Rabu, 14 Juli 2010

LANDASAN POLITIK DALAM AL QUR'AN


Landasan pol dalam alqur’an dan al hadits
- Al Qur’an= AQidah dan syariah. Syariah: 1. Muamalah 2. Siyasah---pemerintah.
- Jagn heran Islam tdk pernah lepas dari dunia politik. Inilah yg membedakan Islam dengan agama yg lainnya----pernyataan streotipikal yg mengandung kebenaran. Mengingkari itu sama halnya mengingkari sejarah, selama 14 abad dan akan berlangsung entah sampai kapan.Org barat jg banyak mengkaji, karena menganggap dlm sejarah Islam itu slalu ada cita-cita mewujudkan masy. Yg dicita-citakan.
- Fiqh Siyasi (Siyasah syariah)---hukum---oleh pemimpin----yg harus ditaati: yg berfungsi mengorganisir perangkat kepentingan Negara dan urusan umat/ segala bentuk kebojaksanaan pemimpin
- Alasan dibutuhkannya suatu system pemerintahan atau Negara:
1. Taat pemimpin berarti menghendaki adanya pemerintah—karena itu mendirikan pemerintah/Negara/pemimpin adalah wajib: “…kullukum ra’en wa kullukum……”
2. Terwujudnya kemaslahatan ummat sangat tergantung pd adanya amar ma’ruf nahim mungkar. Ini diperlukan seorang pemimpin/pemerintah yg mengaturnya. Diharuskan masy memilih pemimpin/ ketua, karena masy ato kelompok kecilpun diharuskan mengangkat pemimpin atau ketua. Hadits: ..” Suatu ketika sahabat berjalan 3 orang, maka nabi menyuruh memeilih pemimpin diantara mereka….(HR Bukhari)..”
3. maka secara rasioaqli: seharusnya menyerahkan urusan itu kepemimpin utk terorganisir. Maka kebutuhan akan pemimpin atau pemerintahan adalah wajib secara nash/syar’I dan rasio/aqli.
- kekuasan pol milik Allah:…” ma anzala Allahu biha min shultanin inil hukmu illa billahi..”(yusuf.
- Kekuasaan pol milik Rasul/manusia:…” kanannasu ummatan wahidatan faba’atsa nnabiyyina…” (albaqarah.87:213.
- Ayat-ayat social pol:
a. Kedudukan manusia di bumi: An Nisa 26 , Al An am 165, Yunus 14
b. Musyawarah/konsultasi: Al Imran 159, Al syura 38.
c. Ketaatan pd pemimpin: An nisa 59
d. Keadilan: An nahl 90
e. Persamaan: Al Hujurat 13
f. Hubungan antara masy dr berbagai agama: Al Baqarah 256 dan Al Mumtahanah 8-9

PERWAKILAN POLITIK

MASA DEPAN PERWAKILAN POLITIK FORMAL
DI INDONESIA:
Sistem Kepartaian, Pengaturan Pemilu, Perilaku Politisi
dan Dinamika Pemilih
Oleh:
I Ketut Putra Erawan, Ph.D
Pengelola Program Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Indonesia
November 2004
A. Pengantar
Melihat berbagai hasil riset, survey, dan opini umum tentang perwakilan politik formal, maka masa depan lembaga ini diprediksi suram. Lembaga ini dianggap tidak melaksanakan tugas, penuh intrik dan konflik, tidak responsif, dan tidak relevan bagi konstituen, negara, dan rakyat. Lembaga ini dianggap menggunakan banyak sumber politik ekonomi negara, dan membuat politik menjadi mahal. Ia menjadi sumber persoalan dan bukan solusi.
Ini menjadi ironis mengingat sistem demokrasi yang kita anut adalah demokrasi representatif. Tumpuan hidup bernegara diletakkan pada institusi perwakilan formal ini. Para wakil rakyat dipilih lewat mekanisme pemilu untuk menjadi pejabat politik dan publik yang diberi basis legitimasi untuk bertindak atas nama rakyat dan negara. Lihat pemikiran Pitkin, Locke, dll. Mereka dievaluasi setiap periode tertentu lewat mekanisme pemilu. Prosedur-prosedur diciptakan agar rakyat dapat mengevaluasi secara baik.

Ketika perwakilan politik formal ini tidak mampu membawakan aspirasi dan kepentingan publik, maka persoalan menjadi serius. Bukan demokrasi yang sedang dikembangkan, tetapi rejim lain. Mungkin oligarkhi, kalau sekelompok kecil elit yang beruntung dari proses berpolitik. Mungkin rent-seeking, kalau jabatan politik dan negara dipakai untuk menguntungkan kelompok. Mungkin patrimonialisme, kalau keluarga penguasa saja yang menikmati hasil kebijakan publik.

Sistem perwakilan politik formal di Indonesia, secara logika mencakup beberapa jenis: (1.) Perwakilan kekuatan politik dalam territori tententu (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota); (2.) Perwakilan Territori (DPD); (3). Eksekutif bagi territori seluruh wilayah nasional (Presiden dan Wapres); dan (4.) Eksekutif bagi territori daerah (Gubernur/Wagub, Walikota/Wawali, dan Bupati/)

Ada yang melaksanakan secara konvensional. Ada yang berani melakukan inovasi. Sbg contoh: Demokrasi Langsung dari Bali; Inovasi Governance di beberapa daerah; Bargaining dengan pusat.

Pertanyaannya adalah bagaimanakah masa depan perwakilan politik formal di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan diberikan setelah mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi masa depan perwakilan politik tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sistem kepartaian di Indonesia, pengaturan pemilu, dan pilkada, tingkah laku politisi, dan dinamika pemilih.

B. Sistem Kepartaian di Indonesia: Multi Partai tidak sederhana
Jenis sistem kepartaian memiliki pengaruh terhadap masa depan keterwakilan politik di Indonesia. Bagi pakar politik seperti Sartori, jumlah partai yang terlalu banyak akan membuat kebijakan publik tidak fokus dan terfragmentasi. Perdebatan menjadi teknis dan tidak reflektif. Kebijakan publik akan habis terkuras untuk kebutuhan jangka pendek. Pada saat yang sama, jumlah yang terlalu sedikit akan menimbulkan dominasi, hegemonisasi, serta berkurangnya kompetisi. Minimnya kompetisi akan memberi peluang munculnya kolusi dan oligarki.
Dalam kaca mata teoretik maka munculnya moderate pluralism merupakan harapan. Logikanya adalah ini akan memungkinkan munculnya sistem presidentialisme yang efektif. Sistem kepartaian ini bisa dimungkinkan dengan berbagai political engineering:
1. Entry Costs yang Rendah

Oleh karena, partai politik adalah institusi publik yang memiliki tugas sangat penting, wewenang besar, dan tanggung jawab tinggi maka persyaratan yang melekat tidak mudah. Diantara berbagai persyaratan yang dilekatkan dalam UU Partai Politik 2008, maka salah satu entry costs yang tinggi adalah persyaratan untuk memiliki prosentase jumlah kantor cabang riil di seluruh Indonesia pada waktu tertentu. Tampaknya persyaratan ini tidak dapat mengurangi jumlah partai yang ada.

Proses verifikasi yang sangat “toleran” menyebabkan banyak partai mampu menembus entry cosy yang rendah ini. Beberapa partai yang disinyalir tidak kompetenpun ikut lolos verifikasi peserta pemilu. Implikasinya adalah legitimasi dan otoritas lembaga perwakilan formal ini menjadi melemah.

Tabel 1. Sistem Kepartaian dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Sistem Multipartai tidak sederhana Entry costs rendah Problema Representasi Formal
(Legitimasi rendah)
Organizing costs rendah Problema Representasi Formal
(Otoritas lemah)

2. Organizing Costs yang rendah
Organizing costs yang dilekatkan tidaklah terlalu tinggi. Selain persyaratan jumlah pengurus yang mempertimbangkan perempuan hanya untuk pusat, tidak ada persyaratan menunjukkan aktivitas rutin di masing-masing cabang. Sehingga kantor-kantor itu hanya berfungsi pada saat atau menjelang pemilu dan pilkada. Mengingat biaya politik dalam pemilu yang relatif tinggi maka organizing costs yang harus dipersyaratkan semestinya juga seimbang. Namun, seperti halnya entry costs, organizing costs juga rendah menyebabkan tidak kompetennya beberapa partai yang ikut pemilu. Situasi yang seperti ini akan menyulitkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya basis legitimasi dan otoritas yang kuat bagi lembaga yang akan menjadi wakil rakyat itu.

C. Pengaturan Pemilu: Politik Penegasian
1. Persyaratan ikut pemilu (Isu Rendahnya Kompetensi)
Seperti yang disebutkan diatas, persyaratan ikut pemilu untuk pemilu 2009 yang tadinya menggunakan persyaratan electoral threshold dan parliamentary threshold ternyata dinegasi oleh pasal lain yang membolehkan semua partai yang memperoleh kursi untuk lolos verifikasi. Belum lagi gugatan pengadilan yang membuat jumlah partai yang boleh ikut pemilu lebih banyak lagi. Persyaratan kompetensi dinegasikan atas nama hak untuk berpartisipasi.

Tabel 2. Pengaturan Pemilu dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Pengaturan Pemilu: Politik Penegasian Persyaratan ikut pemilu rendah Problema Representasi Formal
(Legitimasi rendah)
Inkonsistensi sistem pemilihan Problema Representasi Formal
(Legitimasi rendah)
Lemahnya kapasitas komunikasi politik Problema Representasi Formal
(Otoritas lemah)
Lemahnya kapasitas penyelenggara pemilu Problema Representasi Formal
(Otoritas lemah)

2. Sistem pemilihan (Isu Inkonsistensi)
Sistem pemilihan umum untuk memilih legislatif menurut UU Pemilu 2008 adalah sistem representasi proporsional dengan list terbuka (hingga syarat minimal 30% BPP). Dibawah itu akan menggunakan sistem tertutup atau nomor urut. Tetapi kesepakatan ini dinegasi sendiri oleh berbagai partai yang ada. Entah dengan alasan mencari simpati, atau alasan mereka tersingkir dari urutan nomor jadi, usulan “tarung bebas” diterapkan oleh mereka.

Usulan tarung bebas, menyebabkan peserta pemilu harus bersaing dengan para wakil separtainya sama seperti harus bersaing dengan diluarnya. Heuristik shortcut dengan menggunakan hampiran identifikasi partai, tokoh politik nasional, ideologi menjadi tidak terlalu berguna karena orang separtai menggunakan alat yang sama.

3. Kampanye (Isu Lemahnya Kapasitas Komunikasi)
Periode kampanye dibagi menjadi kampanye dengan rapat umum dan non pengerahan massa. Masa kampanye yang sangat panjang telah menyebabkan stamina berbagai partai kelihatan timpang. Peniruan cara kampanye menyebabkan pendidikan politik tidak jalan. Banyaknya partai dan calon dipertontonkan di tempat-tempat umum, justru tidak menunjukkan semaraknya proses politik. Tetapi kejenuhan, semrawut, dan kebingungan. Informasi ke publik tentang kualitas calon, visi-misi, dan program menjadi tidak dapat muncul dinegasi oleh cara kampanye konvesional dengan bendera dan poster atau spanduk berisi gambar calon/partai. Mungkin yang terjadi adalah publik mengenal gambar dan nomer partai, tetapi tidak peduli dengan calon. Apalagi terhadap visi-misi, posisi politik si calon.

4. Lembaga Penyelenggara pemilu (Isu Kapabilitas Rendah)
Situasi baru dan proses politik yang sangat panjang menyebabkan lembaga penyelenggara pemilu belum dapat sepenuhnya merespon situasi. Belum lagi di berbagai tempat mereka masih disibukkan oleh Pilkada. Di banyak tempat ekses pilkada belum juga dapat diselesaikan.

Tugas penyelenggara pemilu belum dapat sepenuhnya jalan mengikuti pola kerja hirarkhis yang dirancang dalam undang-undang penyelenggara pemilu. Kapasitas penyelenggara pemilu di Pusat seringkali tidak dianggap tidak cukup kompeten menangani situasi yang kompleks dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh proses pemilu 2009.

Situasi pengaturan pemilu yang dipenuhi oleh upaya penegasian (persyaratan ikut pemilu dan sistem pemilihan) menimbulkan implikasi kesulitan menerapkan praktek representasi formal. Representasi formal menekankan perlunya konsistensi dan kredibilitas dari kekuatam politik dan calon wakil rakyat. Hal ini diperparah dari lemahnya komunikasi politik dan kapasitas penyelenggara pemilu. Basis legitimasi representasi formal adalah proses politik yang bernama pemilu. Apabila informasi tentang kandidat terbatas dan penyelenggara tidak kredibel, maka pemilu tidak akan mampu menghadirkan representasi formal secara baik.


D. Perilaku Politisi: Ketidakpastian dan Keruwetan
1. Persaingan Internal dan Persaingan Eksternal
Seperti diuraikan didepan maka persaingan internal akan juga sangat kuat. Implikasinya adalah adanya upaya untuk melakukan distinction atau pembedaan. Tetapi kalau jumlahnya terlalu banyak distinction tersebut akan sulit dicapai. Distinction akan mudah dilakukan dengan sistem plurality atau district. Dengan sistem PR apalagi list terbuka, sukar untuk melakukan perbedaan.

Ketidakpastian yang tinggi tentang loyalitas pemilih dan tingginya persaingan antar calon internal dan eksternal membuat pemilu 2009 akan memiliki friksi dan resiko yang tinggi. Fragmentasi dan personalisasi politik akan sangat menonjol. Pengorganisasian partai akan diuji oleh berbagai konflik internal. Faksi dan pengelompokan akan menjadi isu utama pemilu. Visi, Misi, dan Program masih menjadi tempelan kampanye tanpa makna.


Tabel 3. Perilaku Politisi dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Perilaku Politisi: Ketidakpastian dan Keruwetan Persaingan internal dan eksternal Problema Representasi Subtantif
(Fokus ke network yang ada)
Pendapilan Problema Representasi Deskriptif
(Ketidakmampuan untuk distinction)
Pemasaran Politik Problema Representasi Substantif (Politik transaksional)
Coattail Efect Pilkada Problema Representasi Deskriptif
(Ketidakmampuan untuk distinction)

2. Pendapilan
Fokus persaingan politisi menjadi terkonsentrasi pada daerah dimana ia dicalonkan. Dapil akan hanya menjadi arena persaingan saja, bukannya tempat merefleksikan kebutuhan warga di wilayah tersebut. Pemilih juga belum terbiasa dengan konsepsi dapil seperti ini. Dengan demikian, sistem pemilihan representasi proportional pada wilayah tertentu (dapil) hanya memberi pemaknaan representasi kekuatan politik yang didukung pemilih tertentu. Representasi teritori seperti yang ingin dilekatkan pada konsep pendapilan tidak dapat dimunculkan pada pemilu 2009.

Sebagai konseptualisasi representasi teritorial adalah DPD. Tetapi dihilangkannya persyaratan teritori bagi DPD membuat lembaga ini kehilangan makna. Kata Daerah dalam DPD seharusnya menyiratkan keharusan representasi teritori sekarang menjadi tidak jelas. Apalagi, dihilangkannya prasyarat non-partisan (berpartai) dalam DPD membuat lembaga ini semakin menyerupai DPR. Basis legitimasi teritorinya telah tergerus, kekuatannya dalam membawakan aspirasi daerah (teritori) menjadi pupus.


3. Political Marketing dan Sumber Daya Ekonomi
Melihat praktek kampanye yang sangat panjang dan persaingan ketat dalam beberapa bulan belakangan ini, maka kekuatan politisi akan juga sangat ditentukan oleh kapasitasnya dalam memobilisasi massa, mempraktekkan political marketing yang tepat, dan menggerakkan sumber daya ekonomi.

Dalam berbagai peristiwa politik, terutama Pilkada massa pemilih sudah diajari untuk melakukan transaksional politik. Mereka dijadikan target mobilisasi dan marketing politik, dan mereka melakukan bargaining baik kelompok maupun perorangan untuk kepentingan jangka pendek kelompok ataupun perorangannya. Akibatnya adalah transaksi potensi suara dengan berbagai sumbangan dari calon atau partai. Kampanye dan pemilu menjadikan politik menjadi sangat mahal. Implikasinya adalah politik menjadi permainan ekslusif kelompok yang memiliki kekuatan politik ekonomi. Dan belum lagi, negara dan jabatan publik akan menjadi ajang rent-seeking dan korupsi.

4. Coattail Efek Pilkada
Di beberapa daerah yang baru saja menyelenggarakan Pilkada, maka dampak Pilkada secara politik dan sosiologis terhadap pemilu 2009 di daerah itu akan tinggi. Partai-partai yang berhasil mengusung calon terpilih akan menikmati efek ekoran sebagai partai-partai yang memiliki mesin politik ekonomi yang jalan. Calon-calon partai-partai tersebut juga menikmati limpahan informasi yang sudah tersampaikan selama pilkada. Dalam hal starting point energy, mereka tidak membutuhkan lagi tambahan. Tetapi persoalannya adalah bahwa dengan mekanisme tarung bebas, maka mereka harus mencari sumber-sumber baru yang membedakan. Seperti diuraikan di depan, maka basis politik segmentasi dan targeting menjadi disempitkan ke dapil dimana mereka bersaing. Isu-isu yang seharusnya diusung menjadi tajam dan riil. Calon yang tidak memiliki basis dukungan akar rumput akan memiliki kesulitan untuk terpilih.

Di beberapa daerah yang pilkadanya maupun proses pemerintahannya bermasalah, maka pemilu 2009 akan juga dipenuhi implikasi persoalan-persoalan pilkada yang belum selesai tersebut. Berbeda dengan pilkada, maka arena dan ranah konflik menjadi tidak dikotomis (seperti logika sistem pemilu plurality dalam Pilkada) tetapi lebih terfragmentasi atas berbagai isu dan ranah (seperti logika representasi proportional dalam Pemilu Legislatif).

Kalau didepan diuraikan, tentang efek sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten, dan ketidakpastian dan keruwetan yang dihadapi politisi, maka bagian berikut akan membahas pemilih yang dinamis. Kesemuanya akan berpengaruh terhadap masa depan perwakilan politik. Kerumitan untuk membawa keterwakilan dalam proses pemerintahan dan politik, dalam paper ini bisa dijelaskan dari berbagai faktor baik yang struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”), institusional (pengaturan pemilu), maupun behavioral (perilaku politisi dan pemilih).

E. Dinamika Pemilih: Keterbatasan Informasi
1. Swing Voters dan Pemilih Pemula
Dalam berbagai survey dan temuan riset, ternyata jumlah pemilih yang tidak menetapkan pilihannya terhadap partai (terlebih calon) dalam pemilu (kalau pemilu dilakukan hari ini) adalah mendekati 30%. Jumlah ini jauh melebihi jumlah suara yang diprediksi akan dimenangkan oleh partai yang menang pemilu. Ini mengindikasikan dinamika baru yang harus dimengerti oleh partai politik dan calon yang bersaing. Siapakah mereka? Dimana mereka berada? Apa kepentingan politiknya? Semua pertanyaan tersebut harus segera dijawab untuk dapat mengerti dinamika perilaku memilih dalam pemilu di Indonesia.

Hal lainnya yang ditunjukkan dalam berbagai temuan riset dan survey opini publik adalah para pemilih cendrung tidak dapat membedakan antara nama, tanda gambar, visi-misi, posisi program dari berbagai partai yang bersaing dalam pemilu. Lebih dari 60% dari respondent tidak dapat membedakannya. Melihat hal tersebut, maka jumlah yang tidak dapat membedakan antara kandidat satu dan lainnya tentu akan lebih besar lagi.

Ketidakmampuan membedakan tersebut menyebabkan pemilih sebagian menyatakan dirinya tidak memiliki loyalitas. Mereka akan dengan sangat mudah bergeser untuk memilih ke partai atau calon lain. Pemilih yang preferensinya mudah bergeser tersebut kita sebut swing voters.

Pemilih lainnya yang membutuhkan perhatian secara khusus adalah pemilih pemula. Pemilih pemula ini adalah pemilih yang baru pertama karena faktor usia boleh ikut dalam pemilu. Jumlah mereka yang akan semakin banyak, dan preferensi mereka akan mempengaruhi bentuk representasi politik formal yang ada. Mereka cendrung menuntut representasi yang lebih bersifat substantif.

Tabel 4. Dinamika Pemilih dan Implikasi Representasi
ISU Fokus Implikasi Representasi
Dinamika Pemilih: Keterbatasan Informasi Swing Voters dan Pemilih pemula Problema Representasi Formal
(Problema Legitimasi)
Split Voters Problema Representasi Formal
(Problema Legitimasi)
Konstituen dan Partisan Problema Representasi Deskriptif (Problema Distinction)
2. Split Voters

Hal yang serupa juga terjadi ketika kita melihat kecendrungan baru dalam perilaku memilih. Dalam kondisi pilihan partai yang sangat banyak dan calon juga harus bersaing dengan calon lain secara internal, maka phenomena split voters akan meningkat. Pemilih bisa saja memilih partai A calon no 1 untuk DPR, tetapi memilih partai B calon no 2 untuk DPR provinsi, dan tidak memilih untuk calon DPRD kabupaten.

Split voter yang demikian akan menyulitkan kita melihat pola keterwakilannya dalam kaca mata keterwakilan politik formal saja. Yang mungkin menjelaskan adalah keinginan voters untuk si kandidat di masing-masing level membawa aspirasi yang berbeda. Sehingga partai yang dipilihpun jadi beragam. Konsistensi atau loyalitas kepartaian menjadi rendah. Pola representasi yang berkembang menjadi simbolik ataupun substantif.

3. Konstituen dan Partisan
Aturan main pemilu kali ini memang cukup berbeda. Dengan hanya prasyarat mendapat kursi 30% BPP serta beberapa partai yang meminta calon-calonnya akan diurutkan bukan oleh nomor urut tetapi oleh jumlah suara (tarung bebas) menyebabkan arena persaingan menjadi baik internal ataupun eksternal. Konsentrasi dari aktivitas politisi adalah lebih terkonsentrasi menggarap daerah yang mereka kenal dan kuat. Dapil akan menjadi arena persaingan antara berbagai politisi yang ikut pemilu.

Lain dengan pemilu sebelumnya, maka konstituen dan partisan di dapil tersebut akan menjadi komoditi yang berharga untuk dimobilisasi antar berbagai elemen yang bersaing. Kecendrungan personalisme tersebut akan membuat persaingan program antar calon akan mudah diganti dengan upaya menunjukkan karisma calon ataupun network sosial dan kultural yang dimiliki. Representasi yang berkembang justru lebih simbolik daripada substantif.

F. Masa Depan Perwakilan Politik di Indonesia: Banyak Pekerjaan Rumah
Seperti yang telah diuraikan didepan bahwa sistem kepartaian yang tidak sederhana, pengaturan pemilu yang tidak konsisten, dan ketidakpastian dan keruwetan yang dihadapi politisi, serta pemilih yang dinamis, menyebabkan konsepsi dan praktek representasi politik formal menjadi problematik.

Kerumitan untuk membawa keterwakilan dalam proses pemerintahan dan politik, dalam paper ini bisa dijelaskan dari berbagai faktor baik yang struktural (sistem kepartaian dan keberadaan pemilih “baru”), institusional (pengaturan pemilu), maupun behavioral (perilaku politisi dan pemilih).

INSTITUSI INFORMAL

Informal Institution


Mengapa informal institution penting dipelajari dalam ilmu politik?
1. Informal institution kadang merupakan faktor pendorong (incentives) bagi perilaku politik tertentu. Misal:
o Di Italia, norma korupsi lebih powerfull ketimbang hukum negara. Sebab pelanggar hukum negara ada kemungkinan bebas dari hukuman (impunity), tapi pelanggar konvensi justru akan mendapatkan punishment.
o Di Brazil, rules dan prosedur informal (berupa bonus dan promosi jabatan) mendorong polisi untuk berani melakukan tembak di tempat terhadap penjahat.

2. Informal institution kadang-kadang bisa mempengaruhi institutional outcomes.  Struktur informal bisa membentuk performa institusi formal. Misal:
o Hubungan eksekutif-legislatif tidak selalu bisa dijelaskan dalam desain konstitusi. Norma-norma neopatrimonial yang memungkinkan adanya unregulated presidential control terhadap institusi negara di Afrika dan Amerika Latin kadang mengalahkan derajat dominasi eksekutif yang jauh melebihi otoritas konstitusional presiden.
o Institusi informal bisa membatasi kekuasaan presiden.  informal institution telah menciptakan executive consultation dan power sharing, sehingga secara sistematis Presiden Chile yang berdasarkan konstitusi memiliki kekuasaan sangat kuat menjadi berkurang.

3. Punya fungsi mediasi bagi efek electoral rules.
o Di Costarica, sistem proportional representation dan larangan (ban) dalam pemilu ulang anggota kongres tidak menawarkan insentif formal bagi legislator yang bisa menjalankan constituency service. OKI, para legislator ini secara rutin melakukan kegiatan lain yang informal misalnya party-sponsored “district” dan blacklisting.
o Dalam pemilu di AS, para pemilih lebih tertarik untuk ikut dalam pemilu primary, maka disarankan agar sistem pemilu primary didesain untuk mempolarisasikan para kandidat. Dalam konteks clientelism yang menjalar (pervasive clientelism), pemilu dimenangkan oleh partai/ politisi yang didukung oleh mesin politik yang kuat, bukan dimenangkan oleh mereka yang memiliki basis ideologi kuat.

4. Membuat outcomes formal institution menjadi lebih visible.
o Yaitu dengan cara menciptakan atau memperkuat insentif untuk menyesuaikan dengan aturan formal.  norma telah menjadi dasar bagi institusi formal.
o Stabilitas demokrasi presidensial di AS tidak hanya menghasilkan rules dalam konstitusi saja, tapi juga berakar dalam informal rules untuk mencegah merosotnya formal check & balances sehingga menimbulkan konflik antar lembaga negara.
 Informal rules misalnya : mau mengakui kekalahan dengan hati lapang (gracious losing), tidak menggunakan hak istemewa sepenuhnya (underuse of certain formal prerogatives), bipartisan concensus on critical issues.
o Contohnya dalam politik legislatif, politik yuridiksi, organisasi parpol, dana kampanye, perubahan regim, federalisme, administrasi publik, dan state building.

Definisi
o Istilah informal institution banyak dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan dengan: personal networks, clientelism, korupsi, klan dan mafia, civil society, kultur tradisional, dan berbagai norma legislatif, yudisial, bahkan borokratis.
o Bagaimana membedakan formal dan informal institutional?
o Formal institution: rules and procedures that are created, communicated, and enforced through channels widely accepted as official. Contoh:
 State institutions  pengadilan, legislature, dan birokrasi
 State-enforced rules  konstitusi, laws, regulasi
 ‘Organizational rules’ atau official rules that govern organizations  korporasi, parpol, dan interest groups.

o Informal institution: socially shared rules, ussualy unwritten, that are created, communicated, and enforced outside of officially sanctioned channels.
 Meski dalam banyak hal berakar dari tradisi kultural, namun, sedikit yang berhubungan langsung dengan kultur.
 Informal institution sering diperlakukan sebagai residual category ketika diterapkan dalam melihat berbagai perilaku yang terpisah, atau yang tidak berdasarkan aturan tertulis.

o Pembedaan formal dan informal institutions biasanya dikontraskan dalam beberapa hal :
o Informal institution bersifat fungsional  problem solving bagi interaksi sosial dan koordinasi untuk meningkatkan performa/ efisiensi formal institutions.
o Informal institution bersifat disfungsional  problem creating bagi demokrasi formal, market, dan state institution . Contoh: clientelism, korupsi, patrimonial. Bahkan, bisa jadi memperkuat atau menggantikan formal institution.

Beberapa prinsip informal institution yang perlu diperhatikan
1. informal institution berbeda dengan weak institutions.
2. informal institution berbeda dengan informal behavioral regularities yang lain
3. informal institution berbeda dengan informal organizations
4. informal institution berbeda dengan konsep luas kebudayaan

Tipe-tipe Informal Institution
1. Complementary informal institutions
2. Accomodating informal institutions
3. Competing informal institutions
4. Substitutive informal institutions

Tabel Tipologi Informal Institutions
Outcomes Effective formal institutions Ineffective formal institutions
Convergent Complementary Substitutive
Divergent Accomodating Competing

Keterangan:
1. Complementary informal institutions
o Mendorong efisiensi  contoh: norma, rutinitas, dan operating prosedure that ease decision making and coordination within bureaucracies.
o Bisa berfungsi sebagai fondasi bagi formal institution, menciptakan atau memperkuat insentif (memainkan peran kunci) dalam rangka pematuhan terhadap aturan formal.

2. Accomodating informal institutions
o Informal institutions menciptakan insentif untuk behavior yang secara tidak langsung bisa mengubah efek substantif aturan formal.
o Contoh: mekanisme executive-legislative power-sharing di Chile.

3. Competing informal institutions
o Formal rules and procedures tidak ditegakkan secara sistematis  menimbulkan banyak pelanggaran.
o Competing informal institutions merupakan hasil dari adanya inneffective formal rules dan divergent outcomes .
o Insentif diciptakan tidak dalam kerangka mengefektifkan formal rules.
o Contoh: supaya patuh hukum ,harus ada kekerasan (violation) terlebih dulu.  patrimonialisme, clan politics, korupsi.

4. Substitutive informal institutions
o Substitutive informal constitution muncul sebagai hasil dari adanya ineffective formal institutions dan compatible outcomes.
o Tujuan: agar outcomes compatible dengan formal rules and procedures.
o Substitutive informal constitution muncul dalam kondisi dimana formal rules tidak ditegakkan secara rutin, struktur negara lemah, dan lack of authority.

Mengapa Muncul informal institution
o Karena formal institution tidak sempurna (incomplete).
o Informal institutions bisa menjadi pilihan strategi bagi aktor yang menginginkan tapi tak bisa meraih formal institutions.
o Karena informal institution sering dianggap less costly.
o Sebagai strategi alternatif ketika formal institutions tidak efektif.
o Untuk mencapai tujuannya tidak perlu publicity acceptable.


Bagaimana informal institution diciptakan dan dikomunikasikan
o Bila formal rules dibuat melalui channel-chennel resmi seperti legislatif dan eksekutif, dan dikomunikasikan serta ditegakkan melalui state agency (polisi, dsb), maka informal institution diciptakan, dikomunikasikan, dan ditegakkan di luar public channels, bahkan tanpa sepengatahuan publik.
o OKI, untuk mempelajarinya harus memperhatikan:
o Aktor, koalisi, interest di balik informal rules.
o Dalam konteks dimana terdapat distribusi power dan resources yang tidak seimbang, maka yang harus diperhatikan adalah proses konflik dan kekerasannya.
o Proses kemunculan informal institutions beragam:
o Top down  merupakan produk atau tuntutan yang tidak masuk akal dari elit
o Hasil interaksi strategis level elit.
o Karena adanya proses yagnn terdesentralisasi dan melibatkan banyak aktor (misal korupsi, clientelism, dsb)
o Merupakan hasil dari interaksi/ bargaining yang berulang-ulang, dsb.

Perubahan informal institution
o informal institution biasanya sulit untuk berubah. punya kemampuan survival.
o OKI, perubahan berlangsung pelan dan inkremental.
o Perubahan yang terjadi biasanya menyangkut 2 hal:
o Dalam hal desain formal institution.
 Dipengaruhi oleh perubahan desain formal rules  bisa berpengaruh terhadap cost & benefit yang melekat pada informal rules tertentu  mempercepat perubahan informal institution.
• Hal ini terjadi misalnya ketika perubahan ini menciptakan insentif bagi aktor untuk memodifikasi atau meninggalkan informal rule.
• Contoh: Bill of Rights of Subcommittes di House of Representatives AS tahun 1974 menghasilkan perubahan tajam dalam formal rules yang menolak struktur komite informal.
 Dipengaruhi oleh perubahan efektivitas/ kekuatan formal institution.
• Misalnya, perubahan pada level penegakan formal rules
• Peningkatan efektivitas formal rules juga bisa memperlemah substitutive informal institution.
o Perubahan diluar konteks formal institution.
 Terjadi karena berakar dalam evolusi nilai-nilai sosial  hal ini diyakini oleh para ilmuwan yang melihat informal institution sebagai produk kultur masyarakat.
 Terjadi karena status quo mendukung terjadinya perubahan.
• Misal: pembangunan dalam lingkungan eksternal bisa mengubah distribusi power dan resources dalam masyarakat, memperlemah aktor yang selama ini diuntungkan dan memperkuat mereka yang mendukung perubahan.


Tabel Perubahan Informal Institution

Source of change Mechanism of change Pace of change Examples
Formal institutional change Change in design of formal institution Often relatively rapid 1974 change in committee rules in US Congress
Formal institutional change Change in effectiveness of formal institution Variable Collapse of Mexican concertacesiones as courts gain credibility; Mani Pulite and Itallian corruption.
Cultural evolution Change in societal values Very slow Erosion of traditional kinship-based norms
Change in distribution of power, resources New rounds of bargaining Often slow, incremental Erosion of clientelism trough growth of middle class
Updating of beliefs/ mechanism for coordination Tipping Rapid End of foot-binding in China




Bacaan:
Helmke, Gretchen & Steven Levitsky (2004), Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda

PEMILUKADA-DEMOKRASI

IMPLEMENTASI DEMOKRASI,
PENEGAKAN HUKUM DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Oleh. Dr. Muh. Kausar Bailusy, MA
Memahami Pemahaman Sistem Pemilu Kepala Daerah
a. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan bagian demokratisasi yang sedang bergulir di tanah air, sebagai bagian dari gerakan reformasi.
b. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan wujud dari model pengisian pejabat publik oleh masyarakat, sehingga akuntabilitasnya kepada pemilik kedaulatan menjadi konkret
c. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan salah satu upaya membangun sistem pengisian jabatan politik yang demokratis, mulai dari Presiden, kepala daerah (propinsi, kabupaten/kota) sampai kepala desa.
d. Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan bagian penting dalam desentralisasi yang mempunyai tujuan, yakni:
• Tujuan politik desentralisasi yaitu membangun infrastruktur dan suprastruktur politik tingkat lokal menjadi demokratis
• Tujuan administrasi dari desentralisasi yaitu menata birokrasi pemilihan lokal.
• Tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Dampak Pilkada Pada Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan
Dampak Positif
Apabila pilkada secara langsung berjalan dengan sukses, maka kehidupan politik yang demokratis di daerah akan dapat dibangun secara bertahap dan bersinambungan. Hal tersebut akan memberi andil besar bagi terbangunnya sistem politik lokal yang demokratis. Oleh karena itu jika sistem demokrasi ini terlindungi dengan baik maka stabilitas perpolitikan lokal menjadi baik.
Kepercayaan masyarakat pada pemerintahan meningkat, karena prinsip kedaulatan di tangan rakyat dan dapat diwujudkan secara faktual. Pemerintahan perlu menjaga kepercayaan rakyat untuk mensukseskan Pilkada, sehingga partisipasi politik masyarakat akan meningkat setiap Pilkada.
Proses mengusung calon, partai politik harus mengikutkan masyarakat pamilih. Sehingga dalam pemilihan umum kepala daerah masyarakat merasa bertanggung jawab untuk memilih calon yang di setujui oleh masyarakat pemilih atau warga negara. Pada sisi lain masyarakat merasa partai politik mengakomudir hak politik rakyat atau kedalautan rakyat. Oleh karena itu partai politik sebagai alat untuk mengembangkan demokrasi akan memperoleh simpati dari rakyat. Dan rakyat akan tetap mendukung partai tersebut dalam hal pemilihan umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh pemilih akan memiliki legitimasi yang kuat, sehingga tidak mudah di goyahkan. Dengan pemerintah yang stabil, tujuan sosial-ekonomi dari desentralisasi yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat akan dapat diwujudkan secara bertahap. Maka otonomi daerah makin lama makin stabil dalam perpolitikan, aturan pun secara spontan ditaati sehingga stabilitas pun semakin hari semakin meningkat.
Akuntabilitas kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik adminiftratif, yuridis, politis dan terutama moral akan disampaikan langsung kepada masyarakat. Dengan cara dorongan yang kuat agar dana-dana publik yang dikelola oleh pemerintah sebagian besar diakolasikan kembali untuk kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi seperti yang selama ini terjadi. Namun hal seperti ini merupakan ide dan pemikiran yang diharapkan. Dana untuk kepentingan publik yang diporsikan oleh setiap kabupaten/kota masih di bawah 10% anggaran belanja daerah. Beruntunglah kondisi ini sangat kurang di fahami oleh pemili atau masyarakat pada tatanan bawah, sehingga stabilitas politik, tindakan semena-mena oleh masyarakat hampir tidak ada.
Proses Pilkada yang demokratis, dibutuhkan pelibatan masyarakat secara intensif. Hal ini sangat dibutuhkan dalam ranah demokratisasi. Karena salah satu unsur good governance yaitu pelibatan masyarakat dan pendanaan pada kepentingan masyarakat.
Pada sisi lain, karena merasa punya andil di dalam menentukan pimpinannya sendiri, daya kritis masyarakat terhadap pemerintah daerah akan semakin meningkat, sehingga makna pemerintah demokratis-yakni dari rakyat-oleh rakyat-dan untuk rakyat betul-betul dapat diwujudkan. Dan rakyat pun berupaya untuk mengamankan pemimpin, mengontrol pemimpin, sehingga pemimpin merasa memiliki pemilih dan pendukung, dan rakyat pun memiliki pemimpin yang demokratis.
Apabila birokrasi pemerintah bersifat netral – dalam arti tidak memihak atau terpaksa harus memihak salah satu kontestan Pilkada – sehingga salah satu prinsip negara demokrasi yakni: “public service neutrality” dapat diwujudkan, maka secara bertahap kita dapat membangun birokrasi yang profesional. Indikasi ke arah itu telah ada, antara lain dengan menempatkan Sekertaris Daerah sebagai pembina PNS di Daerahnya (pasal 122 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2004) ataupun membangun organisasi fungsional bagi Satuan Polisi Pamong Praja (PP Nomor 32 Tahun 2004), menyusun Kamus Kompetensi Organisasi (KKO), Kampus Kompetensi Jabatan (KKJ) serta Kamus Kompetensi Individu (KKI). Namun birokrasi harus netral karena netralitas birokrasi secara moral akan membantu terwujudnya tatanan hukum politik dan keamanan. Netralitas birokrasi ini berlangsung selam jam kerja dalam melayani masyarakat. Setelah selesai jam kerja individu dari birokrasi dapat mendukung salah satu pasangan calon.


Dampak Negatif
Sebagian besar daerah yang telah melaksanakan Pilkada secara langsung telah dilaksanakan oleh KPUD secara tidak benar, tidak jujur dan penuh kecurangan, maka rakyat tidak akan percaya pada sistem yang ada, sehingga akan terbentuk sikap saling curiga, tidak percaya, dan bahkan konflik meluas antar pendukung. Untuk memulihkan kembali kehidupan masyarakat yang hamonis akan memerlukan waktu, tenaga dan biyaya yang cukup besar. Ini merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh semua pihak apabila Pilkada dilaksanakan secara tidak benar.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih adalah pejabat politik kredit, sehingga stabilitas pemerintahan akan mudah terganggu, terutama tuntutan para tim sukses. Tanpa pemerintah yang stabil, tidak akan ada investasi, yang pada gilirannya tidak tercipta lapangan pekerjaan baru. Kesulitan memperoleh lapangan kerja makin sulit. Tim sukses yang calon kepala daerahnya terpilih berupaya untuk mengajukan calonnya yang harus menempati posisi kepala dinas dan usulan ini harus diperhatikan oleh Kepala Daerah terpilih, maka mutasi pun dilakukan segera.
Partai politik era Pilkada berupaya memposisikan partai sebagai penentu setiap calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada tahap ini tokoh pertai politik yang menjadi anggota fraksi di DPRD yang menentukan harga calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pada sisi lain sering terjadi dimana partai politik maupun tokohnya yang bermain tidak jujur dalam Pilkada akan kehilangan dari konstituennya, karena hubungan emosional antara masyarakat dengan calon Kepala Daerah dan Wakilnya sangatlah kuat dibanding dengan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kampanye negatif yang menyerang pribadi akan mengubah kompetensi perebutan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjadi konflik yang terbuka. Tanpa kebesaran jiwa dari semua pihak yang berkepentingan dengan kemajuan daerah, maka Pilkada akan bersifat kontraproduktif terhadap pengembangan demokrasi. Kasus Sulawesi Selatan kampanye setiap pasangan calon, semuanya melanggar keputusan KPUD Propinsi Mo. 22/2007 tentang tata cara kampanye. Diantara pasangan calon mengemukakan kejelekan pasangan calon yang lain. Para calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah masih memiliki etika poltik dan moral poltik yang rendah sehingga visi-misi dan program sangat kurang dikampanyekan pada pemilih.
Pilkada yang telah diterapkan selama berlaku UU No. 32/2004 dan UU No.22/2007 sangat mengganggu stabilitas politik, hukum dan keamanan serta kenyamanan para birokrat. Kondisi ini dapat kita amati salah satu Kabupaten Sulawesi Selatan.
Apabila birokrasi bersifat tidak netral, baik karena kemauan sendiri ataupun karena yang memaksa, maka akan terjadi politisi birokrasi, yang membuat iklim dan budaya organisasi menjadi menjadi tidak sehat karena akan terbentuk kelompok-kelompok yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Pengisian jabatan lebih didasarkan pada pendekatan ideologi politiknya bukan karena kapasitas seseorang. Hal semacam itu akan membawa dampak pada pengguna dana publik yang lebih banyak didasarkan pada perhitungan politik daripada kepentingan publik secara meluas.
Hasil Pilkada akan membawa hawa baru seperti perombakan atau mutasi dikalangan birokrasi. Jika mutasi ini beraturan menghasilkan konflik pada tataran birokrasi secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada masyarakat, antara lain pelayanan menjadi tidak egaliter, masyarakat juga dengan mudah akan tersulut konflik, jangan berharap akan dapat diperoleh kemajuan baik secara ekonomi, politik, sosial budaya. Stabilitas keamanan dan pelayanan hukum pada sisi lain birokrasi tidak aman dalam menunaikan tugas dan kewajiban. Karena birokrasi selalu diganggu oleh tim sukses yang mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah memenangkan Pilkada.

Dampak Sistem Pemilu Kepala Daerah
Pemilu kepala daerah menurut UU No 22 tahun 2007 dilaksanakan oleh KPUD. Proses pencalonan kepala daerah / wakil sebagian rakyat pemilih juga ikut berpartisipasi dan proaktif untuk mengusung calon ke KPUD untuk didaftarkan menjadi calon kepala daerah.Masyarakat pemilih yang turut mengusung calon,kemudian mengampanyekan calon.Pada tatanan ini secara psikologi politik masyarakat pemilih ini merasa memiliki dan memilih calon kepala daerah / wakil kepalah daerah yang dicalonkan.
Karena merasa memilih ikut memilih KDH dan wakil KDH,diperkirakan kesadaran masyarakat untuk mengawasi jalannya proses dan mekanisme pemerintahan daerah akan semakin terbuka dan meluas. Melalu cara ini,akuntanbilitas pemerintahan kepada publik diharapkan akan semakin meningkat,sehingga korupsi dapat dikurangi (Lihat konsep Killgaard tentang korupsi  Corruption= Discrection + Monopoli- Accountability).
Pada pasal 27 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dikemukakan bahwa kepala daerah mempunyai kewajiban menginformasikan laporan penyelenggraan pemerintahan daerah kepada masyarakat,melalui media setempat yang dapat diakses oleh masyarakat.Hubungan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat harus bersifat pro aktif,sehingga kekurangan- kekurangan yang dialami masyarakat cepat terakses dalam agenda pembangunan.Untuk itu perlu pikiran baru kepala daerah terpilih didukung oleh birokrat membangun JARINGAN INFORMASI dengan masyarakat yang merupakan transparansi dalam pemerintah daerah.Sistem pemilu kepala daerah sangat membutuhkan para bidang polotik,pemerintahan dan administrasi untuk membantu menerjemahkan sistem pemilu Kepala Daerah,serta aturan –aturan yang mengatur pelaksana pilkada seperti KPUD yang memiliki sejumlah kewenangan mulai dari penetapan pemilih sampai menetapkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada sisi lain tugas para ilmuan untuk ikut membelajarkan masyarakat sehingga mereka memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara maupun warga daerah,termasuk hak memperoleh informasi mengenai penyelenggaran institusi publik yang dibiayai oleh dana publik.
Peran “social control” dari masyarakat akan dapat berjalan lebih meluas apabila ada keterbukaan dari birokrasi yang selama ini cenderung tertutup dan menutupi kegiatannya,terutama dari segi penggunaan dana publik. APBN maupun APBD adalah anggaran pandapatan dan belanja Negara atau daerah,bukan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah pusat atau pemerintah daerah.Ungkapan bahwa anggaran pemerintah adalah sesuatu yang bersifat rahasia,menunjukan masih dipakainya paradigma lama dalam tubuh birokrasi.Anggaran pemerintah pada prinsipnya bersifat terbuka karena diatur dengan UU atau Perda,serta telah masuk kedalam lembaran Negara atau lembaran daerah. Pada sisi lain masyarakat yang telah mengenal kepala daerah secara dekat,maka artikulasi kepentingan masyarakat sangat mudah diterima oleh kepala daerah.

Sistem Pilkada Dapat Mewujudkan Good governance
Sistem pemilu kepala daerah kemungkinan besar dapat membangun kepemerintahan yang baik. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan.
Partisipasi warga negara dalam Pilkada. Setiap warga negara mempunyai suara sebagai hak politik dan kedaulatan rakyat dalam pembuatan keputusan secara langsung, atau memilih pasangan calon kepala daerah, atau memilih calon anggota legislatif daerah. Partisipasi poltitik seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi, kebebasan berbicara, serta partisipasi masyarakat secara konstruktif.
Sistem Pilkada telah memiliki sejumlah kebijakan negara yakni UU No.22 tahun 2007, beserta sejumlah keputusan KPUD yang mengatur proses pemilu kepala daerah yakni mulai pendaftaran pemilih sampai KPUD menetapkan calon kepala daerah/wakil. Kegiatan proses Pilkada didasarkan pada kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang status sosial warga negara.
KPUD sebagai penyelenggara pemilu Kepala Daerah harus mampu meresponsif kepentingan pemilih. Jika ada pemilih yang belum terdaftar sebagai pemilih tetap maka KPUD berkewajibhan meresponpemilih yang belum terdaftar dan harus didaftar. Oleh karena itu lembaga penyelenggara pemilu kecamatan (PKK), PPS pada tingkat desa/kelurahan, KPPS harus proaktif melayani pemilih secara transparan.
Kapabilitas kepala daerah terpilih yakni gambaran kepribadian diri si pemimpin, baik intelektual maupun moral. Hal ini dapat ditelusuri dari track record pendidikannya, jejak sikap dan perilakunya selama ini. Kepala daerah yang memiliki kapabilitas selalu mengutamakan strategic vision yakni pemimpin yang mempunyai prespektif good governance dan pengembangan kemanusiaan yang luas dan jauh kedepan sesuai visi-misi dan program yang dikampanyekan.
Profesionalisme birokrasi pemerintahan daerah yang dibangun oleh kepala daerah terpilih. Pada sisi lain sangat dibutuhkan dukungan partai politik yang tercermin melalui anggotanya di DPRD. Dukungan anggota partai yang ada di DPRD terhadap kepala daerah terpilih akan membuka peluang kemudahan kepala daerah dalam membangun hubungan otoritas untuk mambahan RANPERDA, atau dukungan anggota DPRD pada Kepala Daerah dalam menentukan kebijakan daerah atau PERDA.

Pasca Pilkada (Perhitungan Suara)
e. Para calon tidak mampu menerima kekalahan
f. KPUD tidak tegas dalam mengambil keputusan menetapkan hasil pemilu.
g. Anggota KPUD tertentu ikut turut bermain dalam perhitungan suara
h. Panwas memiliki kinerja yang sangat rendah sehingga sejumlah masalah yang menyangkut perhitungan suara diabaikan
i. Anggota DPRD juga ikut bermain dalam mendukung calon tertentu
j. DPRD juga mencampuri hasil perhitungan suara dengan cara melakukan sidang paripurna dan membuat keputusan untuk membatalkan hasil Pilkada
k. Sebagian besar KPUD tidak mampu memahami penyelesaian sengketa hasil Pilkada
l. Upaya beberapa kelompok tim sukses calon Bupati/wakil tertentu yang memperoleh suara yang tidak jauh berbeda dengan yang menang, selaku melakukan protes tapi memiliki data yang lemah.
m. Tuntutan untuk memperoleh kesempatan menjadi Bupati/Wakil Bupati oleh calon tertentu dari satu kota kecamatan yang selama ini belum pernah menjadi Bupati
n. Aksi kerusuhan dan penghancuran asset Pemda dan negara oleh mereka yang merasa tidak puas terhadap perhitungan suara
o. Peradilan pemilu yang masih lemah dan tidak memiliki standar yang baku
p. Peradilan tinggi dalam memutuskan sengketa pemilu tidak melakukan penelitian empirik terhadap hal yang disengketakan.

Rekomendasi Untuk Pilkada Yang Akan Datang
q. Perlu penataan kembali UU No. 32 Tahun 2004 pasal-pasal yang menyangkut Pilkada
• Penetapan Pemilu
• Berhak memilih pada suatu daerah
• Proses penetapan bakal calon diperluas
• Kriteria calon yang objektif
• Balon bernuansa nasional dan lokal
r. Rekruitmen anggota KPUD yang bernuansa nasional dan perlu ada ketegasan sanksi bagi anggota KPUD yang berpihak pada balon tertentu dalam melaksanakan fungsi KPUD, (melanggar aturan)
s. Partai politik lokal dan DPR diberi otoritas untuk menjaring balon dari kelompok independen langsung diajukan ke KPUD
t. Para tim sukses, Jurkam, dan pendukung dilarang melakukan protes ke Panwas, KPUD atau lembaga yang berwewenang
u. Setiap calon Bupati berkewajiban memiliki saksi di setiap TPS  calon Bupati yang tidak memiliki saksi di TPS tertentu tidak dibenarkan mengajukan keberatan dalam perhitungan suara di TPS bersangkutan dan dikenakan sanksi pidana 5 tahun penjara.
v. Setiap hasil perhitungan suara di TPS yang telah dicatat oleh para saksi maka catatan itu wajib ditandai oleh ketua TPS atau sekertaris TPS dan stempel.

Penutup
Sistem Pilkada yang ada saat ini secara relatif dianggap meningkatkan implementasi demokrasi stabilitas politik, hukum dan keamanan. Hal tersebut terutama untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Meski demikian masih terdapat beberapa hal yang harus segera dibenahi pada sistem Pilkada agar upaya mewujudkan pilkada yang demokratsi akan dapat terwujud beberapa hal yang dibutuhkan:
1. Kesadaran aktor politik harus semakin baik
2. Perlu menumbuhkan wawasan kebangsaan
3. Tersedianya payung hukum yang jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda
4. Demokrasi terbangun dan berjalan secara normal dan rasional
5. Posisi kepala daerah terpilih legitimate atau lebih kuat
6. Suara rakyat menjadi primadona sehingga kepala daerah terpilih lebih mendengar suara rakyat

POLITIK INTERNASIONAL

POLITIK INTERNASIONAL

A. Pengertian
Dalam Contemporary Political Science, terbitan Unesco 1950, Politik internasional adalah salah satu kajian pokok (core subject) dalam kajian hubungan internasional yang mengkaji segala bentuk perjuangan dalam memperjuangkan kepentingan (interest) dan kekuasaan (power). Apabila politik adalah studi tentang who gets what, when, and how, maka politik internasional adalah studi mengenai who gets what, when, and how dalam arena internasional . Maka itu studi politik internasional menurut Holsti adalah studi mengenai pola tindakan negara terhadap lingkungan sebagai reaksi atas respon negara lain. Selain mencakup unsur power, kepentingan dan tindakan, politik internasional juga mencakup perhatian terhadap sistem internasional dan prilaku para pembuat keputusan dalam situasi konflik. Jadi politik internasional menggambarkan hubungan dua arah, menggambarkan reaksi dan respon bukan aksi (lihat gambar).

B. Ruang Lingkup
Sebelum membahas ruang lingkup dari politik internasional, perlu adanya pembedaan penggunaan istilah politik internasional dan hubungan internasional, dimana istilah keduanya masih sering digunakan silih berganti untuk suatu hal yang sama. Hal ini karena pada mulanya hubungan internasional - masih dalam arti yang sempit- hanya menekankan pada aspek politik. Definisi ilmu hubungan internasional dalam arti sempit mengatakan bahwa: “ilmu hubungan internasional sebagai subjek akademis terutama memperhatikan hubungan politik antara negara-bangsa”. Definisi ini memberi tekanan pada aspek hubungan politik, seiring dengan perkembangan zaman dipandang perlu untuk memberi arti yang lebih luas mengenai hubungan antara negara. Jadi, hubungan internasional secara umum tidak hanya mencakup unsur politik, tetapi juga unsur-unsur ekonomi, sosial, kultural dan sebagainya.
Perbedaan hubungan internasional dengan politik internasional selanjutnya dapat dilihat dari ruang lingkupnya. Ruang lingkup HI meliputi seluruh tipe hubungan atau interaksi antar negara, termasuk asosiasi dan organisasi non-negara (ekonomi, pariwisata, perdagangan dan sebagainya). Sedangkan ruang lingkup politik internasional terbatas hanya “permainan kekuasaan” yang melibatkan negara-negara berdaulat. Jadi dalam HI aktornya adalah negara dan non-negara, sedangkan dalam politik internasional pelakunya hanyalah negara.
Politik internasional merupakan salah satu wujud dari interaksi dalam hubungan internasional. Politik internasional membahas keadaan atau soal-soal politik di masyarakat internasional dalam arti yang lebih sempit menitikberatkan pada diplomasi dan hubungan antar negara dan satuan-satuan politik lainnya. Politik internasional seperti halnya politik domestik terdiri dari elemen-elemen kerjasama dan konflik, permintaan dan dukungan, gangguan dan pengaturan, negara juga membuat pembedaan antara kawan dan lawan. Politik internasional memandang tindakan suatu negara sebagai respon atas tindakan negara lain. Dengan kata lain, politik internasional adalah proses interaksi antara dua negara atau lebih.

C. Politik Internasional dan Politik Luar Negeri
Jika anda bingung dengan pemakaian istilah politik internasional dan politik luar negeri, maka anda termasuk dalam kelompok besar ahli dibidang tersebut. Politik luar negeri dan politik internasional, keduanya merupakan sub kajian dari hubungan internasional. Secara umum politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, serta memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.
Sementara sebagian besar studi mengenai “politik dunia” atau politik internasional pada kenyataannya telah menjadi studi mengenai kebijakan luar negeri, dengan kata lain tidak terlepas dari politik luar negeri, meski demikian keduanya harus dibedakan. Lantas dimana letak perbedaannya?. Perbedaan keduanya lebih bersifat akademik daripada riil, jika politik luar negeri menekankan pada tujuan dan tindakan satu negara sedangkan politik internasional menekankan pada interaksi antara dua negara atau lebih (lihat gambar!)

POLITIK LUAR NEGERI
Negara A Negara Lain (Lingkungan)

Sasaran


Tindakan

POLITIK INTERNASIONAL
Negara A Negara B
Sasaran > Tindakan



Tindakan > Sasaran
Sumber: K.J. Holsti, 1983, Politik Internasional; Kerangka Untuk Analisis, terj. M. Tahir Azhary, Penerbit Erlangga, Jakarta

Secara umum, obyek yang menjadi kajian politik internasional juga merupakan kajian politik luar negeri, dimana keduanya menitikberatkan pada penjelasan mengenai kepentingan, tindakan serta unsur power. Tetapi mereka yang menganalisa tindakan suatu negara terhadap lingkungan dan kondisi eksternal pada dasarnya berhubungan dengan politik luar negeri. Sedangkan mereka yang memandang tindakan tersebut diatas disikapi dalam bentuk reaksi atau tanggapan negara lain terhadap negara tersebut maka berhubungan dengan politik internasional, atau proses interaksi antara dua negara atau lebih. Dengan kata lain Politik internasional juga bisa digambarkan sebagai “arena” interaksi dari berbagai politik luar negeri.

Sebagai Ilustrasi :

Politik internasional yang terjadi pada era Perang Dingin adalah pergelaran kekuatan antara Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Dalam menyikapi situasi tersebut, Indonesia menerapkan Politik Luar Negeri yang sifatnya bebas-aktif dengan tidak memihak salah satu blok yang berseteru.

D. Bentuk-Bentuk Interaksi Antar Negara
Bagian C dari tulisan ini disarikan langsung dari buku Pengantar Ilmu HI (Anak Agung Perwita; 2005). Bentuk-bentuk interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan interaksi, intensitas interaksi, serta pola interaksi yang terbentuk. Dalam hubungan internasional, interaksi yang terjadi antar aktor dapat dikenali karena intensitas keberulangannya (recurrent) sehingga membentuk suatu pola tertentu. Secara umum bentuk reaksi dari suatu negara terhadap negara lain dapat berupa akomodasi (accommodation), mengabaikan (ignore), berpura-pura seolah informasi dan pesan dari negara lain belum diterima (pretend), mengulur-ulur waktu (procrastinate), menawar (bargain), dan menolak (resist) aksi dari negara lain.
Bentuk-bentuk interaksi berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan hubungan, antara lain dibedakan menjadi hubungan bilateral, trilateral, regional, dan multilateral / internasional. Adapun yang dimaksud dengan hubungan bilateral adalah keadaan yang menggambarkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadinya hubungan timbal balik antara dua pihak. Pola-pola yang terbentuk dari proses interaksi, dilihat dari kecenderungan sikap dan tujuan pihak-pihak yang melakukan hubungan timbal balik tersebut, dibedakan menjadi pola kerjasama, persaingan dan konflik.
Formulasi dari pola-pola aksi-reaksi ini memberi kesan bahwa rangkaian aksi dan reaksi selalu tertutup atau berbentuk simetris. Misalnya Negara A mengeluarkan aksi terhadap negara B, maka aksi tersebut akan dipersepsikan oleh para pembuat keputusan di Negara B, dan selanjutnya berdasarkan hasil mempersipkan tersebut, Negara B akan memberikan respon atau reaksi atas aksi dari Negara tadi. Kemudian reaksi Negara B ini kembali direspon oleh Negara A berupa aksi susulan. Di dalam proses ini terdapat suatu hubungan timbal balik (resiprokal). Apabila terdapat lebih dari dua Negara yang terlibat dalam interaksi, maka dimungkinkan adanya hubungan yang bersifat simetris dan asimetris, seperti gambar berikut:

Simetris Asimetris





Sumber : Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Moch. Yani,2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung


Dari paparan di atas dapat dimaknakan bahwa dalam politik internasional proses interaksi berlangsung dalam suatu wadah atau lingkungan, atau suatu proses interaksi, interrelasi serta interplay (saling mempengaruhi) antara actor dengan lingkungannya atau sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Moch. Yani,2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
2. Budiarjo, Mirriam1991, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta
3. Hoffman, Stanley, 1960, (ed),Contemporary Theory in International Relations, Englewood Cliffs, N.J
4. Wiriatmadja, Suwardi,1967, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional,Pustaka Tinta Mas Surabaya, 1967
5. Holsti,K.J, 1983, Politik Internasional; Kerangka Untuk Analisis, terj. M. Tahir Azhary, Penerbit Erlangga, Jakarta

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

1. Pengantar
Analisis kebijakan publik walaupun merupakan bagian dari studi Ilmu Administrasi Negara, tetapi bersifat multi disipliner, karena banyak meminjam teori, metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan ilmu psikologi. Studi kebijakan publik mulai berkembang pada awal tahun 1970-an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Laswell tentang Policy Sciences. Fokus utama studi ini adalah pada penyusunan agenda kebijakan, formulasikan kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan dievaluasi kebijakan. Isi materi kerangka kebijakan publik ini akan membahas konsep dan lingkup kebijakan publik, proses kebijakan publik, dan arti pentingnya studi kebijakan, lingkungan kebijakan, sistem kebijakan publik.

2. Konsep dan Lingkup Kebijakan Publik
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever government choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik, misalnya pemerintah tidak membuat kebijakan ketika mengetahui bahwa ada jalan raya yang rusak. James E. Anderson (1979:3) mendefinisikan bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bawa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Dalam konteks modul ini kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan, dan sebagainya.
Dalam padangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengadung seperangkat nilai di dalamnya (Dikutip Dye, 1981). Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, nilai yang akan dikejar adalah penghormatan terhadap nilai demokrasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat dan pemerintah daerah. Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat (Dikutip Dye, 1981). Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktek-praktek sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat..
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang pembangunan, seperti kebijakan publik di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan, transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Di samping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Propinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan keputusan Bupati/Walikota.

3. Arti Pentingnya Studi KebijakanPublik
Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme praktisi, dan untuk tujuan politik (Dye 1981, Anderson, 1979).
(1) Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai variabel terpengaruh (dependent variable), sehigga berusaha menentukan variabel pengaruhnya (independent variable). Studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang dapat mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik. Misalnya, studi untuk mengidetifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dikeluarkannya undang-undsang anti terorisme di Indonesia. Sebaliknya, studi kebijakan publik dapat menempatkan kebijakan publik sebagai independent variable, sehingga berusaha mengidintifikasi apa dampak dari sutau kebijakan publik. Sebagai contoh studi untuk menganalisis apa dampak dari kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak yang dilakukan oleh pemerintah.
(2) Membantu para praktisi dalam memcahkan masalah-masalah publik.
Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimanana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.
(3) Berguna untuk tujuan politik.
Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik. Sebaliknya kebijakan publik tersebut dapat meyakin kepada lawan-lawan politik yang tadinya kurang setuju. Kebijakan publik sepertii itu tidak akan mudah dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.
Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni: Pertama dikenal dengan istilah policy analysis, dan kedua political public policy (Hughes, 1994: 145). Pada pendekatan pertama, studi analisis kebijakan lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan (decision making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sedangkan pada pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik dari pada penggunaan metode statistik, dengan melihat interaksi politik sebagai faktor penentu, di dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan lingkungan.
Pada. pendekatan pertama, pendekatan kuantitatif digunakan dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, keputusan yang diambil benar-benar rasional menurut pertimbangan untung rugi. Keputusan yang diambil adalah keputusan yang memberikan manfaat bersih paling optimal.
Sayangnya, dalam kenyataan, pendekatan matematika seperti ini kurang realistis dalam dunia kebijakan dan politik. Politik dan kebijakan terkadang kurang rasional dalam beberapa hal. Patton dan Sawicki (1986:25) menulis sebagai berikut:
If the rational model were to be followed, many rational decisions would have to be compromised because they were not politically feasible. A rational, logical, and technically desirable policy may not be adopted because the political system will not accepted it. The figures don’t always speak for themselves, and good ideas do not always win out. Analysts and decision makers are constantly faced with the conflict between technically superior and politically feasible alternatives.

4. Kerangka Kerja Kebijakan Publik
Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa variabel sebagai berikut:
(1) Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai.
(2) Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.
(3) Sumberdaya yang mendukung kebijakan.
(4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.
(5) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
(6) Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

5. Proses Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual (Gambar 1).

Gambar 1
Proses Kebijakan Publik
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan

Penilaian Kebijakan

Sumber: William N. Dunn, 1994:17

Tabel 1
Tahap Analisis Kebijakan
Tahap Karakteristik
Perumusan Masalah : Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah
Forecasting (Peramalan) : Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan.
Rekomendasi Kebijakan : Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat bersih paling tinggi.
Monitoring Kebijakan : Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendala-kendalanya
Evaluasi Kebijakan : Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan

Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yag perlu dilakukan yakni; (1) membangun persepsi dikalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite poltik bukan dianggap sebagai masalah; (2) Membuat batasan masalah; dan (3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya.
Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini perlu dukungan sumberdaya, dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik.
Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, dan proses selajutnya adalah evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil.

6. Lingkungan Kebijakan
Lingkungan kebijakan, seperti adanya pengangguran, kriminalitas, krisis ekonomi, gejolah politik yang ada pada suatu negara akan mempengaruhi atau memaksa pelaku atau aktor kebijakan untuk meresponnya, yakni memasukannya ke dalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-masalah yang bersangkutan. Misalnya kebijakan pengembangan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja, kebijakan penegakan hukum untuk mengatasi kriminalitas, kebijakan pengurangan pajak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan keamanan untuk mengatasi kejolak politik. Gambar 3 mendeskripsikan hubungan antara tiga elemen yang terlibat dalam sebuah kebijakan.
Gambar 3
Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan






Sumber: Dunn, 1994:71.
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan, dan kemudian ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan membpengaruhi policy makers. Faktor lingkungan tersebut antara lain: karakteristik geografi, seperti: sumberdaya alam, iklim, dan topografi; variabel demografi, seperti: banyaknya penduduk, distribusi umur penduduk, lokasi spasial; kebudayaan politik; struktur sosial; dan sistem ekonomi. Dalam kasus tertentu, lingkungan international dan kebijakan internasional menjadi penting untuk dipertimbangkan (Anderson, 1979). Dalam pembahasan selanjutnya akan difokuskan ke dalam dua variabel lingkungan, yakni variabel kebudayaan politik (political culture variable) dan variabel sosial ekonomi (socio economic variable).
(1) Kebudayaan politik. Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda, dan ini berarti nilai dan kebiasaan hidup berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kebudayaan oleh seorang pakar Antropologi Clyde Kluckhohn didefinisikan sebagai the total life way of a people, the social legacy the individual acquires from his group. Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa kebudayaan masyarakat dapat membentuk atau mempengaruhi tindakan sosial, tetapi bukan satu-satunya penentu. Kebudayaan hanya salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan masyarakat, yang mencakup nilai, kepercayaan, dan sikap tentang apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana melakukannya, serta bagaimana menjalin hubungan dengan warganegaranya.
(2) Kondisi sosial ekonomi. Kebijakan publik sering dipandang sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik antara berbagai kelompok dalam masyarakat, dan antara pemerintah dengan privat. Salah satu sumber konflik, khususnya di dalam masyarakat yang maju, adalah aktivitas ekonomi. Konflik dapat berkembang dari kepentingan berbeda antara perusahaan besar dan kecil, pemilik perusahaan dan buruh, debitor dan kreditor, kustomer dan penjual, petani dengan pembeli hasil-hasil pertanian, dan sebagainya. Hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di atas dapat dikurangi atau diselesaikan dengan kebijakan pemerintah dalam wujud perubahan ekonomi atau pembangunan. Kebijakan pemerintah dapat melindungi kelompok yang lemah, dan menciptakan keseimbangan hubungan antara kelompok yang berbeda. Industrialisasi yang cepat dan pertumbuhan berbagai kelompok bisnis besar yang terjadi di Amerika Serikat pada abad sembilan belas sebagai akibat dari tata ekonomi baru. Ini telah mendorong para petani, kalangan bisnis kecil, dan elemen-elemen reformist untuk menuntut pada pemerintah agar mengontrol kalangan bisnis besar.
Dalam pandangan seorang pakar politik David Easton sebagaimana dikutip oleh Anderson (1979) dan Dye (1981), kebijakan publik dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, konversi, dan output. Dalam konteks ini ada dua variabel makro yang mempengaruhi kebijakan pubik, yakni lingkungan domestik, dan lingkungan internasional (Gambar 4). Baik lingkungan domestik maupun lingkungan internasional/global dapat memberikan input yang berupa dukungan dan tuntutan terhadap sebuah sistem politik. Kemudian para aktor dalam sistem politik akan memproses atau mengkonversi input tersebut menjadi output yang berwujud peraturan dan kebijakan. Peraturan dan kebijakan tersebut akan diterima oleh mayarakat, selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik dalam bentuk input baru kepada sistem politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan insentif, maka masyarakat akan mendukungnya. Sebaliknya, apabila kebijakan tersebut bersifat dis-insentif, misalnya kenaikan bahan bakar minyak (BBN) atau pajak, maka masyarakat akan melakukan tuntutan baru, berupa tuntutan penurunan harga BBM dan penurunan pajak.








Gambar 4
Kebijakan Publik menurut Pendekatan Sistem

Sumber: Anderson (1979:16).

7. Sistem Kebijakan Publik
Analisis kebijakan merupakan proses kajian yang mencakup lima komponen, dan setiap komponen dapat berubah menjadi komponen yang lain melalui prosedur metodologi tertentu, seperti perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Sebagai contoh, prosedur peramalan akan menghasilkan masa depan kebijakan, dan rekomendasi akan melahirkan aksi kebijakan, dan pemantauan akan menghasilkan hasil-hasil kebijakan, serta evaluasi akan melahirkan kinerja kebijakan. Melakukan analisis kebijakan berarti menggunakan kelima prosedur metodologi tersebut, yakni merumuskan masalah kebijakan, melakukan peramalan, membuat rekomendasi, melakukan pemantauan, dan melakukan evaluasi kebijakan, seperti dalam Gambar 5.
Gambar 5
Analisis Kebijakan


Dunn, 1994:72.














DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E. (1979), Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winston, New York, Chapter 1-2.

Dunn, William N. (1994), Public Policy Analysis: An Introduction, Prentice-Hall International, Englewood Cliffs, New Jersey, Chapter 1–3.

Dye, Thomas R. (1981), Understanding Public Policy, Prentice-Hall, Ne Jersey, Chapter 1.

Patton, Carl V. dan Sawicki, David S. (1986), Basic Methods of Policy Analysis and Planning, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Ripley, Randall B. (1985), Policy Analysis in Political Science, Nelson-Hall Publisher, Chicago, Chapter 1-4.

Subarsono, AG., (2005), Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

CIVIL SOCIETY

CIVIL SOCIETY

A. Memahami Civil Society
Civil society mendapat pemaknaan yang beragam. Makna awalnya adalah suatu komuunitas politik (political community) yakni suatu masyarakat yang diatur oleh hokum tertentu dibawah otoritas Negara. Pada banyak pemaknaan berikut, civil society kemudian mulai dibedakan dengan Negara. Berdasarkan hal ini, civil society kemudian dikamnai sebagai institutusi “privat” yang independent terhadap pemerintah (Negara) yang dibentuk oleh individu-individu yang memiliki ide dan tujuan yang sama. Dengan demikian civil society merujuk kepada sebuah grup masyarakat yang otonom.
Dalam hal ini Civil society menekankan pada adanya hak-hak individu sebagai manusia maupun warga Negara. Dalam batas-batas tertentu civil society mampu untuk memajukan dirinya sendiri melalui pencipataan gerak mandiri yang relative tidak memungkinkan Negara melakukan intervensi ataun campur tangan.
Tradisi civil society sebenarnya telah ada jauh sebelum masa modernitas, namun wacana baru civil society muncul sejak masa Cicero, ketika ia menggunakan kata societies civilis dalam filsafat politiknya. Di Eropa, masa paska renaissance, wacana civil society menjadi lebih intensif dibicarakan karena tuntutan akan penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan individualisme, yang direpresi oleh kekuasaan negara yang dalam dominasi kaum konservatif gereja. Rennaisance ini lalu melahirkan pemikir-pemikir yang mengganggap keharusan dibentuknya kekuatan yang sebagai penyeimbang negara. Maka wacana civil society selalu di vis a vis kan dengan state. John Locke misalnya, yang mengkonsepsikan negara sebagai manifestasi dari kontrak sosial dari masyarakatnya yang menunjukan peran civil society sebagai unsur pembentuk negara, dan mengganggap bahwa civil society adalah refleksi kemanusiaan dari Tuhan. Selain John Locke, juga Immanuel Kant, GWF Hegel dan Karl Marx yang mulai merumuskan ide civil society sebagai bentuk jawaban atas krisis dalam suatu negara.
Tiga konsep civil society
1. Model Eropa Timur, menentang Negara, setidaknya civil society berusaha membatasi ruang gerak Negara yang otoriter dan dominant.
2. Model Bank Dunia, sarana memangkas peran Negara. Civil society mengerjakan beberapa pekerjaan negara untuk menuju kesejahteraan masyarakat.
3. Model Pluralis, merupakan sarana pengembangan demokrasi. Dengan civil society perbedaan dan keanekaragaman dapat diakomodis dalam sistem masyarakat.
B. Civil Society Sebagai Tatanan Masyarakat
Kalau dipetakan, wacana civil society ini selalu dalam tarik menarik ideologis. Antara produk modernitas liberalisme, marxisme kiri atau post modernisme. Masing-masing konsepsi civil society memiliki indikator yang berbeda.
1. Civil society sebagai tatanan masyarakat demokratis
Sebagai produk tradisi liberalisme, Ernest Gellner misalnya menganggap civil society sebagai tatanan kebebabasan (condition of liberty). Kebebasan yang diartikan sebagai kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan hegemoni kekuasaan dan kebebasan untuk (freedom for) berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan secara sukarela dan rasional. Ia mendefinisi civil society sebagai aktor-aktor di luar pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk mengimbangi negara.
a. Masyarakat sipil disamping merupakan kelompok, institusi, lembaga atau asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani negara, maupun kelompok lain, juga memberi ruang bagi adanya kebebasan individu dimana asosiasi dan institusi tersebut dapat dimasuki dan ditinggalkan oleh individu dengan bebas. Masyarakat mandiri, otonom dari negara yang terikat legal pada seperangkat nilai-nilai yang diakui bersama.
b. Civil society menurut Neera Chandoke sangat korelatif dengan demokratisasi, namun selama ini demokrasi selalu dipandang dari perspektif state centre, dan ini harus dirubah dengan melalui society centre dimana masyarakat mengorganiasi diri dan terbebas dari intervensi negara. Wacana ini lebih difokuskan pada keinginan untuk membentuk kekuatan penyeimbang negara yang mempertahankan hegemoni dan supremasinya terhadap masyarakat sipil. Demokrasi sebagai sebuah mekanisme dianggap sebagai tahapan memiliki beberapa syarat yang salah satunya adalah partisipasi.
c. Di negara maju civil society diarahkan pada penataan struktur masyarkat yang diwarnai kecemasan terhadap penyimpangan dari etika demokrasi dan krisis yang ada dalam demokrasi. Maka civil society diformat untuk menjadi pilar penjaga demokrasi.
d. Dalam wacana demokrasi, terbentuknya civil society misalnya membutuhkan apa yang disebut oleh Jurgen Harbemas dan Hannah Arendt sebagai ruang publik yang bebas, dimana ada discursive transaction yang dapat dilakukan oleh masing-masing individu dalam posisi yang egalitarian tanpa ada kekhawatiran represifitas dari negara.
2. Civil society, arena bebas nilai, bebas ideologi
a. Dalam konsepsi Alexis de Tocqueville, tatanan civil society ini dapat dilihat di masyarakat Amerika Serikat. Ia mendefinisi civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating) dan keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
b. De Tocqueville menyebut bahwa civil society ini ditemukan pada asosiasi, yaitu sekelompok individu dalam masyarakat yang meyakini satu doktrin atau kepentingan tertentu dan memutuskan untuk merealisasikan doktrin atau kepentingan bersama tersebut.
c. Dalam penelitian de Tocqueville, keberadaan asosiasi masyarakat yang marak di Amerika adalah wilayah milik masyarakat yang steril dari campur tangan negara. Misalnya kelompok gereja dan NGO adalah tipe asosiasi yang memiliki kebebasan. Kedua institusi tersebut membawa individu-individu keluar dari batas-batas kehidupan peribadi menuju proyek sosial yang korelatif dengan ide partisipasi dalam sistem demokrasi. Ide utama Tocqueville adalah bahwa etika liberal yang berhimpitan dengan semangat revolusioner harus segera diakhiri dengan memantapkan dan mengkonstitusionaliasikan kebebasan lewat pembentukan lembaga-lembaga politik. Ia menyebut asosiasi ini sebagai lembaga perantara.
d. Baginya lembaga-lembaga ini yang akan memainkan peran-peran sebagai sebuah jawaban hancurnya rejim-rejim komunis dan otoritarinisme kapitalisme yang keduanya dianggap tidak mampu memberikan tatanan yang membebaskan dan mengalami krisis.
e. Tatanan civil society adalah bagian dari demokrasi yang ingin melahirkan kembali hak-hak warga negara sebagai pemilik awal kekuasan dan kedaulatan, mejamin terbukanya partisipasi secara terbuka. Tatanan civil society baginya menolak adanya otoritanisme, dominasi represifitas dan hegemoni (dalam konsepsi Gramsci) negara namun juga menolak adanya kebebasan individu dan pasar untuk bebas dari intervensi negara untuk menjalankan aktivitas mobilisasi modal. Ia juga secara tegas menolak model anarkisme, yaitu tatanan masyarakat tanpa adanya institusi negara.
f. Maka kemudian civil society dikembangkan agar menjadi kekuatan penyeimbang setelah negara dan pasar. Menjadi harus menjadi alternatif bagi pemikiran Marxian yang menggap negara sebagai aktor yang seharusnya mengambil peran dominan dalam melakukan distribusi ekonomistik, mencegah modal terkonsentrasi pada aktor-aktor independen yang berpotensi untuk digunakan sebagai alat penghisapan terhadap kelas yang mayoritas, yaitu kelas ploretariat. Negara bagi Karl Marx, adalah alat yang harus dikuasai oleh kelas mayoritas tersebut untuk memimpin semua kelas (kelas borjuis dan kelas ploretariat).
g. Namun, ada beberapa telaah kritis terhadap model civil society yang dibawa oleh de Toquiville. Pertama, bahwa konsepsinya mengenai civil society diakomodasi dalam kelembagaan politik tetapi melakukan kerja-kerja politik misalnya aggregasi kepentingan, penjaringan dan penyaluran aspirasi, namun ia menolak dua ideologi kapitalisme dan marxisme.
h. Civil society oleh Jean L Cohen dibedakan dengan political society dan economic society walaupun dalam beberapa hal mempunyai kesamaan. Political society berusaha untuk melakukan aktivitas politik (memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan) sedangkan civil society lebih bergerak pada ruang-ruang privat. Sedangkan economic society melakukan kerja-kerja ekonomistik. Dan civil society mengambil peran untuk melakukan kontrol terhadap keduanya. Namun dalam prakteknya misalnya di Eropa Timur yang selalu dijadikan contoh maju bagi model civil society, asosiasi-asosiasi ini melakukan pengorganisasian masyarakat yang ikut secara partisipatif untuk mendorong penggulingan rejim-rejim yang dianggap otoriter, melakukan dukungan terhadap kelompok politik tertentu untuk menggantikan kekuasaan.
i. Kedudukan sebagai oposisi bagi dua kekuatan ini masuk dalam wilayah wacana post modernisme, dimana setiap materi tidak selalu asosiatif dengan materi lain, sehingga wacana civil society dapat diidentifikasi sebagai bebas nilai-nilai poltis ideologis. Misalnya oleh Thomas Metzger, civil society disebut sebagai the ideological marketpalce atau aliran transformasi dan ide-ide yang mengarah pada evaluasi atau kritik terhadap negara. Oleh kaum Marxis ini dicurigai sebagai anak kandung kapitalisme yang tidak mau secara tegas menjelaskan korset ideologinya.
j. Yang kedua, konsepsi civil society ini dianggap bias ideologi liberalisme karena ia memperkuat posisi masyarakat untuk mampu mengerjakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sebagai warga negara, sehingga peran-peran negara dieliminir hanya pada konteks tertentu, tidak boleh melakukan intervensi menembus batas-batas yang hanya menjadi lahan bagi civil society.
k. Dalam wacana Gramscian, civil society tidak perlu menjadi sebuah kekuatan baru (new historical bloc) dan tidak untuk merebut kekuasaan, namun hanya sebuah gerakan kultural dan adbokasi-advokasi dalam masyarakat. Namun negara juga tidak dianggap sebagai lawan, karena ia masih mempunyai infrastruktur yang sangat penting bagi pengembangan civil society.
C. Hal Penting Mengenai Civil Society Terkait Dengan Negara
1. Civil society hanya mungkin tumbuh dalam masyarakat demokratis, sebaliknya demokrasi hanya mungkin tumbuh dengan baik dalam civil society.
2. Civil society seringkali dihadapkan vis a vis dengan Negara. Padahal civil society hanya menginginkan adanya kesejajaran hubungan antara Negara dengan warga Negara atas dasar prinsip saling menghormati.
3. Dalam masyarakat dengan tardisi civil society yang kuat maka fungsi Negara hanya berkisar pada :
a. Negara menjamin hak-hak azasi manusia
b. negara menghormati eksistensi ruang dan wacana publik.
c. negara melakukan hal-hal yang te;ah disepakati sebatas kewenangannya.

LITERATUR :
1. Politics, Andrew Heywood, Palgrave, New York,2002.
2. The Idea of Civil Society, Adam B. Seligman, Princeton University Press, New Jersey, 1992.
3. State and Civil Society: Explorations in Political Theory, Neera Chandhoke, Sage Publications, New Delhi, 1995.
4. An Essay on The History of Civil Society, Adam Ferguson; Editor: Fania Oz-Salzberger, Cambridge University Press, Cambridge, 1995.

PARTAI POLITIK DAN PEMILU

PARTAI POLITIK DAN PEMILU
A. Pendahuluan
Istilah partai pada awalnya digunakan untuk menggantikan istilah faksi yang lebih cenderung digunakan untuk menggambarkan organisasi penghasut yang ada dalam setiap organisasi politik, yang bekerja untuk mendominasi seluruh sistem. Istilah Partai digunakan untuk mengemukakan ide bahwa partai bukanlah sesuatu yang jahat dan menekankan bahwa partai bukanlah sebuah faksi . Istilah ini dikemukakan oleh Voltaire untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas agar bisa menerima kehadiran partai politik dalam sistem politik. Karena masyarakat pada saat itu masih menghubung-hubungkan partai dengan faksi yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat menjijikkan.
Istilah partai sendiri diambil dari sebuah kata dalam bahasa latin, partire, yang bermakna membagi . Partai adalah sesuatu yang asing bagi masyarakat Eropa pada abad ke tujuh belas. Bahkan masyarakat Amerika pada abad kedelapan belas, memvonis partai sebagai kekuatan disintegratif dan subversif bagi kesatuan sebuah negara. Sartori membandingkan “partai” dengan “sekte” yang juga dikenal secara luas di kalangan masyrakat Eropa. Namun pada abad ke tujuh belas, istilah sekte telah dibatasi penggunanya hanya pada kelompok keagamaan, sedangkan partai mulai dikenal luas oleh masyarakat, meskipun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang istilah faksi.
Jika wacana politik di Inggris pada abad ke delapan belas masih menuduh partai sebagai peralihan dari faksi, maka masyarakat Eropapun pada saat itu tumbuh keadaan yang serupa. Kaum radikal yang mengorbankan revolusi Perancis seperti Robespierre mencatat bahwa partai hanya mengutamakan kepentingan pribadi pimpinan. Penulis lain mencatat bahwa partai tidak lebih dari organisasi kriminal yang berusaha merongrong kewibawaan negara. Pandangan klasik tentang partai politik itu hanya dapat dimengerti jika partai politik ditinjau dalam perspektif tahap pertumbuhan awal dari suatu sistem kepartaian. Pada awal berdirinya, hampir semua sistem partai baik di Eropa maupun di Amerika memiliki ciri yang sama dan serupa, yakni lemah dan kurang mandiri. Sifat lemah dan kurang mandiri dari partai politik pada saat itu, menjadikan partai politik lebih sering berfungsi sebagai faksi daripada partai politik.

B. Definisi Partai Politik
Salah satu ilmuwan yang paling pertama melakukan kajian terhadap partai politik adalah Emund Burke , beliau adalah seorang ilmuwan politik dan salah seorang anggota parlemen Inggris pada abad ke delapan belas. Burke mengemukakan defenisinya tentang partai politik pada tahun 1771 bahwa;
“Party is a body of men united, for promoting by their joint endeavour the national interest, upon some particular principle in wich they all agreed”

Definisi yang dikemukakan burke diatas adalah merupakan sebuah pandangan normatif terhadap partai, dimana partai digambarkan sebagai sebuah institusi dimana sekelompok orang bersatu dan bersama-sama memperjuangkan kepentingan mereka untuk dijadikan sebuah kebijakan nasional, yang terikat oleh prinsip-prinsip yang mereka sepakati bersama (ideologi). Pandangan Burke tentang partai politik, ini banyak ditentang oleh para ahli, dimana partai dalam pandangan Burke merupakan sebuah idealitas yang tidak cocok dengan realitas partai yang terjadi di lapangan. Disamping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Burke tentang partai politik terlalu luas dan tidak bisa digunakan untuk membedakan partai dengan faksi .
Definisi yang lebih inklusif kemudian di kemukakan oleh Leon D. Epstein dalam menggambarkan realitas partai politik yang terjadi pada demokrasi di Amerika dan dan Eropa.
“ Political parties is any group, however loosely organized, seeking to elect govermental officeholder under a given label” .

Definisi yang dikemukakan oleh Epstein ini memberikan gambaran bahwa partai politik merupakan sebuah organisasi atau kelompok, yang berusaha untuk memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan dengan berkontestasi dalam pemilu dan dipilih oleh masyarakat berdasarkan lambang atau tanda gambar mereka yang ada dalam kertas suara (Ballot). Definisi ini, memang lebih bisa digunakan untuk menggambarkan realitas partai, dimana defenisi ini menekankan aspek-aspek pragmatis dari sebuah partai politik, dan tidak menekankan pada ideologi, karena mengacu pada realitas kepartai di Amerika dan Eropa yang tidak lagi terikat dengan eksklusifitas ideologi dalam pengelolaan partai.
Dalam perkembangan literatur partai politik selanjutnya, para pemikir ekonomi juga mencoba memberikan definisi ilmu politik berdasarkan pandangan dan perspektif keilmuan yang mereka anut. Adalah Anthony downs , salah satu pemikir ekonomi yang mencoba memberikan defenisi tentang partai politik dengan mengemukakan konsep rational Voters. Dimana dalam defenisinya, Downs tidak setuju dengan pandangan yang melihat partai sebagai kelompok yang hanya ditujukan untuk mengejar jabatan, lebih jauh, dia melihat partai politik sebagi sebuah koalisi dari sekelompok orang yang berusaha mengontrol aparatus yang memerintah dengan alat-alat yang legal. Downs percaya bahwa partai-parti politik yang ada, hanya berhasrat untuk mengusahakan dan mengotrol kekuasan birokrasi. dia lebih lanjut mengemukakan defenisinya sebagai berikut;
” By Coalitions, we mean a group of individuals who have certain ends in common and cooperate with other to achieve them . By governing apparatus, we mean the physical, legal, and institutional equipment which the government uses to carry out its specialized role in the division of labor. By legal means, we mean either duly constituted elections or legitimate influence”

Menurut definisi yang dikemukakan Downs, partai pada dasarnya sebuah kelompok elit yang berusaha untuk masuk kedalam pemerintahan, dan menguasai alat-alat legal pemerintahan untuk menerapkan pengaruh mereka secara legitimatif. Para pemilih, bisa dibandingkan dengan konsumen yang merespon kepada kebijakan publik yang ditawarkan oleh para pemburu jabatan ini. Para pemilih merupakan individu yang rasional yang selalu melakukan evaluasi terhadap alternatif pilihan yang dihadapkan pada mereka.
Defenisi yang dikemukakan oleh Anthony Downs juga banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, pandangan lainnya melihat bahwa pemilih dalam menentukan pilihannya tidak selamanya bisa bersifat rasional . Hal ini disebabkan karena ada kondisi tertentu dimana individu dihadapkan pada sebuah kondisi yang tidak memungkinkannya untuk bertindak secara rasional, antara lain contohnya ketika individu berada dalam tekanan atau pada saat dihadapkan pada pilihan tunggal.
Definisi Partai Politik yang lain dikemukakan oleh Giovanni Sartori. Dimana dalam definisinya, Sartori menggambarkan parta politik sebagai kelompok politik yang di identifikasi dengan lambang yang digunakan dalam pemillihan umum, dan mampu menempatkan kandidatnya dalam pemilihan umum untuk memperebutkan jabatan publik . Apa yang dikemukakan oleh Sartori, menegaskan bahwa partai politik identik dengan lambang yang mereka gunakan dalam pemilihan umum. Mereka bersaing untuk mencalonkan kandidat-kandidatnya dalam pemilu sehingga bisa memenangkan persaingan untuk memperoleh kedudukan dalam jabatan publik. Semakin banyak kandidat mereka yang terjaring dalam pemilihan Umum dan berhasil menduduki jabatan publik dalam sebuah negara, maka makin besar peluang partai politik untuk mengendalikan jalannya pemerintahan dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah. Hal ini juga memungkinkan partai politik untuk mengangkat kepentingan mereka atau aspirasi masyarakat yang mereka wakili kedalam pemerintahan, untuk dirumuskan sebagai kebijakan.

C. Karakteristik Partai Politik
Berbagai definisi yang di kemukakan oleh para ahli diatas, setidaknya cukup membantu kita untuk mebedakan partai politik dengan faksi, kelompok kepentingan, atau institusi-institusi politik lainnya yang bergerak bersama-sama dengan partai dalam sistem politik. Selanjutnya untuk meberikan gambaran yang lebih jelas tentang perbedaaan partai politik dengan institusi politik lainnya, Surouf mengemukakan beberapa karakteristik yang membedakan partai politik dengan institusi politik lainya . Setidaknya ada 5 poin yang dikemukakan oleh Surouf dalam menggambarkan karakteristik partai politik. Antara lain; (1) Komitmen pada aktivitas dalam pemilu, (2) Mobilisasi pendukung, (3)ketaatan pada jalur politik, (4) daya tahan, dan (5)simbol politik.
Komitment pada aktivitas dalam pemilu, adalah karakteristik yang paling membedakan partai politik dengan institusi politik lainnya. Dimana diantara institusi-institusi politik lainnya, hanya partai politik yang berhak untuk ikut bersaing dalam pemilu dan mencalonkankan kandidatnya dalam pemilu. Mobilisasi Pendukung; Partai dalam menjalankan komitmennya untuk berkontestasi dalam pemilu, tergantung pada kemampuannya untuk mempengaruhi dan memobilisasi massa pendukung. Semakin besar pendukung yang mampu mereka mobilisasi dalam pemilihan umum untuk memberikan suaranya, maka semakin besar pula kesempatan mereka dalam memenangkan pemilihan umum.
Ketaatan pada jalur politik; karakteristik lain yang menonjol dari partai politik adalah partai politik memberikan komitment secara penuh terhadap aktivitas politik. Mereka bekerja semata-mata hanya sebagai organisasi politik, semata-mata sebagai instrumen dari kegiatan politik. Daya tahan: partai politik juga ditandai dengan kemapuan mereka bertahan sebagai sebuah organisasi politik dan mempertahankan eksistensi mereka dalam sistem politik. Hal ini dimungkinkan karena organisasi partai politik sendiri diarahkan untuk menciptakan sebuah hubungan jangka panjang, dengan tujuan jangka panjang dan berkelanjutan. Berbeda dengan pressure group atau kelompok kepentingan yang biasanya diarahkan untuk sebuah tujuan jangka pendek.
Symbol politik; Partai politik berbeda dengan institusi politik lainnya, karena mereka beroperasi dibawah sebuah simbol yang menyaukan orang-orang dalam partai politik. Simbol ini biasanya dilambangkan dengan tanda gambar sebagai peserta pemilu. Keberadaan simbol dalam partai politik tida bisa diremehkan begitu saja perannya, karena simbol inilah yang membedakan partai politik dengan partai politik lainnya dalam pemilu (khususnya dalam kertas suara) dan merupakan objek loyalitas dari pendukung partai untuk menyalurkan dukungannya. Partai politik, juga sering disimbolkan lambang eksistensi dari sebuah kelompok masyarakat tertentu ataupun sebagai lambang kekuatan politik . Selain karakteristik partai politik yang membedakan dengan institusi lainnya, hal yang juga bisa dilihat untuk membedakan partai politik dengan institusi politik lainnya adalah dengan melihat fungsi yang dijalankan oleh partai politik dalam sistem politik.
D. Fungsi Partai Politik.
Para teoritisi demokrasi telah lama memperdebatkan keragaman peran dan fungsi dari partai politik. Kebanyakan para pemikir dan teoritisi liberal melihat partai politik sebagai sebuah esensi dari kehidupan demokrasi representatif . Partai politik, melakukan beragam fungsi yang luas, seperti;menjadi perantara antara warga negara dan masyarakat, menominasikan kandidat, bersaing dalam pemilihan umum dan menyalurkan suara, mengatur jalannya pemerintahan, menyediakan akuntabilitas publik, dan manajemen konflik .
Fungsi partai sebagai perantara yang menghubungkan antara negara dan warga negara, merupakan fungsi yang fundamental dari partai politik dalam sebuah masyarakat atau negara yang demokatis. Mereka (partai politik) merupakan mekanisme perantara yang menghubungkan warga negara dengan pemerintah. Fungsi partai politik, adalah sebagai institusi yang membawa berbagai element publik yang berbeda-beda, secara bersama-sama menetapkan tujuan, dan bekerja secara kolektif untuk mengangkat tujuan tesebut agar bisa mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Partai terlibat dalam usaha untuk mengagregasikan kepentingan masyarakat, merangkum berbagai tuntutan yang berbeda, bersaing dalam pemilu, dan berusaha untuk mengorganisir pemerintahan. Selain sebagai perantara yang menghubungkan antara masyarakat dan pemerintah, partai politik juga berperan untuk menominasikan kandidat, dimana dalam proses pemilihan umum, partai politik berperan dalam menentukan siapa nama yang akan dimunculkan dalam kertas pemilu. Dalam proses penetuan atau pencalonan kandidat ini, partai politik harus mengetahui, siapa diantara nama-nama yang ada yang paling di inginkan oleh pemilih. Proses pencalonan akan mengatur susunan pilihan untuk pemilih dan membatasi siapa yang pantas dipilih untuk untuk menduduki jabatan publik. Proses nominasi kandidat dalam partai politik sangat krusial, seperti yang dikemukakan oleh Scattschneider;
Unless the party makes authoritative and effective nominations, it cannot stay in bussines.....The nature of the nominating procedure determinies the nature of party, he who can make nominations is the owner of party.
Kandidat yang dicalonkan partai partai politik dalam pemilu, secara dramatis bisa mempengaruhi prospek sebuah partai politik dalam pemilihan umum. Kandidat yang dinominasikan oleh partai politik, juga menentukan dalam bentuk dan kualitas pemerintahan yang dihasilkan dalam pemilihan umum, karena nantinya orang-orang yang dicalonkan oleh partailah yang akan menjalankan roda pemerintahan selama lima tahun kedepan.
Dalam pemilihan umum, partai politik bersaing dan menyalurkan suara, dimana partai politik memobilisasi masyarakat untuk menyalurkan suara atau pihan mereka. Ukuran keberhasilan partai politik dalam menjalankan fungsinya ini bisa dilihat dengan keberhasilannya merangkum berbagai kepentingan yang berbeda, masyarakat yang datang dari berbagai kalangan, dan berbagai keragaman budaya serta perilaku, untuk disatukan persepsinya dan memberikan dukungan pada satu partai tertentu. Dalam menjalankan fungsinya ini, partai politik tentu saja harus bersifat aktif dalam mempengaruhi dan mengakomodasi berbagai kalangan masyarakat dengan berbagai tuntutan untuk disatukan kedalam naungan parta politik.
Setelah berhasil melalui proses pemilihan umum, partai politik akan dihadapkan pada fungsi lainnya, yaitu mengatur jalannya pemerintahan. Dimana, jabatan-jabatan publik yang ada dalam negara yaitu jabtan-jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif akan diisi oleh orang-orang yang berasal dari partai politik. Biasanya, partai dengan kemenangan mayoritas dalam pemilulah yang akan menguasai struktur dan jalannya pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya ini, partai politik tidak hanya berperan dalam mengelola pemerintahan tetapi juga berperan dalam menentukan kebijakan-kebjakan yang diperuntukkan untuk masyarakat warga negara. Disini partai akan merumuskan kebijakan-kebijakan dengan mengacu kepada tuntutan-tuntan yang bersal dari pendukungnya dan warga negara pada umumnya. Fungsi ini juga tentu sangat penting, karena berhasil atau tidaknya sebuah rezim pemerintahan akan ditentukan oleh kemampuan partai untuk mengatur jalannya pemerintahan.
Selain mengatur jalannya pemerintahan, partai politik juga berfungsi untuk menyediakan akuntabilitas publik. Dalam kehidupan demokrasi, pemerintah memisahkan kekuasan mereka dari masyarakat. Fred I. Grenstein dalam essainya menyarankan sebuah defenisi operasional yang sederhana bahwa “demokrasi sebagai sebuah sistem politik dimana masyarakat memiliki kemampuan untuk mengontrol pemimpin mereka” . Partai politik, memiliki fungsi untuk menyediakan alat bagi pemilih untuk memegang akuntabilitas dari pejabat pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini sangat berguna bagi masyarakat utamanya dalam usaha untuk membuat para pempin negara mendengarkan dan menjalnkan apa yang menjadi tuntutan warga negara. Disini partai berperan sebagai kontributor kepada masyarakat untuk mengntrol pemerintah, karena partai politik harus tetap menjaga hubungan dengan kostituennya dan pada saat yang bersamaan juga bisa merebut simpati dari dari masyarakat luas sehingga bisa terpilih kembali dalam pemilihan umum selanjutnya.
Partai politik, memberikan tawaran bagi para pemilih untuk memilih kandidat partai yang mereka sukai, yaitu partai yang menawarkan platform yang sesuai dengan tuntutan mereka. Karena semua pejabat publik dipilih dari pemilihan umum dan dicalonkan oleh partai, maka para pejabat publik yang ada dalam pemerintahan memiliki tanggung jawab moral bagi pendukungnya untuk mengangkat tuntutan mereka. Disisi lain, masyarakat juga bisa menekan partai untuk memberikan teguran atau melakukan recall kepada pejabat publik yang dianggap bermasalah dan tidak mewakili aspirasi para pendukungnya. Meskipun dalam pelaksanaannya, masyarakat sering tidak dapat mengontrol langsung jalannya pemerintahan, tetapi secara tidak langsung telah diberikan kesempatan untuk menetukan komposisi pemerintahan berdasarkan piihan mereka dalam pemilihan umum.
Fungsi terakhir dari partai politik adalah sebagai sarana manajemen konflik. Dimana dalam sebuah negara, banyak kepentingan yang saling bersaing dan bisa mengakibatkan timbulnya sebuah konflik. Partai politik menjadi sebuah sarana manajemen konflik, dimana kepentingan yang saling bersaing tersebut dirangkum oleh partai politik untuk kemudian diajukan sebagai sebuah kebijakan yang akan dihasilkan pemerintah. Partai politik menyediakan saluran-saluran representatif bagi kepentingan-kepentingan yang berbeda, sehingga kepentingan-kepentingan yang saling bersaing tersebut tidak berkembang menjadi konflk kepentingan yang bisa berakibat fatal dan mengganggu jalannya proses pemerintahan.


BAHAN BACAAN :

1. Amal. Ichlasul, DR. 1996 “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (edisi Revisi)” Tiara Wacana, Jogjakarta.
2. Bibby, John F. 1992 ”Politics, Parties,and Election In America” Nelson-Hall Inc. Illinois.
3. Sartori, Giovanni. 1976 “ Parties and Party Systems; A Framework For Analysis” Cambridge University Press, New York.
4. Surouf, Frank J. 1992 “Party Politics In America” Harper-Collins Publisher Inc, Newyork.