945 (1999-2002), membentuk puluhan komisi kuasi negara (1999-2006), perubahan sistem pemilu DPR-DPRD dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka (2004), Pilpres secara langsung (2009) dan Pilkada langsung (2005-2009). Akan tetapi semua perubahan dan bentuk politik-demokrasi itu hanya berhenti di tingkat prosedural-mekanistik dan lupa dengan isi. Semuanya terjebak dalam pusaran prosedural dengan melupakan substansi dari sistem politik-demokrasi itu sendiri.
Ada dua kategori dasar dalam demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Dalam kategori demokrasi langsung setiap warga negara dapat ikut serta dalam pembuatan keputusan negara, seperti halnya pada peristiwa di Athena kuno dimana mereka dapat menjalankan sistem ini, dengan di hadiri kurang lebih 5000-6000 orang majelis, dalam merumuskan suatu permasalahan diantara mereka. Dalam hal ini demokrasi dengan sistem langsung ini kurang sesuai bila mana diterapkan dalam suatu negara dengan jumlah penduduk yang banyak seperti yang telah dibahas sebelumnya. Sedangkan untuk kategori kedua adalah demokrasi perwakilan yang mengandung pengertian sejumlah warga negara yang memiliki berbagai kepentingan dan tinggal di suatu daerah atau distrik tertentu kemudian memberikan kedaulatan dirinya kepada individu atau partai politik yang ia percayai, melalui pemilihan umum.
Kedepan, perwakilan politik di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu antara lain, faktor struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”); faktor institusional (pengaturan pemilu); dan behavioral (perilaku politisi dan pemilih). Pada faktor struktural dalam hal ini sistem kepartaian, akan sangat tergantung pada jenis kepartaian yang dilakukan. Jenis sistem kepartaian memiliki pengaruh besar terhadap masa depan keterwakilan politik di Indonesia. Beberapa pakar politik menilai bahwa jumlah partai yang terlalu banyak akan membuat kebijakan publik tidak focus dan terfragmentasi. Perdebatan menjadi teknis dan tidak efektif serta kebijakan public akan habis terkuras untuk kebutuhan jangka pendek. Pada saat yang sama, jumlah yang terlalu sedikit akan menimbulkan dominasi, hegemonisasi, serta berkurangnya kompetisi. Minimnya kompetisi akan memberi peluang munculnya kolusi dan oligarki. Sebagai solusi, bahwa sistem kepartaian ini bisa dimungkinkan dengan berbagai political engineering, antara lain memperketat aturan sistem kepartaian dan membangun korelasi yang kuat antara lain sistem pemilu, partai politik, mekanisme pra-pencalonan dan elemen teknis pemilu lainnya seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara.
Dalam pendefenisian partai politik dapat diartikan sebagai kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik-(biasanya) dengan cara konstitusional-untuk melaksanakan programnya (Miriam:203;2008. Dengan pengertian ini, maka partai politik merupakan satu-satunya media yang cukup urgen di antara kelompok-kelompok, rakyat dan pemerintah dalam suatu tatanan demokrasi. Lewat partai politik, pemimpin mampu mendapatkan dukungan masyarakat dan mendapatkan sumber-sumber kekuatan baru, sedangkan rakyat dapat memusatkan kritikan dan sekaligus harapannya pada organisasi ini.
Selanjutnya, partai politik juga merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern (Amal:xi;1988). Partai politik adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Topik pembicaraan yang paling dekat dengan organisasi partai politik adalah metode seleksi kandidat partai untuk pemilihan pejabat publik (Epstein:205;1975). Partai politik dalam hal ini adalah agen utama dalam proses rekrutmen pemimpin politik. Hal penting dalam mengurai partai politik adalah seleksi calon pemimpin utusan rakyat melalui partai politik. Maka Partai politik dalam hal ini bertindak sebagai instrumen perwakilan dan sarana untuk menjamin pergantian pemerintahan secara teratur dan tanpa pergolakan yang dapat menghancurkan keseluruhan sendi-sendi masyarakat dan negara yang sudah baik.
Pencalonan anggota legislatif oleh partai politik secara umum mencakup tiga tahap penting, yaitu (1) penjaringan calon; (2) penyaringan dan seleksi calon yang telah dijaring; (3) penetapan calon berikut nomor urutnya. Seleksi para calon ini dilakukan dengan dua cara, yaitu : (1) seleksi dilakukan oleh atau bersama dengan suatu tim seleksi yang dibentuk oleh partai politik; atau (2) seleksi dilakukan melalui struktur dan mekanisme partai politik sendiri.
Selanjutnya pada faktor institusional (pengaturan pemilu), Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tercantum bahwa “ Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan dilakukan melalui Sistem Perwakilan. Oleh karena itu, diperlukan majelis, yang merupakan jelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Tatapi, proses penentuan dalam membentuk dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata bersifat formal-legalistik atau yuridis, melainkan merupakan proses politik dimana kepentingan merupakan penentu utama. Bahwa yang harus diingat adalah dalam politik selalu berhubungan dengan kepentingan (interest) (Afan:281;2002).
Kedaulatan rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Kedaulatan rakyat melalui demokrasi dengan perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya adalah melalui mekanisme pemilu. Sistem pemilu merupakan sarana paling awal untuk menentukan sistem perwakilan yang dikehendaki. Oleh karena itu, untuk mendapatkan sistem perwakilan yang dikehendaki akan sangat ditentukan oleh sistem pemilunya.
Dampak substansial terhadap hasil pemilu maupun karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya akan sangat tergantung dari sistem pemilu (Evans:12;1999). Pilihan atas sistem pemilu dapat secara efektif menetapkan siapa yang terpilih dan partai mana yang memperoleh kekuasaan, serta jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu diterjemahkan ke dalam banyaknya kursi di parlemen. Sistem pemilu juga sangat mempengaruhi jenis sistem kepartaian yang berkembang, khususnya jumlah dan ukuran relatif partai politik di parlemen. Sistem pemilu juga dapat mendorong atau menghambat pembentukan aliansi di antara partai-partai, dan bisa juga memberi rangsangan kepada beberapa kelompok agar lebih bersikap akomodatif atau memberi dorongan pada partai-partai untuk menghindari perselisihan berdasarkan ikatan kesukuan atau kekerabatan yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya bahwa sistem pemilu yang berdasarkan hasil kesepakatan publik yang dilakukan transparan dan melibatkan partispasi publik dimungkinkan akan bertahan lama dan berhasil. Rancang bangun suatu sistem pemilu seyogyanya perpihak pada aspek-aspek politik, kultural dan historis. Karena itu dalam merancang sistem pemilu perlu melibatkan pakar politik, antropolog, sosiolog dan juga sejarawan.
Sistem pemilu dirancang untuk mengimplementasikan tiga mandat penting (Reinolds:101;2001). Pertama, menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di parlemen. Kedua, sistem pemilu bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil rakyat yang telah terpilih. Ketiga, sistem pemilu mendorong pihak-pihak yang bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.
Secara teoritis, sistem pemilu dikenal ada tiga kelompok utama, yaitu sistem pluralitas-mayoritas, semi-proporsional, dan perwakilan proporsional. Di Indonesia, perdebatan yang sering muncul terkait dengan sistem pemilu, umumnya didominasi perdebatan apakah Indonesia akan menganut sistem distrik (pluralitas-mayoritas), ataukah akan menganut sistem perwakilan proporsional. Diantara dua sistem tersebut tentu memiliki sejumlah keunggulan dan kelemahan. Sistem pluralitas-mayoritas dinilai memiliki keunggulan karena memiliki kejelasan kepada siapa pemilih nantinya akan meminta pertanggungjawaban atau memberikan hukuman, karena sistem ini pada tiap distrik (daerah perwakilan) hanya akan diwakili oleh wakil tunggal. Tentu sebagai konsekuensi sistem pluralitas-mayoritas adalah tidak semua kelompok masyarakat terwakili, dan ini dinilai sebagai kelemahan sistem ini. Sebaliknya sistem proporsional dinilai unggul karena akan mengakomodasi keberagaman perwakilan secara proporsional dari tiap distrik, termasuk kelompok minoritas dan perempuan. Sistem proporsional dikritik karena tidak jelasnya kepada siapa pertanggungjawaban akan dimintakan, mengingat banyaknya wakil dari tiap distrik.
Dalam konteks Indonesia pengaturan pemilu dipenuhi oleh upaya penegasian (persyaratan ikut pemilu dan sistem pemilihan) menimbulkan implikasi kesulitan menerapkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya konsistensi dan kredibilitas dari kekuatan politik dan calon wakil rakyat. Hal ini diperparah dari lemahnya komunikasi politik dan kapasitas penyelenggara pemilu. Basis legitimasi representasi formal adalah proses politik yang bernama pemilu. Apabila informasi tentang kandidat terbatas dan penyelenggara tidak kredibel, maka pemilu tidak akan mampu menghadirkan representasi formal secara baik (Erawan:2;2008).
Pengaturan sistem pemilu sangat penting dan dapat membawa dampak yang substansial terhadap hasil pemilu maupun karakteristik pemerintahan yang dihasilkan sesudahnya (Evans:12;1999). Dalam merancang sistem pemilu setidaknya memiliki 6 misi, yang salah satu di antaranya adalah.keterwakilan (Pipit: 84;2004). Keterwakilan dalam hal ini memiliki 3 arti : (1) keterwakilan bagi seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok minoritas dan kelompok perempuan dalam lembaga perwakilan; (2) keadilan yang berarti bahwa keterwakilan itu merupakan pendekatan cerminan kekuatan kepentingan dan politik masyarakat dalam lembaga perwakilan. Tolok ukur keterwakilan adalah perbandingan perolehan suara dengan kursi yang memadai; (3) seberapa jauh rakyat dapat mempengaruhi proses penentuan calon dan tingkatan jalinan hubungan antara pemilih dengan anggota lembaga perwakilan.
Salah satu pilar demokrasi adalah pemilu, namun hanya mengandalkan pemilu menjadi demokratis lantaran diikuti oleh banyak partai agaknya tidak cukup buat mengembangkan proses demokratisasi (Pipit:125;2003). Sebagai dasar pertimbangan bahwa di negara demokratis, ada syarat lain yang harus dipenuhi, yakni peserta pemilu harus memiliki struktur organisasi yang demokratis pula. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi sistem pemilu Indonesia yang menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, maka sudah menjadi keharusan bagi partai politik melakukan proses seleksi calon secara internal dengan menggunakan mekanisme yang demokratis dan transparan yang berarti bahwa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat .
Pemilu yang adil dan demokratis diharapkan dapat menjadi alat sirkulasi kepemimpinan politik yang elegan sekaligus dapat mengejawantahkan aspirasi dan keterwakilan politik di parlemen (DPR/DPRD) dari semua elemen dalam masyarakat: etnis, agama, kaum perempuan, diffable, kelompok kepentingan dan lain-lain.
Kesimpulan
Memperbincangkan keterwakilan politik adalah bagaimana membangun relasi yang lebih baik antara para wakil dan yang terwakili. Pada masa pemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar trustee, di mana para wakil berjalan sendiri seolah-olah telah memperoleh kepercayaan dari rakyat. Pascapemerintahan Orde Baru, relasi itu lebih terbangun atas dasar politico karena para politisi bertindak berdasarkan kemauannya sendiri, berdasarkan situasi yang berkembang saat itu.
Untuk mendapatkan kualitas, peran dan fungsi perwakilan rakyat seharusnya menjunjung tinggi amanat rakyat, seharusnya para wakil rakyat dapat peka terhadap rakyat yang diwakili, seperti halnya rakyat telah memberikan kepercayan dan hak-hak kebebasannya berpendapatnya. Arti perumpamaan wakil rakyat memiliki makna yang luas, perumpamaannya meliputi keinginan masyarakat yang diwakili yang pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda beda. Untuk itu mereka yang di pilih sebagai wakil rakyat seharusnya menjunjung tinggi etika profisional kerja, sebagai etika moral yang berjuang memenangkan kepentingan-kepentingan politik rakyat itulah yang merupakan harapan dari pada rakyat dalam suatu sistem perwakilan demokrasi modern saat ini.
B. Saran.
Mendiskusikan tentang perwakilan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk terlebih dahulu mendiskusikan tentang urgensi perwakilan politik itu sendiri. Konsep keterwakilan secara politik harus betul-betul mengedapankan substansi daripada hanya memaknainya secara prosedural saja. Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai sebuah perwakilan politik yang berkualitas, yaitu:
1. Bahwa sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten dan pemilih yang dinamis, menyebabkan konsepsi dan praktek representasi politik formal menjadi problematik. Oleh sebab itu, beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk setidaknya mengurangi masalah tersebut adalah faktor struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”); faktor institusional (pengaturan pemilu); dan behavioral (perilaku politisi dan pemilih).
2. Prospek keterwakilan politik dalam hal ini lembaga perwakilan politik akan sangat tergantung pada sejumlah korelasi kuat antara lain sistem pemilu, partai politik, mekanisme pra-pencalonan dan elemen teknis pemilu lainnya seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kajian terhadap semua elemen yang ada sehingga hubungan sistem pemilu berjalan dengan baik.
3. Konsep demokrasi haruslah dimaknai sebagai sebuah proses atau alat untuk menuju masyarakat yang dicita-citatakan, bukan sebagai tujuan akhir.
Pada akhirnya untuk mewujudnya secara maksimal kulaitas keterwakilan politik di parlemen masih memerlukan kerja keras dan berbagai varian strategi yang cerdas, yang tentu saja harus melibatkan masyarakat untuk ikut berperan aktif di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul. (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1988.
Asfar, Muhammad, (ed) et.all. Model-model system Pemilihan di Indonesia. Surabaya: Pusdeham-Partnership for Governance Reform.2002.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Greenstein, Fred I. and Nelson W. Polsby (eds.), 1975, Handbook of Political Science Volume 4: Nongovernmental Politics, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company. 1975
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cet. I; Jakarta: Gramedia, 2008.
Kartawidjaja, Pipit R. dan Mulyana W. Kusumah, Kisah Mini Sistem Kepartaian, Jakarta : Seven Strategic Studies-Closs, 2003
Martin Lipset, Seymour. (ed.), The Encyclopedia of Democracy, Volume II, Washington D.C. : Congressional Quarterly Inc..1995.
Nusa Bhakti, Ikrar dan Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-Negara Lain, Bandung : Mizan, 2001.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. 1985
Saragih, Bintan R., Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia. Jakarta: Perintis Press. 1985.
Sartori, Giovanni. The Theory of Democracy Revisited, Part One, Chatham, NL, House Publisher, Inc. 1968.
Suryakusuma, Julia I. Almanak Parpol Indonesia Pemilu 1999, Jakarta : Almanak Parpol Indonesia, 1999
Makalah, Artikel/Opini
Haris, Andi. “Di Balik Optimisme Perwakilan Politik”, Fajar, 12 November 2008.
Riewanto, Agus. “Keterwakilan Politik Perempuan di Parlemen Tahun 2009”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ke XXIII di Makassar, 11-12 November 2008.
Putera Irawan, I Ketut. “Masa Depan Perwakilan Politik di Indonesia:Sistem Kepartaian, Pengaturan Pemilu, Perilaku Politisi dan Dinamika Pemilih”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ke XXIII di Makassar, 11-12 November 2008.
Sabtu, 09 Oktober 2010
ETIKA POLITIK
Oleh: Syahrir Karim
Etika politik berupaya membahas prinsip-rinsip moral dasar kenegaraan modern. Bukan etika kelakuan politisi yang dibicarakan. Pandangan-pandangan dasar tentang bagaimana harkat kemanusiaan dan keberadaban kehidupan masy dpt dijamin berhadapan dengan kekuasaan modern.
Sebagai ilmu dan Cabang filsafat Etika politik lahir di Yunani di saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. Melihat keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya masyarakat ditata. Legitimasi kekuasaan raja dlm tatanan hirarkis kosmos tdk lagi diterima begitu sj.Legitimasi2 tradisional kehilangan daya pikaktnya. Legitimasi tatann hokum dan Negara dan hak rajautk memerintah masyarakatnya dipertanyakan.Etika politik pada prinsipnya mengarah pada prinsip-prinsip moral yang harus mendasari penataan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.
- Etika : refleksi kritis dan rasional terhadap moral (filsafat etika).
- Moral: Ajaran, Etika: Ilmu
- Bertujuan utk membahas prinsip” moral dasar ketatanegaraan modern” bukan etika kelakuan para para politisi, melainkan bagimana harkat kemanuasusiaan dan keberadaban kehidupan masy dapat dijamin berhadapan dgn kekuasaan Negara moder. ( masy. Tradisonal, masy feodal, masy/Negara industri dan masy/ Negara pasca industri.
- Munculnya Filsafat dan etika pol (frans magnis) menyangkut baik baik dimensi hokum maupun dimensi kekuasaan Negara.
- Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jd, tdk berdasarkan emosi,prasangka, apriori, melainkan secra rasional, objektif dan argumentative. Fungsinya jg sebagai kritik ideology.
- Adalah salah faham, kalo etika pol langsung mencampuri polpraktis. Tugas etika pol sebagai subsider, yakni membantu agar pembahsan masalah” ideologis dapat dijalankan secara objektif.
- Etika politik menuntut segala klaim atas hak utk menata masy dipertanggung jawabkan pd prinsip2 moral dasar.
- Dgn demikian etika pol berfungsi sbg sarana kritik ideology.
- Etika pol tdk dapat mengkhotbahi para politkus, ttp dapat memberikan Patoka” orientasi dan pegangan” normative bagi mereka yg memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan pol dgn tolok ukur martabat manusia.
- Etika pol bersifat reflektif atau meta real. Etika membahas car abagaimana masalah” kehidupan dapat dihadapi, ttp tdk menawarkan suatu system normative sebagai dasar Negara.
- Etika Pol adalah ilmu yg mempelajari realist, misalnya suatu system moral yg ada, ttp tdk dapat menjadi system moral sendiri. Maka etika pol tdk berada pada tingkat system legitimasi pol tertentu dan tdk dapat menyaingi suatu ideology Negara. Tp etika pol dapat membantu usaha masy untuk mengejawantahkan ideology Negara yg luhur kedalam realitas poly g nyata.
- Etika pol: Filsafat moral ttg dimensi politis manusia.
- Filsafat dibagi dua cabang utama:
1. Filsafat teoritis: Apa yg ada?
2. Filsafat Praktis: Bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yg ada itu. Filsafat etika yang yang langsung mempertanyakan praksis manusia.
Etika Umum: mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi manusia, Sedangkan etika khusus mmebahas prinsip-prinsip itu dlm hubungan dengan kewajiban manusia dlm berbagai lungkup kehidupannya.
sahrirka.com
ETIKA POLITIK
Oleh: DR. Haryatmoko
1. Pengertian
a. Etika
Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia (Suseno, 1987).
Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
b. Nilai
Nilai atau “Value” termasuk kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tyentang nilai-nilai. Istilah ini di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau kebaikan (Goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229).
Dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences Dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yan menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed copacity of any abject to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kwalitas yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri.
c. Politik
Pengertian politik berasal dari kosa kata ‘Politics’ yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara. Yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan daari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau Decisionmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala perioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies. Yang menyangkut pengaturan dan pemabgian atau distributions dari suber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (Power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat Persuasi, dan jika perlu dilakukan pemaksaan (Coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik kegiatan berbagai kelompok termasuk paratai politik, lembaga masyarakat maupu perseorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (allocation). (Budiardjo, 1981: 8,9)
d. Etika Politik
Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia, (Lihat suseno, 1987: 15)
Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :
1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)
2. Kebebasan berfikir dan beragama (Locke)
3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesque)
4. Kedaulatan rakyat (Roesseau)
5. Negara hukum demokratis/repulikan (Kant)
6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
7. Keadilan sosial
2. Prinsip-prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer
a. Pluralisme
Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya dan adat.
Mengimplikasikan pengakuan terhadap kebabasan beragama, berfikir, mencari informasi dan toleransi
Memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan kelompok orang
Terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karna keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter klektif bangsa
b. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil dan beradab, karena hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakuakan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia
Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi dan sebaliknya diancam oleh Negara modern
Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, meliankan karena ia manusia, jadi dari tangan pencipta
Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras
c. Solidaritas Bangsa
Solidaritasd mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri melaikan juga demi orang lain
Solidaritas dilanggar kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung jawab, sikap obyektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup
d. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tidak ada manusia atau sebuah elit, untuk menentukan dan memaksakan bagaimana orang lain harus atau boleh hidup
Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana tujuan mereka dipimpin
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak rakyat kedalam tindakan politik
Dasar-dasar demokrasi
Kekuasaan dijalankan atas dasar ketaatan terhadap hukum
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM.
e. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat,
Keadilan sosial mencegah dari perpecahan
Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideolodis, sebagai pelaksana ide-ide, agama-agama tertentu. Keadilan adalah yang terlaksana
Keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidak adilan dalam masyarakat
3. Dimensi Politik Manusia
a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualismeyang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan da tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan orang lain.
Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut.
b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama (lihat Suseno :1987 :21)
4. Nilai-nilai pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab” adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara,
PENUTUP
1. Kesimpulan
Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaiatan dengan bidang kehidupan politik, politik juga memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik negara dan menyangkut proses penentuaan tujuan dari sebuah sitem yang diikuti oleh pelaksananya, yang menyangkut kepentingan masyarakat (publikols) dan bukan tujuan pribadi.
Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia menentukan tindakan yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan dengan cara mengambil sikap terhadap alam dan dan masyarakat sekelilingnya untuk penyesuaian diri.
Sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis sehingga segala keputusan kebijaksanaan serta arah dari tujuan harus dapat dikembalikan secara moral tertentu.
2. Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yokyakarta, Paradigma
Thamiend Nico, Tata Negara, Ghalia Indonesia, Yudhistira
Suseno Franz Magnis, Titik Temu Etika Politik, 04 Mei 2008
Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus
ETIKA POLITIK
BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.
Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.
DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm
Senin, 27 September 2010
BAHAN KULIAH FILSAFAT
FILSAFAT
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Makna Filsafat dari Segi Bahasa
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau
philosophos. Philos atau philein berarti teman atau
cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan,
pengetahuan, dan hikmah.
Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya
induk dari segala ilmu pengetahuan.
Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan
kata falsafah (Arab), philosophie (Prancis, Belanda
dan Jerman), serta philosophy (Inggris).
Phytagoras (572 -497 SM) ditahbiskan sebagai
orang pertama yang memakai kata philosopia berarti pecinta kebijaksanaan (wisdom).
Plato (427 347 SM) mengartikannya sebagai
ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang hakiki lewat dialektika
Aristoteles (382 – 322 SM) mendefinisikan
filsafat sebagai pengetahuan tentang
kebenaran.
Al- Farabi (870 – 950 ) mengartikan filsafat
sebagai ilmu pengetahuan tentang alam
maujud dan hakekat alam yang sebenarnya.
Ciri berfikir filsafat:
Radikal: Berfikir sampai keakar permasalahnnya.
Sistematik: Berfikir yang logis sesuai aturan langkah demi langkah, berurutan penuh kesadaran dan penuh tanggungjawab.
Universal: Berfikir seecara menyeluruh tidak terbatas pada bagian tertentu mencakup seluruh aspek.
Spekulatif: Berfikir spekulatif terhadap kebenaran yang perlu pengujian untuk memberikan bukti kebenaran yang difikirkannya.
Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan. Filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua suku kata yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan.
Pengertian filsafat secara luas adalah :
1. Usaha spekulatif manusia yang sangat rasional, sistematik, konseptual untuk memperoleh pengetahuan selengkap mungkin berdasarkan kaidah ilmiah
2. Ikhtiar atau usaha untuk menentukan batas-batas pengetahuan secara koheren dan menyeluruh (”holistic dan comprehensive”)
3. Wacana tempat berlangsungnya penelusuran kristis terhadap berbagai pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu pengetahuan.
4. Dapat dipandang sebagai suatu tubuh pengetahuan yang memperlihatkan apa yang kita lihat dan katakan. Dia harus seiring dan sejalan dalam aplikasi dan penerapannya di lapangan.
Filsafat menjembati cara berfikir secara ontologis, epistemologi dan aksiologi
§ Ontologi : hakikat apa yang dikaji
§ Epistemologi : cara mendapatkan pengetahuan yang benar
§ Aksiologi : nilai kegunaan ilmu
Filsafat adalah pengetahuan yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan manusia secara kritis. Filsafat disebut juga ilmu pengetahuan yg mencari hakekat dari berbagai fenomena kehidupan manusia. Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu.
Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).
Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Filsafat Ilmu :
Hampir semua penyakit dan ilmu dapat dipelajari oleh kita. Semua itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia) mulanya berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.
Filsafat ilmu adalah filsafat yang menelusuri dan menelidiki sedalam dan seluas mungkin segala sesuatu mengenai semua ilmu, terutama hakekatnya, tanpa melupakan metodenya. Kerapkali kita lihat ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan realitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang realitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”.
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.
Bahan Bacaan:
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
SEJARAH FILSAFAT KUNO
1. Filsafat Yunani
Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.
Filsuf- Filsuf Pertama
Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.
Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.
Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.
Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos. Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja.
Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pruralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging. Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani".
Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal. Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong.
Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.
Kaum Sofis dan Socrates
Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang "membumi" dibandingkan ajaran-ajaran filsuf sebelumnya. Seperti dikatakan Cicero --sastrawan Roma-- bahwa Socrates telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi. Maksudnya, filsuf pra-Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia di atas bumi. Hal ini juga diikuti oleh para sofis. Seperti telah disebutkan di depan, sofis (sophistes) mengalami kemerosotan makna. Sophistes digunakan untuk menyebut guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peran penting dalam masyarakat. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para sofis merupakan pemilik warung yang menjual barang ruhani.
Sofis pertama adalah Protagoras, menurutnya manusia ialah ukuran segala-galanya. Pandangan ini bisa disebut "relativisme" artinya kebenaran tergantung pada manusia. Berkaitan dengan relativisme ini maka diperlukan seni berdebat yang memungkinkan orang membuat argumen yang paling lemah menjadi paling kuat. Ajarannya tentang negara mengatakan bahwa setiap negara mempunyai adat kebiasaan sendiri; seorang dewa berkunjung kepada manusia dan memberi anugerah --keinsyafan akan keadilan dan aidos hormat pada orang lain-- yang memungkinkan manusia dapat hidup bersama. Filsuf berikutnya adalah Gorgias yang mempertahankan tiga pendiriannya; 1) Tidak ada sesuatupun, 2) Seandainya sesutu tidak ada, maka ia tidak dapat dikenali, 3) Seandainya sesuatu dapat dikenali, maka hal itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Sofis Hippias berpandangan bahwa Physis (kodrat) manusia merupakan dasar dari tingkah laku manusia dan susunan masyarakat, bukannya undang-undang (nomos) karena undang-undang sering kali memperkosa kodrat manusia. Sofis Prodikos mengatakan bahwa agama merupakan penemuan manusia. Sedangkan Kritias berpendapat bahwa agama ditemukan oleh penguasa-penguasa negara yang licik.
Sebagaimana para sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates terhadap relatifisme yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut intelektualisme etis. Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia. Sedang ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan memperkenalkan definisi-definisi umum.
Plato.
Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu. Pertama, sifat karyanya Socratik --Socrates berperan sentral-- dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya jawab dengan teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya plato dapat dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua, berkaitan dengan anggapan plato mengenai filsafat. Menurutya, filsafat pada intinya tidak lain daripada dialog, dan filsafat seolah-olah drama yang hidup, yang tidak pernah selasai tetapi harus dimulai kembali.
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya pikiran tergantung pada idea-idea tersebut. Idea-idea berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Idea hadir di dalam benda, idea-idea berpartisipasi dalam kongkret, dan idea merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi.
Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia.
Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama "Akademia" yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan; "yang belum mempelajari matematika janganlah masuk di sini".
Aristoteles.
Ia berpendapat bahwa seorang tidak dapat mengetahui suatu obyek jika ia tidak dapat mengatakan pengetahuan itu pada orang lain. Barangkali dengan pandangannya yang seperti ini jumlah karyanya sangat banyak bias dijelaskan. Spektrum pengetahuan yang diminati oleh Aristoteles luas sekali, barangkali seluas lapangan pengetahuan itu sendiri. Menurutnya pengetahuan manusia dapat disistemasikan sebagai berikut;
Pengetahuan
--------------------------------------------------------------------
Teoritis Praktis Produktif
-------------------------------------- --------------- -----------
Teologi/metafisik Matematika Fisika Etika Politik Seni
---------------------- --------
Ilmu Hitung Ilmu Ukur Retorika
Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Tidak dapat dibantah bahwa logika Aristoteles memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual manusia; tidaklah berlebihan bila Immanuel Kant mengatakan bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkahpun.
Mengenai pengetahuan, Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi dan jalan deduksi, Induksi mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos (silogosme).
a. Fisika
Di dalam fisikanya, Aristoteles mempelajari dan membagi gerak (kinetis) menjadi dua; gerak spontan dan gerak karena kekerasan. Gerak spontan yang diartikan sebagai perubahan secara umum dikelompokkan menjadi gerak subsitusional yakni sesuatu menjadi sesuatu yang lain seperti seekor anjing mati dan gerak aksidental yakni perubahan yang menyangkut salah satu aspek saja. Gerak aksidental ini berlangsung melalui tiga cara; yaitu gerak lokal seperti meja pindah dari satu tempat ke tempat lain, gerak kualitatif seperti daun hijau menjadi kuning, dan gerak kuantitatif seperti pohon tumbuh membesar. Dalam setiap gerak ada 1) keadaan terdahulu, 2) keadaan baru, dan 3) substratum yang tetap. Sebagai contoh air dingin menjadi panas; dengan dingin sebagai keadaan terlebih dahulu, panas sebagai keadaan baru dan air sebagai
substratum.
Analisa gerak ini menuntut kita membedakan antara aktus dan potensi. Dalam fase pertama panas menjadi potensi air dan pada fase kedua panas manjadi aktus. Aristoteles juga mengintrodusir pengertian bentuk (morphe atau eidos) dan materi (hyle) ke dalam analisa geraknya. Dalam contoh air dingin menjadi panas, air sebagai hyle dan dingin serta panas sebagai morphe.
Aristoteles berpendapat behwa setiap kejadian mempunyai empat sebab yang harus disebut. Keempat sebab tersebut adalah penyebab efisien sebagai sumber kejadian, penyebab final sebagai tujuan atau arah kejadian, penyebab material sebagai bahan tempat kejadian tempat berlangsung dan penyebab formal sebagai bentuk menyusun bahan. Keempat kejadian ini berlaku untuk semua kejadian alamiah maupun yang disebabkan oleh manusia.
Aristoteles juga membicarakan phisis sebagai prinsip perkembangan yang terdapat dalam semua benda alamiah. Semua benda mempunyai sumber gerak atau diam dalam dirinya sendiri. Pohon kecil tumbuh besar karena phisisnya, pohon tetap tinggal pohon berkat phisis atau kodratnya. Mengenai alam, Aristoteles berpendirian bahwa dunia ini bergantung pada tujuan (telos) itu. Ia mengatakan "Alam tidak membuat sesuatupun dengan sia-sia dan tidak membuat sesuatu yang berlebihan", atau katanya lagi: "Alam berindak seolah-olah ia mengetahui konsekuensi perbuatannya". Teologi ini mencakup juga alam yang tidak hidup yang terdiri dari empat anasir api, udara, air dan tanah. Aristoteles mengatakan bahwa setiap anasir menuju ketempat kodratinya (locus naturalis).
Berkaitan dengan jagat raya Aristoteles mengatakan bahwa kosmos terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah sublunar (di bawah bulan) dan wilayah yang meliputi bulan, planet-planet dan bintang-bintang. Jagat raya berbentuk bola dan terbatas, tetapi tidak mempunyai permulaan dan kekal. Badan-badan jagat raya diluar bumi semua terdiri dari anasir kelima yaitu ether yang tidak dapat dimusnahkan dan tidak dapat berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati anasir ini adalah melingkar. Berkaitan dengan jagat raya ini Aristoteles mempunyai pandangan yang masyhur mengenai penggerak pertama yang tidak digerakkan.
b. Psikologi
Menurut Aristoteles jiwa dan badan dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi. Badan adalah materi dan jiwa dalam bentuk dan masing-masing berperan sebagai potensi dan aktus. Pada manusia, jiwa dan tumbuh merupakan dua aspek dari substansi yang sama yakni manusia. Anggapan ini mempunyai konsekuensi bahwa jiwa tidak kekal karena jiwa tidak dapat hidup tanpa materi.
Potensi dan aktus juga mempunyai dalam pengenalan inderawi. Kita menerima bentuk tanpa materi. Pengenalan inderawi tidak lain adalah peralihan dari potensi ke aktus suatu organ tubuh dari aktus obyek. Sebagaimana proses pengenalan inderawi dalam pengenalan rasional bentuk tepatnya bentuk intelektual diterima oleh rasio. Bentuk intelektual ialah bentuk hakikat atau esensi suatu benda. Fungsi rasio dibagi menjadi dua macam yaitu rasio pasif (nus pathetikos) yang menerima esensi dan rasio aktif (nus poitikos) yang "membentuk" esensi.
c. Metafisika
Ta meta ta physica berarti hal-hal sesudah hak-hal fisis. Metafisika merupakan pengetahuan yang semata-mata berkaitan dengan tuhan dan fenomena yang terpisah dari alam. Di dalam Metaphysica-nya Aristoteles membahas Penggerak Utama. Gerak utama di jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan. Karena setiap sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Penggerak ini sama sekali lepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai meteri mempunyai potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun juga dan Allah harus dianggap sebagai aktus murni. Allah bersifat immaterial atau tak badani, Ia harus disamakan dengan kesadaran atau pemikirannya. Karena itu aktifitas-Nya tidak lain adalah berpikir saja dan Allah merupakan pemikiran yang memandang pemikirannya. Allah sebagai penyebab final dari gerak jagat raya ini; segala sesuatu pengejar penggerak yang sempurna dan Ia menggerakkan karena dicintai.
Ajaran lain dari Aristoteles adalah tentang filsafat praktis yaitu etika dan politika. Lanjut di sini. Dalam filsafat, Aristoteles disebut sebagai tokoh madzhab peripatis (peripatos, berjalan-jalan) yang menyadarkan diri pada deduksi untuk memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan gurunya, Plato merupakan tokoh madzhab illuminasionis yang juga mengandalkan jalan hati, asketisme dan penyucian jiwa dalam menyingkap realitas.
Sekilas tentang FIlsafat
Definisi Filsafat
Filsafat adalah usaha manusia untuk untuk memahami segala hal secara rasional, kritis, sistematis, dan radikal.
Rasional artinya menggunakan akal pikiran dan hukum-hukum logika tertentu yang masuk akal. Pemikiran filsafat merupakan hasil kegiatan berpikir bukan wahyu atau wangsit. Jika seorang filsuf mengemukakan buah pikiran yang rasional tentang suatu hal, maka orang lain dapat memahaminya dengan menggunakan pikirannya. Setiap orang yang melakukan kegiatan berpikir tentang hal itu akan memperoleh hasil yang dicapai oleh filsuf itu.
Kritis artinya tidak begitu saja menerima atau menolak suatu informasi atau pengetahuan. Pemahaman yang kritis menyertakan upaya klarifikasi setiap hasil pemikiran secara hati-hati, melakukan pengecekan dan uji coba pemahaman, dan evaluasi yang menyeluruh terhadap hasil pemikiran, baik pemikiran sendiri maupun pemikiran orang lain.
Sistematis artinya mengikuti satu aturan tertentu, memiliki alur proses yang jelas meliputi: masukkan (input), pemrosesan input, dan hasil/keluaran (ouput).
Radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Sifat radikal di sini artinya mengakar (bisa juga mendalam). Pemahaman yang radikal adalah pemahaman yang mengakar. Dalam berfilsafat, hal yang hendak dipelajari digali sampai ke akar-akar sehingga pemahaman tentang hal itu menyeluruh dan mendalam. Kegiatan memahami sesuatu secara mengakar/mendalam biasa disebut refleksi.
Untuk mempelajari filsafat kita dapat menggunakan 3 (tiga) pendekatan: 1) mempelajari sistematika pembagian filsafat; 2) mempelajari sejarah perkembangan filsafat; dan 3) mempelajari tokoh dan aliran-aliran dalam filsafat;
Kita mulai dulu dari sistematika pembagian filsafat.
Sistematika Pembagian Filsafat
Secara umum berdasarkan obyek kajiannya filsafat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang yaitu 1) bagian filsafat yang mengkaji tentang ‘ada’ (being), 2) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas), dan 3) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (axiologi). Masing-masing bidang memiliki cabang-cabangnya.
a. Bagian Filsafat yang mengkaji tentang Ada (Being)
Bidang kajian filsafat tentang ‘ada’ (being) dibagi dua menjadi 1) ontologi dan 2) metafisika. Ontologi mengkaji ‘ada’ yang keberadaannya tidak disangsikan lagi. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan metafisika mengkaji ‘ada’ yang masih disangsikan kehadirannya. Metafisika berhubungan dengan obyek-obyek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisik ‘ada’ itu tidak tampak namun oleh sebagian orang dianggap ada, misalnya jiwa, ilusi, eksistensi Tuhan, dan sebagainya.
b. Bidang Filsafat Yang Mengkaji Pengetahuan (Epistemologi dalam arti luas).
Bidang filsafat ini menjadikan pengetahuan sebagai obyek kajiannya. Beberapa ahli filsafat menyebut bidang ini sebagai epistemologi namun dalam arti luas, yaitu dalam arti bidang yang mengkaji seluruh pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asal-usulnya, bagaimana cara mendapatkannya, sampai pengujian benar-salahnya. Dalam bidang ini terdapat 4 (empat) cabang filsafat 1) epistemologi dalam arti sempit, 2) filsafat ilmu, 3) metodologi, dan 4) logika.
1. Epistemologi dalam arti sempit
Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakekat pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan. Pengetahuan di sini adalah pengetahuan umum/pengetahuan sehari-hari (knowledge) atau pengetahuan yang berguna bagi manusia secara praktis (eksistensial pragmatis).
2. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan yang dikaji berbeda dengan pengetahuan pada epistemologi dalam arti sempit. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang menjadi obyek adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis dan teruji kebenarannya.
3. Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Di sini cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh mana kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam metodologi dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru.
4. Logika
Logika adalah ilmu yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Yang menjadi satuan penalaran dalam logika adalah argumen. Penalaran berlangsung lewat argumen sebagai kelompok proposisi. Proposisi tersusun dari premis ke konklusi lewat penyimpulan. Logika berkaitan dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu.
Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan/menyangkal sesuatu yang dapat diujicoba, di dalamnya termasuk bahasa kognitif. Proposisi terdiri dari pokok yang dibicarakan (subyek), apa yang disangkal/diiyakan (predikat), dan hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula).
Secara umum ada dua jenis argumen: 1) induktif dan 2) deduktif. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke kesimpulan/premis umum. Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis/kesimpulam khusus. Induksi menghasilkan pengetahuan yang tidak niscaya, melainkan boleh jadi. Kadar kebolehjadiannya dapat diukur lewat statistik.
3. Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (Axiologi)
Axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan “Apa yang dilakukan manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia?” Di sini kita bicara tentang nilai-nilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan manusia). Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicara tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
1. Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup.
Kata etika menunjuk dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia (Solomon, 1987). Dalam etika kita juga mempelajari moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu.. Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan larangan (‘harus’ dan ‘jangan’) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.
2. Estetika
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia.
Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar.
Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup:
(1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi;
(2) ilmu eksakta dan matematika;
(3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ?
Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari
pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal.
Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya
mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga.
Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).
" Cogito, ergosum "-nya Descartes.
Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita.
Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ".
Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada.
Keraguan al Ghazzali.
Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ".
Sumber Dana Alat Pengetahuan.
Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber.
Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.
Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :
1. Alam tabi'at atau alam fisik
Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri).
Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.
Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi
yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).
Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra.
Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.
2. Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Aktivitas-aktiviras Akal
Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa
pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).
Pemilahan dan Penguraian.
Penggabungan dan Penyusunan.
Kreativitas.
3. Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu. Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial
yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.
Analogi dibagi dua;
Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.
Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya.
4. Hati dan Ilham
Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga
sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.
Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.
Bagaimana mengetahui lewat hati ?
Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya -yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi
kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya ".
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para 'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman 363-364)
Kemudia beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara -lebih dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at."
Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.
Islam dan Sumber-sumber Pengetahuan
Dalam teks-teks Islam -Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber
dan alat pengetahuan:
Indra dan akal
Allah swt. berfirman, "Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari
perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan
(lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati (
atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa
indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya
dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman, "Katakanlah, lihatlah segala
yang ada di langit-langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-
ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk
bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan
pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti,
"Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah,
niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini
menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika
Aristotelian dengan silogisme hipotesis.
Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah memberi perumpamaan, seorang
yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang
menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?" (QS.
al-Zumar: 29)
Hati
Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS.
al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan
cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan
yang batil.
Atau ayat yang berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan
mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-
Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.
Syarat dan Penghalang Pengetahuan.
Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun
seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata
tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan,
yaitu :
Konsentrasi
Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal
pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui
apa yang ada di sekitarnya.
Akal yang sehat
Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal
yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau
pendidikan yang tidak benar.
Indra yang sehat
Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui
alam materi yang ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan
pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki
lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti,
membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang
lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-
aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan
terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan
terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang
menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid
buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah
(jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai
materi secara berlebihan.
Wal hamdulillah awwalan wa akhiran.
(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan
Pendidikan Islam Al-Jawad
Langganan:
Postingan (Atom)